Mahasiswa Papua di Semarang sayangkan pemasangan spanduk diskriminatif

Sejumlah aktivis dan mahasiswa di Papua membuat aksi dukungan bagi para mahasiswa Papua di Surabaya, Sabtu (17/8/2019), - IST
Sejumlah aktivis dan mahasiswa di Papua membuat aksi dukungan bagi para mahasiswa Papua di Surabaya, Sabtu (17/8/2019), – IST

Napinus menolak spanduk tersebut karena menjadi bukti diksriminasi keberadaan  mahasiswa Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Read More

Serat.id– Ketua Aliansi Mahasiswa Papua, Napinus,  mengaku kecewa dengan kehadiran sejumlah warga dan anggota Ormas Pemuda Pancasila yang memasang spanduk tepat di depan asarama yang dihuni mahasiswa Papua di jalan Tegalwareng II Nomor 15 Semarang.

Insiden yang terjadi di wilayah Kelurahan Candi, Kecamatan Candisari, Kota Semarang, Minggu pagi pukul 08.07 WIB, itu menimbulkan adu mulut antara Napinus, Ketua RW setempat dan Organisasi Pemuda Pancasila yang berakhir pukul 11.37 WIB.

“Banyak warga dan  ormas datang dan mereka keluar masuk ke lingkungan asrama tanpa izin  selain itu di luar mereka berorasi NKRI harga mati,”  ujar Napinus, Minggu, (18/8/2019).

Baca juga : LBH Surabaya kecam penyerangan dan tindakan represif terhadap mahasiswa Papua

Kerusakan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya sedang didata

Persekusi mahasiswa Papua di Surabaya, Pahabol: Keberadaan OAP tak dianggap

Napinus menolak spanduk tersebut karena menjadi bukti diksriminasi keberadaan  mahasiswa Papua. Menurut dia, selain memasang spanduk yang tak dikehendaki penghuni asrama,  anggota ormas juga memaksa mahasiswa Papua yang tinggal dimintai identitas KTP oleh lima belas orang yang  masuk tanpa izin.

“Kami juga menolak pemaksaan aturan warga yang menyeutkan tinggal asrama  harus berKTP  penduduk Semarang, bukan KTP penduduk Papua,” kata Napinus menegaskan.

Ketua RW 04, Kelurahan Candi, Muryanto,  mengatakan pemasangan spanduk tersebut merupakan keberatan warga atas kegiatan asrama yang mengarah kepada pemisahan NKRI. “Kami tidak diskriminasi, karena melakukan (pemasangan spanduk) ini tidak hanya untuk Papua, tapi untuk seluruh warga,” ujar Muryanto.

Ia terpaksa mendesak masuk mahasiswa Papua untuk menyerahkan identitas KTP sebagai pendataan jumlah mahasiswa yang mendiami asrama. “Semua warga sini (menurut) aturan RT, dalam waktu 1 X 24 jam kan harus lapor tak terkecuali mereka,” ujar Muryanto menambahkan.

Menurut dia, warga sekitar beberapa kali keberatan atas penggunaan asrama untuk kegiatan diskusi kemerdekaan Papua. Di antaranya dilakukan pada bulan Juli dan kegiatan panggung bebas yang berisi orasi politik pada Sabtu, 16 Agustus 2019.

Ia berharap mahasiswa fokus belajar. “Jangan ada kegiatan  lain, dan berbaullah dengan warga,”  katanya.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang mengangap spanduk yang dipasang di asrama mahasiswa Papua merupakan perbuatan pelanggaran hak asasi manusia.  “Kalau kita mengaku negara demokrasi harusnya kita buka ruang ruang demokrasi,” kata pendamping mahasiswa Papua dari LBH Semarang, Herdin Pardjoangan.

Herdin minta agar masyarakat  dan Ormas di Kota Semarang membiarkan mahasiswa Papua berdikusi. “Kalau tidak ada kesepakatan silahkan ditandingi dengan narasi atau ide,”  ujar Herdin menambahkan.

Herdin juga menyayangkan sikap tak netral saat menjaga jalannya insiden pemasangan spanduk tersebut. Menurut dia aparat seharusnya menjalankan Tupoksi keamanannya dan mencegah warga untuk masuk ke dalam asrama.

“Jangan sampai kemudian mahasiswa Papua yang berada di dalam dirugikan karena telah dimasuki ruang privatnya,” ujar Herdin menjelaskan. (*)

Related posts

Leave a Reply