Mahasiswa sebut Mimika menderita di tengah SDA melimpah

Zoom meeting antara mahasiswa dan Bupati Mimika. - Ist

Papua No.1 News Portal | Jubi

Enarotali, Jubi – Semenjak perusahan raksasa milik Amerika Serikat, PT Freeport-McMoRan beroperasi di Kabupaten Mimika, Papua, dan Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing di Indonesia, wilayah adat suku Amungme mulai hancur. PT Freeport-McMoRan selaku investor pemilik modal dan Pemerintah Indonesia, tidak melibatkan suku Amungme sebagai pemilik tanah, pemilik hutan, pemilik gunung dan suku Kamoro sebagai pemilik Bumi Amungsa.

Hal itu dikatakan Koordinator Umum Mahasiswa Mimika se-dunia, Jhoni Kelyonek Jangkup, pada momentum Hari Masyarakat Adat Sedunia, 9 Agustus 2021. Menurutnya, berangkat dari hal itu, maka masyarakat pemilik hak ulayat mulai melakukan perlawanan terhadap Freeport maupun Pemerintah Indonesia, yang secara sepihak melakukan penandatanganan kontrak karya tersebut.

Read More

“Akibatnya masyarakat adat menangis dan menderita di bawah tekanan mereka. Mimika dan masyarakatnya menderita di tengah melimpahnya sumber daya alam. Lembaga adat kami yang berbicara hak-hak dasar dibungkam selama puluhan tahun hingga saat ini,” katanya, kepada Jubi, Selasa (10/8/2021).

Menurut dia, terkait hal itu telah berulang kali dilakukan audiensi dengan Bupati Mimika. “Bahkan pada 9 Agustus 2021 juga dilakukan zoom meeting.”

Lanjutnya, dari pengalaman konflik dengan Freeport, militer dan pemerintah selama puluhan tahun, membuat masyarakat lokal mulai merasakan perlunya suatu lembaga yang mewakili dan berbicara untuk kepentingan mereka.

“Yayasan Lorentz sempat didirikan oleh kaum terdidik Amungme, yang berdiri pada sekitar 1990-an khusus untuk isu-isu lingkungan hidup.”

Mahasiswa Mimika lainnya, Bartol Beanal mengatakan, menyusul kemudian didirikan Lembaga Masyarakat Adat Amungme (Lemasa) tahun 1994, yang mewakili aspirasi dan kepentingan masyarakat adat. Namun lembaga yang diharap bisa menyuarakan hak masyarakat itu, ambruk pelan-pelan.

“Pada masa itu masyarakat adat Lokal mencoba mengingatkan para tokoh muda Amungme untuk segera membuat Musdat (musyawarah adat) untuk mengatasi hal ini (ambruknya Lemasa), tetapi tidak ada tindak lanjut sampai saat ini bahkan kapitalis dan kolonialis melalui para komprador berbagai kesatuan selalu menghambat dan menghalanginya,” ujar Bartol Beanal.

Beanala menegaskan, dengan adanya PT Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika, semua kegiatan fisik maupun nonfisik dirancang oleh Freeport dan Pemerintah Indonesia melalui pemberian dana miliran rupiah, kepada para pihak yang mengikuti kehendak mereka.

Pihaknya menegaskan, PT Freeport Indonesia sebagai kapitalis dan pemerintah Indonesia sebagai kolonialis.

“Pemerintah Kabupaten Mimika, Gubernur Provinsi, para elite Amungme dan Kamoro yang saat ini menjabat sebagai direktur lembaga adat buatan kapitalis dan kolonialis, serta petinggi para militer Indonesia sebagai komprador. Kamu memberi selamat untuk Hari Masyarakat Adat Sedunia tanpa memahami apa sebenarnya adat itu,” tegasnya. (*)

 

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply