Papua No. 1 News Portal | Jubi
Banda Aceh, Jubi – Pemerintah Aceh akan melakukan pemugaran terhadap makam Laksamana Malahayati yang terletak di Gampong Lamreh, Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar. Pemugaran dilakukan tak lama setelah tokoh perempuan aceh itu digelari pahlawan nasional oleh Presiden Jokowi.
"Dia memang panglima perang, dan komandan pasukan yang memimpin ribuan pasukan dengan ratusan kapal perang, pantas mendapat gelar pahlawan" kata Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, baru-baru ini.
Nama asli perempuan pemberani ini Keumalahayati. Namun ia lebih dikenal dengan sapaan yang lebih singkat: Malahayati. Ayahnya, Laksamana Mahmud Syah, adalah keturunan Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513–1530), pendiri Kesultanan Aceh Darussalam (Rusdi Sufi dalam Ismail Sofyan, eds., Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah, 1994:30).
Sejak kecil, Malahayati tidak terlalu suka bersolek. Ia lebih gemar berlatih ketangkasan .
Ajaran Islam memang dianut dengan serius di Aceh. Namun, urusan gender tidak terlalu jadi persoalan. Buktinya, Kesultanan Aceh Darussalam pernah diperintah oleh beberapa ratu atau sultan.
Maka, tidak terlalu dipermasalahkan jika pada akhirnya Malahayati memilih jalur militer sebagai pilihan hidupnya. Ia merupakan salah satu hasil didikan Mahad Baitul Makdis, akademi ketentaraan Kesultanan Aceh Darussalam yang merekrut beberapa orang instruktur perang dari Turki (Solichin Salam, Malahayati: Srikandi dari Aceh, 1995:26).
Tampil sebagai salah satu lulusan terbaik di Mahad Baitul Makdis membawa Malahayati ke level yang lebih tinggi. Pada era Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil (1589-1604), ia ditunjuk menjadi Komandan Istana Darud-Dunia–Kepala Pengawal sekaligus Panglima Protokol Istana–menggantikan suaminya yang gugur saat menghadapi Portugis di Teluk Haru, perairan Malaka.
Sultan Alauddin juga memberi Malahayati kepercayaan untuk menduduki pucuk pimpinan tertinggi angkatan laut kerajaan, dengan pangkat laksamana, jabatan yang pernah pula diemban oleh ayah juga kakeknya. Malahayati disebut-sebut sebagai laksamana laut perempuan pertama di Nusantara, bahkan mungkin di dunia (Endang Moerdopo, Perempuan Keumala, 2008:xi).
Malahayati tidak hanya memimpin tentara yang memang didominasi golongan pria. Ia juga menggalang kekuatan kaum wanita, terutama para janda yang ditinggal mati suaminya dalam perang di Teluk Haru, sama seperti dirinya. Barisan janda pemberani pimpinan Malahayati ini dikenal dengan nama Inong Balee (Damien Kingsbury, Peace in Aceh, 2006:195).
Awalnya, pasukan Inong Balee hanya beranggotakan 1.000 orang. Namun kemudian kekuatannya bertambah menjadi 2.000 tentara perempuan.
Selain mengelola pasukan, ia mengawasi seluruh pelabuhan dan bandar dagang di wilayah Aceh Darussalam, beserta kapal-kapalnya. Saat itu, kesultanan memiliki tidak kurang dari 100 buah kapal berukuran besar yang masing-masing bisa mengangkut lebih dari 400 penumpang.
21 Juni 1599, rombongan penjelajah Belanda yang dipimpin de Houtman bersaudara merapat ke dermaga milik Aceh Darussalam. Ada dua kapal besar yang datang, bernama de Leeuw dan de Leeuwin (Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, 1999:67). Frederick dan Cornelis de Houtman bertindak sebagai kapten masing-masing kapal tersebut.
Semula, hubungan para pendatang dari Eropa itu dengan rakyat dan Kesultanan Aceh Darussalam terjalin baik-baik saja. Sampai kemudian, akibat tingkah orang-orang Belanda serta provokasi dari seorang Portugis yang dipercaya oleh Sultan Alauddin, mulai muncul benih-benih pertikaian.
Menyadari situasi yang mulai panas, Frederick dan Cornelis berkoordinasi di atas kapal mereka, mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan yang sangat mungkin bakal datang. Dan memang benar, Sultan Alauddin memerintahkan kepada Laksamana Malahayati untuk menyerbu dua kapal Belanda yang masih bertahan di Selat Malaka itu.
Maka, terjadilah pertempuran di tengah laut. Armada Belanda rupanya kewalahan menangkal ketangguhan pasukan Malahayati yang jumlahnya ribuan, termasuk barisan janda berani mati. Hingga akhirnya, Laksamana Malahayati berhasil mencapai kapal Cornelis de Houtman, dan saling berhadapan.
Malahayati menggenggam erat sepucuk rencong di tangannya, sementara si kapten Belanda bersenjatakan pedang. Duel satu lawan satu pun terjadi antara dua manusia yang berbeda jenis kelamin itu. Pada satu kesempatan di tengah pertarungan, Malahayati berhasil menikam Cornelis hingga tewas.
Beberapa warsa selepas pertempuran itu, pada 1604, Laksamana Malahayati wafat dengan meninggalkan nama besar yang bahkan diakui oleh bangsa-bangsa Eropa (Fenita Agustina, ed., 100 Great Women: Suara Perempuan yang Menginspirasi Dunia, 2010:87).
Kini orang tahu, Aceh bukan cuma punya Cut Nyak Dien atau Cut Meutia saja, ada pula sosok perempuan lainnya yang tak kalah perkasa, laksamana perempuan pertama di dunia, Malahayati. (*)
Sumber: Merdeka.com/Tirto.id