Mahasiswa menilai selama ini potensi kerusakan lingkungan akibat pertambangam bauksit di daerahnya cukup besar.
Papua No. 1 News Portal | Jubi
Tanjungpinang, Jubi – Presiden Mahasiswa Universitas Maritim Raja Ali Haji, Rindi Apriadi pertanyakan pengusaha bauksit yang tak memperhatikan lingkungan namun mendapat kuota ekspor. Mahasiswa menilai selama ini potensi kerusakan lingkungan akibat pertambangam bauksit di daerahnya cukup besar.
“Jangan sampai peristiwa buruk akibat pertambangan di Bintan belum lama ini terjadi di Kecamatan Singkep Barat, Kabupaten Lingga,” kata Rindi, Jumat, (17/1/2020).
Baca juga : INALUM dan ANTAM Canangkan Proyek Hilirisasi Bauksit Menjadi Alumina di Kalimantan Barat
DPRD Riau gulirkan interpelasi pertambangan bauksit
Mencurigakan, segel penyidik KLHK di lokasi tambang bauksit rusak
Menurut Rindi, lingkungan di lokasi pertambangan bauksit di Desa Langkap dan Desa Pengambil, Singkep Barat, yang dikelola PT Telaga Bintan Jaya sejak tahun 2008 masih dalam kondisi rusak. Sedangkan perusahaan penambang tersebut mendapatkan kuota ekspor dari Kementerian Perdagangan pada Juli 2019. “Izin itu ditandatangani oleh Pelaksana Harian Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Karyanto Suprih,”kata Rindi menambahkan.
Ia mempertanyakan penetapan kuota ekspor terhadap perusahaan yang secara nyata telah merusak lingkungan.
“Kami belum melihat ada pembangunan smelter. Artinya, bauksit kembali dijual mentah ke China,” Rindi menjelaskan.
Pemilik PT Telaga Bintan Jaya, Suryono, mengatakan, perusahaannya mengalami beragam kendala untuk membangun smelter saat masih melakukan pertambangan bauksit. Kendala yang dihadapi di antaranya perubahan regulasi.
“Ada perubahan regulasi yang menyebabkan kami kesulitan membangun smelter,” kata Suryono.
Suryono yang menguasai lahan lebih dari 1.000 hektare itu sejak beberapa bulan lalu dan sudah mulai beraktivitas kembali melakukan pertambangan bauksit di Singkep Barat.
Ia mengaku sudah menggandeng pengusaha asal China untuk membangun smelter dan kawasan perindustrian di daerah itu. “Namun saat ini, lahan untuk pembangunan “smelter” masih sebatas pengerasan lahan,” kata Suryono.
Ia mengakui perusahaanya memperoleh kuota ekspor bauksit seberat 2,2 juta ton ke China sejak Juli 2019. Pengurusan izin tersebut dibantu oleh yang disebutnya orang pusat.
“Tidak banyak saya keluarkan uang untuk mendapatkan kuota ekspor bauksit tersebut,” katanya.
Editor : Edi Faisol