Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
Jayapura, Jubi – Koordinator Papua Jungle Chef, Charles Toto bersama sejumlah rekannya baru saja kembali ke tanah Papua usai mendemonstrasikan beberapa menu masakan asli khas Papua di Festival Slow Food (makanan sehat) di Terra Madre Salone del Gusto di Kota Turin, Italia, pada 20-24 September 2018.
Mereka menampilkan keunikan masakan tradisional dan produk makanan dari berbagai daerah di Indonesia, khusunya Papua bersama dengan komunitas slow food dari 61 negara lainnya.
“Kami mengikuti kegiatan ini mewakili dari Indonesia, Oceania, dan Pacific. Kegiatan ini dilakukan oleh Carloped pendiri peresiden slow food. Kami dipercayakan untuk mengikuti event ersebut dengan menampilkan masakan khas Papua,” kata Charles Toto Kepada Jubi, Selasa (2/10/2018).
Charles Toto, mereka dipercayakan melakukan demonstrasi masak dengan menyajikan bahan baku dari Papua. Hasilnya berupa ikan kuah kuning, papeda kecipir, swamening dan teh daun sukun. Kalau Ikan kuah kuning itu sudah familiar di Papua, sementara menu papeda kecipir dan swamening makanan khas orang Genyem, di kabupaten Jayapura. Kalau teh daun sukun biasanya dikonsumsi oleh Masyarakat di Serui dan Biak.
“Dalam racikan swamening, bahannya adalah sayur lilin dan di dalamnya ditaburi kelapa dengan sagu digulung dengan sayur gedi lalu di kukus. Sementara itu bahan papeda kecipir ialah kelapa, kacang, garam yang digunakan adalah garam hitam, dan sayur gedi, sementara teh daun sukun biasanya dikonsumsi oleh masyarkat Biak dan Yapen, kalau ikan kuah kuning, bahannya sagu, ikan, rica, tomat, kunyit, sereh, garam,” katanya.
Charles mengatakan, animo pengunjung cukup tinggi saat mereka mempresentasikan makanan Papua. “Mereka mengakui juga bahwa makanan indigeneus—(asli), lebih sehat daripada makanan yang dimasak oleh perusahaan besar yang kami juga tidak tahu menahu prosesnya,” katanya.
Charles Toto dan teman-temannya didukung oleh gereja katolik di Bintaro.
“Yang satu tim dengan kami ada tiga orang. Suryato, Satriando, Mas Babur dibantu keduataan besar di Roma, gereja Katolik Santa Regian Bintaro. Saya sendiri ditanggung oleh Swacooking yang ada di Miland,” katanya.
Anggota Papua Papua Jungle Chef, Andre Liem mengatakan, komunitasnya akan terus melakukan event-evet festival yang menghadirkan makanan khas Papua.
“Kami sudah melakukan beberapa event makan sagu sempe dan hote, sebagai promosi dan penyadaran kepada masyarakat Papua bahwa makan makan khas Papua itu penting untuk keberlangsungan hidup,” katanya.
Lanjut Andre, kegiatan serupa juga bisa digalakkan di beberapa daerah di Papua untuk mempertahankan jati diri masyarakat Papua melalui pangan lokal.
“Kegiatan yang digelar harus melibatkan masyarakat adat Papua, tokoh adat, tokoh agama, pemuda, mama-mama, agar bisa berjalan beriringan,” ujarnya.
Dosen antropologi Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura, Jack Morin mengingatkan masyarakat asli Papua tentang pentingnya menjaga keberlangsungan pangan lokal.
Papua memiliki beragam pangan lokal di antaranya, sagu, keladi, petatas, dan singkong. Keberadaan pangan lokal ini penting untuk mempertahankan keberlangsungan kebutuhan pangan masyarakat.
Jika terus bergantung pada beras, perlu diingat Papua bukan daerah penghasil beras. Suatu saat, ketika masyarakat kesulitan mendapat beras atau harganya meroket, rentan terjadi masalah.
"Makanan lokal ini harus dikembalikan sebagai makanan utama. Program pemerintah misalnya raskin, dana desa dan lainnya ini mulai membuat masyarakat malas menanam pangan lokal," kata Mori.
Menurutnya, banyaknya dana dari program pemerintah ke setiap kampung, mengakibatkan masyarakat cenderung memilih cara instan. Misalnya mengkonsumsi mie instan atau nasi. Mereka tidak mau lagi memproduksi pangan lokal. Namun di balik itu, ada ancaman ketahanan pangan.
"Saya pikir, masyarakat semakin lemah. Masyarakat harus menyadari panganan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, jika pangan lokal sudah tak ada lagi, akan mengancam keberlangsungan kebutuhan pangan,” ucapnya.
Pola pikir masyarakat harus diubah untuk mempertahankan keberlangsungan pangan lokal. "Tapi saya lihat kita di Papua santai-santai saja. Justru kelabakan kalau tidak ada nasi di rumah," katanya. (*)