TERVERIFIKASI FAKTUAL OLEH DEWAN PERS NO: 285/Terverifikasi/K/V/2018

Lipsus : Menggadai damai di Wamena (artikel 4 dari 6)

Pengungsi dalam kerusuhan Wamena diterbangkan ke Jayapura menggunakan Hercules milik TNI AU sebelum kembali ke daerah asal masing-masing - Jubi/Vembri Waluyas

Lipsus : Menggadai damai di Wamena (artikel 4 dari 6) 1 i Papua

Amuk massa yang terjadi di Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, Papua, pada 23 September 2019 menyentak rasa kemanusiaan publik. Semua pihak terpukul dan berduka, melihat bagaimana sebuah unjukrasa anti rasisme para pelajar bisa meledak menjadi amuk massa yang menewaskan sedikitnya 42 korban jiwa dan menghancurkan separuh kota terbesar di kawasan pegunungan tengah Papua itu.

Semua ingin bergegas menenun lagi relasi sosial yang terkoyak, secepatnya menutup luka. Namun, pemerintah punya banyak pekerjaan rumah jika ingin merajut perdamaian yang kokoh. Tulisan ini adalah bagian keempat dari enam tulisan serial “Menggadai damai di Wamena”.

Kabar kabur data korban

Sehari setelah amuk massa di Wamena, Kapolri Jenderal Tito Karnavian memberikan keterangan pers yang ditayangkan secara langsung oleh beberapa stasiun televisi nasional. Tito menyebut, unjukrasa para pelajar di Wamena dipicu dugaan seorang guru menyebut muridnya “kera”. Tito menyatakan amuk massa di Wamena berlangsung sejak sekitar pukul 07.30 hingga pukul 15.00 WP.

“Massa .. anarkis, ada yang melemparkan batu ke toko, terutama toko milik warga Papua pendatang, … termasuk ada ruko yang dibakar. … Sampai hari ini [Selasa, 24 September 2019] pukul 12.00WIB, ada 26 orang meninggal dunia. Dari 26 orang itu, 22, 22, tolong dicatat, itu adalah masyarakat Papua pendatang. 22 orang. Mereka meninggal akibat luka bacok dan akibat terbakar di dalam rumah yang dibakar, atau ruko yang dibakar. Kemudian empat orang warga Papua asli meninggal. Yang terluka lebih kurang 66 orang,” kata Tito dalam keterangan pers di Jakarta, 24 September 2019.

Setelah dimutahirkan, data resmi kepolisian mencatat 33 orang tewas pada amuk massa di Wamena. Sejumlah 25 korban tewas adalah “masyarakat Papua pendatang”, sementara delapan korban tewas lainnya “warga Papua asli”. Penelusuran terpisah Jubi menemukan jumlah korban tewas dalam amuk massa di Wamena mencapai 42 orang.

Amuk massa yang terjadi di Wamena memang melukai rasa kemanusiaan siapa pun. Publik terkejut menerima kabar sejumlah korban yang tewas terbakar karena terjebak dalam rumah toko atau rumah tinggal yang sedang terkepung massa. Kekerasan itu membuat ribuan orang warga pendatang trauma, hingga berebut kursi pesawat demi pergi meninggalkan Wamena.

Narasi dikotomis “masyarakat Papua pendatang” dan “warga Papua asli” mudah berkembang menjadi generalisasi bahwa “warga Papua asli” adalah pelaku, dan “masyarakat Papua pendatang” adalah korban. Dalam kenyataannya, banyak pula warga Papua yang menjadi korban amuk massa.

Saat ditemui di Jayapura pada 1 Oktober lalu, Gubernur Papua Lukas Enembe menepis anggapan itu. “Ini bukan konflik orang yang tinggal di Lembah Baliem dengan para pedatang yang juga tinggal di sana. Bahkan, ada anak sekolah, anak asli Lembah Baliem, dibakar karena tidak mau bergabung massa. Ada dua siswa lain dianiaya, juga orang asli Papua. Amuk massa itu bukan konflik antara orang asli dan pendatang,” ujar Enembe.

Lipsus : Menggadai damai di Wamena (artikel 4 dari 6) 2 i Papua
Pengungsi dalam kerusuhan Wamena diterbangkan ke Jayapura menggunakan Hercules milik TNI AU sebelum kembali ke daerah asal masing-masing – Jubi/Vembri Waluyas

Banyak pula warga asli Papua yang justru menyelamatkan para pendatang. “Justru yang selamatkan banyak warga pendatang itu orang-orang asli Lembah Baliem,” ujar Enembe.

Pendeta Simet Yikwa, gembala dari Gembala dari Persekutuan Gereja Baptis Papua (PGBP) misalnya, mengerahkan para pengurus Gereja Baptis Wesaroma untuk mengevakuasi warga pedatang. Kebanyakan dari mereka pemilik toko, bengkel, atau kios di Jalan Homhom dan Jalan Pikhe. Hal yang sama juga dilakukan para gembala Gereja Baptis Papua Panorama di Pikhe, serta Gereja Kibaid. Sedikitnya ada 700 warga pendatang yang diselamatkan warga asli Papua di Homhom.

Sekitar 2 kilometer arah utara dari gereja Pendeta Simet Yikwa, Obeth Mabel juga melihat orang-orang yang tidak dikenalnya berlarian tak tentu arah dan berlaku anarkis. Karena melihat massa anarkis itu mencoba membakar rumah di pertigaan Jalan Mikael Alua, Mabel dan para warga Jalan Pikhe nekat mengevakuasi para warga pendatang dari toko dan kios di sana.

Para pedagang itu disembunyikan di sejumlah rumah para warga asli Papua. “Kurang lebih 58 kepala keluarga. [Mereka warga perantau] suku Batak dan [perantau dari] Enrekang, [Sulawesi Selatan]. [Kami membawa mereka beserta] anak-isterinya mengungsi ke rumah kami, [para warga asli]. Beberapa orang [diantaranya] sopir enam truk milik saya. Kami akhirnya mengantar mereka ke Wamena, karena situasi tak menentu,” ungkap Mabel.

Di Pasar Misi, Wouma, titik amuk massa yang paling banyak menelan korban, Robert Surabut dan tiga tetangganya menyembunyikan puluhan pedagang Pasar Misi di rumah mereka. “Kami membawa mereka masuk ke dalam rumah kami. Massa anarkis itu sempat tiba di depan Komplek Misi, bertanya ke mana para pedagang Pasar Misi melarikan diri? Kami jawab, ‘tidak tahu’.”

Selepas pukul 16.00, barulah polisi dan tentara bisa mengendalikan situasi di Wamena. Selepas itulah polisi dan tentara bisa menjemput para pendatang yang tengah disembunyikan Pendeta Simet Yikwa, Obeth Mabel, Robert Surabut, dan banyak warga asli Papua lainnya.

Kisah penyelamatan para warga pendatang oleh orang asli Papua itu membuat publik di luar Papua mulai berhati-hati mencerna narasi dikotomis “masyarakat Papua pendatang” dan “warga Papua asli”. Akan tetapi, kebanyakan warga asli Papua terlanjur takut dipersalahkan, memilih pergi dari Wamena untuk masuk ke pelosok pegunungan.

Bupati Jayawijaya, Jhon Richard Banua mengakui pihaknya menerima laporan tentang warga asli Papua yang telah mengungsi meninggalkan pusat kota Wamena. “Kami menerima laporan dari sejumlah kepala distrik tentang warga Lanny Jaya, Nduga, Yalimo, Tolikara yang [selama ini] tinggal di dalam Kota [Wamena] bergeser ke distrik terdekat ke Walelagama, Kurulu,” ujar Banua saat ditemui di Wamena pada 2 Oktober 2019.

Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Lanny Jaya, Christian Sohilait menyebut sedikitnya 6.662 warga Wamena yang berasal dari Lanny Jaya telah pergi mengungsi ke pinggiran kota, ketakutan mendengar isu aparat keamanan akan menyisir dan menangkap warga asli Papua yang dianggap terlibat amuk massa 23 September. “Mereka mengungsi di 43 lokasi di pinggiran Kota Wamena, dan di 23 Gereja Baptis Papua,” kata Sohilait pada 8 Oktober lalu.

Pastor Ivan Simamora OFMCap dari Paroki St Fransikus Asisi di Musatfak menyebut pada 24 – 25 September ribuan warga asli Papua melintas di Musatfak, menjauhi Wamena. “Sejak 24 September, di Musatfak saya melihat kaum perempuan dan anak berjalan kaki, membawa belanga, kuali, pakaian seadanya, menjauhi Wamena. Jalan raya penuh, seperti eksodus,” kata Pastor Ivan.

Lipsus : Menggadai damai di Wamena (artikel 4 dari 6) 3 i Papua
Seorang korban luka tembak di Asotipo, Wamena – Jubi/Vembri Waluyas

Di antara para pengungsi, Pastor Ivan Simamora bertemu seorang lelaki yang kakinya terluka tembak. “Dia merahasiakan namanya, peluru masih ada di kakinya. Dia menolak diantar berobat ke RSUD Jayawijaya di Wamena. Lelaki itu hanya diberi obat antibiotik, karena lukanya membengkak. Ada lagi seorang lelaki lain yang terluka bakar, juga menolak dibawa berobat. Mereka hanya semalam di Musatfak, pergi entah ke mana,” kata Pastor Ivan.

Penelusuran Jubi menemukan informasi bahwa ada 42 orang tewas dalam amuk massa di Wamena, lebih banyak dari data polisi yang mencatat 33 orang korban tewas. Pastor Ivan Simamora memperkirakan jumlah korban tewas ataupun pun luka dari kalangan orang asli Papua bisa bertambah lagi, mengingat mereka cenderung takut melaporkan kematian atau korban yang terluka dalam peristiwa seperti amuk massa Wamena.

“Masalahnya selalu berulang. Jika orang asli Papua terluka dalam konflik, mereka selalu takut berobat di rumah sakit. Jika ada yang meninggal dalam konflik, keluarganya juga takut melapor. Mereka takut ditangkap dan disalahkan,” kata Pastor Ivan.(*)

Jurnalis Jubi Victor Mambor, Islami Adisubrata, dan Benny Mawel turut berkontribusi dalam penulisan berita ini.

Baca Artikel 1 dari 6 
Baca artikel 2 dari 6
Baca artikel 3 dari 6
Baca artikel 5 dari 6
Baca artikel 6 dari 6

 

Baca Juga

Berita dari Pasifik

Loading...
;

Sign up for our Newsletter

Dapatkan update berita terbaru dari Tabloid Jubi.

Trending

Terkini

JUBI TV

Rekomendasi

Follow Us