Beasiswa terhenti, mahasiswa Papua di luar negeri kerja sambilan biayai hidup

papua
Mahasiswa dan Pelajar Papua di New Zealand bersama Gubernur Lukas Enembe usai perayaan Natal 2019. - Jubi/Dok. Yan Piterson Wenda.

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Pemerintah Provinsi Papua mengirimkan surat pada 17 Desember 2021 yang ditujukan kepada seluruh mahasiswa peserta Program Beasiswa Pendidikan Tinggi Luar Negeri di New Zealand. Surat terkait pemberhentian beasiswa tersebut ditandatangani sekretaris daerah Dr. M. Ridwan Rumasukun SE, MM.

Read More

Isi surat menjelaskan hasil evaluasi perkembangan studi terhadap mahasiswa asli Papua penerima beasiswa tahun Angkatan 2015 untuk S1 dan Angkatan 2016 untuk D III yang tidak menyelesaikan studi tepat waktu. Buat mereka bantuan beasiswa pendidikan berakhir pada 31 Desember 2021.

Penanggung jawab IAPSAO (The International Alliance of Papuan Associaton Overseas) Yan Pitterson Wenda mengatakan surat pemulangan itu dikirimkan pada Desember 2021. “Kita di New Zealand ada 42 orang dan 84 orang di Amerika,” katanya kepada Jubi.

BACA JUGA: Mahasiswa Papua di luar negeri deklarasikan IAPSO

Salinan surat yang dilihat Jubi di Kota Jayapura itu memuat 42 mahasiswa di New Zealand yang diminta mempersiapkan diri untuk kembali ke Indonesia pada kesempatan pertama. Segala biaya yang timbul untuk pemulangan akan ditanggung oleh Pemerintah Provinsi Papua melalui BPSDM Provinsi Papua paling lambat 31 Desember 2021.

“Setelah kami mendapatkan surat itu kita cek dari 42 mahasiswa di New Zealand itu mayoritas bisa dibilang 95 persen atau sekitar 30-an mahasiswa mempunyai proses yang signifikan dalam studi, begitu juga di Amerika,” katanya.

Wenda mencontohkan di New Zealand ada yang dalam daftar akan selesai dalam tiga bulan pada 2022. Kemudian ada akan selesai dalam enam bulan pada 2022.

“Ada juga yang mau selesai dalam satu tahun ini,” kata Presiden Papua Students Association Occeania (Australia dan Selandia Baru) itu.

Surat dari Pemprov Papua tersebut dampak dari perubahan aturan UU Otsus yang disahkan DPR RI pada Juli 2021 yang mengalihkan kewenangan 10 persen dana pendidikan dari Pemprov Papua kepada pemkab dan pemkot.

“Ini dampak dari perubahan UU Otsus yang baru itu dan kami yang dikorban di sini. Mahasiswa 2015 ini mereka datang dari daerah pedalaman, dari keluarga yang tidak mampu. Tapi mereka mau ke luar negeri dan berjuang  untuk pendidikan mereka. Baru kenapa nama-nama mereka ini dimasukkan? Jadi kita tidak terima sekali dalam jumlah yang besar ini. Kita selidiki ternyata dana yang memang ada dari pemerintah provinsi untuk dikirimkan kepada setiap mahasiswa itu tidak ada,” ujarnya.

Salah seorang mahasiswa yang masuk dalam daftar pemulangan mengatakan kepada Jubi melalui pesan singkat bahwa ia menerima surat pemberhentian beasiswa dan pemulangan pada awal 2022. Surat itu dikirim kepadanya dari KBRI Welington, New Zealand.

“Banyak sekali terdapat kesalahan data dalam surat itu. Semua data di dalam itu yang memuat 42 mahasiswa itu tidak benar,” ujarnya.

Setelah mendapatkan surat tersebut ia kemudian mengirimkan surat balasan kepada BPSDM Papua yang memberikan klarifikasi atas namanya yang dimuat dalam surat itu tidak benar. Dalam surat yang dikirimkan ke BPSDM Papua menjelaskan “time line” periode studi yang sedang dilaluinya.

“Untuk sementara secara pribadi saya belum terima tanggapan balik dari pihak BPSDM Papua,” ujarnya.

IA mengaku tiga bulan sebelum nama-nama mahasiswa di New Zealand masuk dalam daftar pemulangan pada Desember 2021, mereka sudah tidak menerima pengiriman biaya hidup. Ia dan beberapa temannya terpaksa bekerja sampingan 10 jam sampai 15 jam per minggu untuk menutupi biaya hidup.

“Hasil kerja kami pakai untuk beli makan, minum, dan kebutuhan dasar lainnya, serta bantu teman-teman lain yang tidak bisa kerja. Di New Zealand biaya hidupnya sangat mahal dibandingkan negara-negara lain,” katanya.

Ia mengatakan teman-teman lain yang tidak bisa bekerja karena mereka belum mendapatkan “visa full time” untuk belajar, karena Pemerintah Provinsi Papua membayarkan biaya studi sehingga secara otomatis berdampak pada pengurusan visa mereka. Visa pelajar bisa digunakan mahasiswa untuk bekerja sambilan dengan mematuhi syarat dan ketentuan yang ditetapkan pihak imigrasi negara tempat studi.

“Biaya [urus] visa juga lumayan mahal,” ujarnya.

Untuk tempat tinggal, pemilik tempat tinggal masih memberikan toleransi setelah mereka menjelaskan situasi yang dihadapi. Akan tetapi mereka diberikan waktu untuk membayar, bila tidak kemungkinan mereka akan dibawa ke pengadilan. Ia menyampaikan jika ini terjadi akan berdampak kepada catatan mereka yang buruk di imigrasi.

“Kalau kasusnya seperti itu, kami kemungkinan besar akan dideportasi dari New Zealand,” katanya.

Presiden Perhimpunan Mahasiswa Pelajar Papua di Amerika-Kanada Dimison Kogoya mengatakan 84 mahasiswa di Amerika-Kanada yang mendapatkan surat tersebut tidak akan pulang ke Indonesia. Mereka akan tetap bertahan menyelesaikan studi hingga selesai dengan baik.

“Yang dipulangkan ini sisa satu semester, dua semester saja. Jadi kalau mereka pulang kan kasihan juga untuk masa depan mereka dan untuk masa depan membangun Papua ke depannya,” ujarnya.

Kogoya mengatakan pemerintah pusat hingga pemerintah daerah di Papua harus mencari solusi terbaik bagi mahasiwa Papua di luar negeri, terutama bagi mahasiswa yang masuk dalam daftar pemulangan tersebut. Ia menyampaikan beberapa mahasiswa sudah tidak bisa studi lagi dikarenakan “Letter of Sponsorsip” atau surat keterangan dukungan dana mereka telah dicabut. (*)

Editor: Syofiardi

Related posts

Leave a Reply