Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
Nabire, Jubi – Allince Tekege, yang aktif di Ikatan Pelajar Mahasiswa Papua (IPMAPA) Malang, terdengar geram saat menjelaskan peristiwa penangkapan 49 mahasiswa Papua 15 Agustus lalu, beberapa saat setelah ia dan 48 kawannya dilepaskan polisi, Kamis (16/8/2018) pagi.
"Saya baik-baik, kami semua sudah keluar," jawabnya singkat kepada Jubi, Kamis (16/8) siang itu.
Dia tak langsung menjawab setiap pertanyaan yang Jubi ajukan, memilih untuk mengambil jeda cukup lama dari wawancara kami. Jubi hendak mengonfirmasi situasi mereka saat ditahan dan proses hingga dibebaskan.
"Kami menuntut dibebaskan jam 09.00 pagi itu (Kamis). Jadi bukan dibebaskan karena inisiatif polisi. Kami bilang ke polisi penahanan sudah terlalu lama (sejak Rabu, pukul 22) dan tuduhan mereka juga tidak terbukti. Tidak ada sama sekali upaya pembacokan seperti yang dihebohkan berbagai berita," ungkap Alin, mahasisiwi Universitas Narotama Surabaya itu, sambil mulai menjelaskan hal-hal terkait peristiwa di Asrama Papua Kamasan III Jalan Kalasan Nomor 10, Surabaya di hari sebelumnya.
Baca: 10 jam ketegangan di Asrama Mahasiswa Papua Surabaya, puluhan mahasiswa ditahan
Alin mengaku sangat terkejut saat ormas-ormas yang mengatasnamakan diri Sekber Benteng NKRI dan Pemuda Pancasila bisa merangsek masuk ke tempat mereka tanpa izin.
"Tentu saja kami terpaksa siaga bila mereka melakukan tindakan kekerasan. Dan orang yang jatuh itu bukan karena dibacok parang, tapi karena mereka berebutan masuk untuk persekusi kami," kata Alin, yang pada saat itu ada di tempat kejadian.
Pembiaran dan stigma
Menurutnya pihak yang jadi korban sebenarnya adalah mahasiswa Papua beserta fasilitas asrama.
"Para ormas itu datang melempar-lempar batu ke dalam, semua itu buktinya ada, tapi polisi tidak peduli itu. Mereka (polisi) hanya nonton. Negara hukum macam apa Indonesia ini?" kata Alin gusar.
Sepanjang peristiwa berlangsung, menurutnya, ada mobil polisi parkir di dekat asrama dan aparat polisi yang ada di situ hanya melihat saja saat persekusi berlangsung.
"Dari sejak awal ormas melakukan intimidasi, polisi biarkan. Malah kami yang ditangkap. Ini kan jelas diskriminasi. Mereka hanya ingin membungkam kami," ungkapnya.
Saat ditanya apa maksud pernyataannya itu Alin menceritakan bagaimana ia merasa ketika anak-anak Papua berkumpul di depan asrama saja kerap dicurigai (oleh aparat kampung), apalagi saat menggelar diskusi.
Baca: Tak terima tindakan persekusi nobar, mahasiswa Papua di Malang tuntut balik
"Aparat itu selalu bercuriga hal-hal lain (yang kami lakukan) seperti makar, padahal kami hanya berdiskusi soal sejarah, hanya berdiskusi, tidak lakukan apa-apa. Dan diskusi bagi kami penting untuk menguatkan ikatan persaudaraan. Tapi itu mereka tidak senang, selalu distigma makar. Padahal tidak," kata Alin.
Saat ditahan sekitar 11 jam, Alin menyebut aparat kepolisian di Polrestabes juga mengatakan agar para mahasiswa tidak perlu diskusi-diskusi dan seminar.
"Lho, kami datang ke Jawa ini untuk belajar, baik formal maupun non formal. Diskusi itu bagian dari belajar non formal. Kenapa mereka larang itu?" ujar Alin lagi.
Bendera merah putih
Alin juga tidak terima pihak mahasiswa di Asrama Kamasan III dituding menolak mengibarkan bendera merah putih jelang 17 Agustus.
"Kami disebut tidak mau kibarkan bendera merah putih di asrama. Saya tegaskan di sini itu omong kosong, karena sebenarnya, kami memang tidak punya bendera merah putih di asrama saat itu, tiangnya juga belum ada, lalu kami juga tidak tahu bahwa itu diwajibkan di setiap rumah dan tempat," kata mahasiswi asal Kabupaten Nabire itu.
Dia lalu melanjutkan soal pemasangan bendera saat itu belum terpikirkan oleh mereka karena kebutuhan-kebutuhan lain di asrama.
"Kami di asrama itu banyak kekurangan, seperti beras dan kebutuhan pokok lain, jadi tidak ingat untuk beli bendera. Tapi mereka tidak mau peduli soal itu, yang disebarkan di media kami menolak bendera merah putih dikibarkan di asrama. Omong kosong sekali," tandas Alin dengan gusar.
Dilansir Tirto.id (10/5), jumlah tindakan persekusi di Indonesia memang meningkat. Berdasarkan data dari South East Asia Freedom of Expression Network (SAFE Net) mencatat, dari Januari 2015 hingga Februari 2018, ada 65 kali pelanggaran hak berkumpul dan berekspresi di Indonesia. Pelanggaran tersebut berupa intimidasi, pelarangan, perusakan, interogasi, penangkapan, pembredelan, dan pembubaran paksa.
Dari jumlah tersebut, 32 di antaranya dilakukan oleh ormas seperti FPI, FUI, GPK, Banser NU, GP Ansor, Pemuda Pancasila, dan FKPPI.
Menurut penelitian Kontras pada periode yang sama, hal itu dilakukan mayoritas akibat perbedaan pandangan politik atau minoritas di masyarakat. (*)