Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
Oleh: Hari Suroto
LEMBAH Baliem merupakan lembah terkenal di pegunungan tengah Papua. Lembah ini terletak pada ketinggian 1500 hingga 1700 meter dari permukaan laut.
Setiap setahun sekali pada bulan Agustus diadakan Festival Budaya Lembah Baliem di tempat ini. Festival ini sudah menjadi agenda kunjungan wisatawan mancanegara tiap tahunnya
Pada zaman kolonial Belanda, lembah ini diberi nama 'Grote Vallei' atau 'Lembah Besar'. Masyarakat yang tinggal di Lembah Baliem menyebut dirinya orang Hubula atau orang Balim (akhuni Palim meke).
Mengapa orang Baliem disebut orang Dani? Nama ini mungkin berasal dari tim ekspedisi Richard Archbold, seorang warga Amerika Serikat. Pada tahun 1938 – 1939 dia berkunjung ke bagian barat pegunungan tengah Papua. Ketika itu dia bertemu dengan masyarakat yang menyebut dirinya 'orang Dani'.
Sejak saat itu para antropolog menyebut 'suku Dani' untuk seluruh masyarakat yang tinggal di pegunungan tengah Papua mulai dari bagian timur Lembah Bidogai sampai ujung selatan Lembah Baliem.
Sejak dibukanya Kota Wamena pada tahun 1956, banyak orang dari Mamberamo Tengah bermigrasi ke Kota Wamena dan sejak itu mereka mulai menamakan diri Lani. Mungkin untuk membedakan diri dari orang Lembah Baliem, yang mereka namai Dani. Padahal masyarakat sendiri di Lembah Baliem tidak menamakan diri demikian, melainkan Hubula dan Wio.
Kota Wamena merupakan ibukota Kabupaten Jayawijaya. Tidak ada jalan darat yang menghubungkan antara Kota Jayapura dan Kota Wamena yang terletak pada ketinggian 1.650 meter di atas permukaan laut (baru dibuka beberapa tahun lalu).
Akses transportasi satu-satunya hanyalah pesawat terbang. Ada beberapa pendapat mengenai asal-usul nama Wamena.
Salah satunya adalah berawal dari seorang Eropa yang bertanya kepada salah seorang mama atau ibu Baliem yang sedang menyusui anak babi kesayangannya sambil berkata "yi wam ena oo.." (ini babi piara).
Oleh karena itu, orang Eropa tersebut menyebut tempat itu 'Wamena'. Benarkah ibu-ibu Balim menyusui anak babi kesayangannya seperti seorang bayi? Tentu saja itu tidak benar. Cerita ini memberikan suatu gambaran yang keliru oleh orang-orang luar terhadap orang Baliem.
Frits Veldkamp, seorang pegawai kolonial Belanda pertama di Lembah Baliem, menulis bahwa nama Wamena berasal dari Sungai Uwe yang oleh tim ekspedisi Richard Archbold pada tahun 1938 secara keliru menyebut sungai tersebut Sungai Wamena.
Masyarakat Welesi membenarkan adanya sungai kecil yang bernama 'Wamela' tetapi bukan 'Wamena'. Rupanya tim ekspedisi Archbold salah dengar nama itu dan mencatat 'Wamena'.
Frits Veldkamp berpendapat bahwa 14 Desember 1956 adalah peresmian lapangan terbang Wamena, dan menurutnya tanggal tersebut merupakan hari jadi Kota Wamena.
Sungai Baliem merupakan sungai besar yang terletak di dataran tinggi Papua berada pada ketinggian 1650 meter dari permukaan laut. Sungai ini mengalir melalui Lembah Baliem bagaikan seekor ular panjang ke arah selatan menuju pantai Asmat.
Orang Baliem memiliki mitos terjadinya Sungai ini yaitu: Pada zaman dulu ada seekor ular besar, yang suka memakan anak laki-laki.
Pada suatu hari dalam satu keluarga, lahirlah seorang anak laki-laki yang sangat dicintai oleh bapak, ibu, dan kakak perempuannya. Apabila orang tua pergi berkebun, anak perempuan mereka ditugaskan untuk menjaga adik laki-lakinya, dengan pesan agar segera memanggil bapaknya kalau ular, si pemakan anak-anak itu tiba-tiba muncul.
Pada suatu hari ular itu tiba-tiba datang. Anak perempuan segera berteriak memanggil bapaknya. Bapak itu datang dengan membawa kapak batu dan menyerang ular, maka terjadi perkelahian sampai akhirnya ular itu mati dipotong menjadi dua.
Sejak saat itu ular berubah menjadi Sungai Baliem dan kepalanya mengalir ke utara, sedangkan ekornya mengalir ke selatan.
Kenyataannya Sungai Baliem tidak mengalir ke utara. Mungkin saja pada masa lalu terjadi gempa bumi atau tanah longsor, sehingga menutup aliran Sungai Baliem yang mengarah ke utara.
Suku Lani yang tinggal di Lembah Baliem bagian barat mengenal sistem penguburan tradisional yaitu dengan cara dibakar (kremasi). Penanganan mayat dengan cara dikremasi umumnya dilakukan untuk seluruh masyarakat di Lembah Baliem. Ini berlaku untuk orang-orang yang meninggal baik karena tua, sakit, maupun mati dibunuh.
Dalam pelaksanaan upacara kematian Suku Lani, kepercayaan prasejarah masih kuat, hal ini tercermin dalam kepercayaan terhadap roh leluhur. Makna religius dari upacara kematian adalah membantu roh orang yang meninggal agar ia dapat pergi ke dunia roh dengan baik.
Upacara kematian ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan kosmos yang diharapkan dapat memberikan keselamatan baik kepada roh si mati maupun terhadap manusia yang ditinggalkan.
Tradisi kematian suku Lani yaitu proses dan tahapan pembakaran mayat. Sebelum pembakaran mayat, terlebih dahulu dilakukan pesta bakar batu. Jumlah babi yang dibunuh secara langsung menjadi tolok ukur tentang seberapa penting orang yang meninggal.
Prosesi pembakaran jenazah yaitu penyiapan kayu bakar dari jenis pohon kasuari (casuarina). Penyiapan sebuah lubang dengan kedalaman sekitar satu meter, lubang ini digunakan untuk menguburkan abu mayat.
Kayu bakar disusun membentuk segi empat, berdekatan dengan lubang yang digali. Mayat diletakkan di dalam posisi duduk di atas tumpukan kayu. Kemudian potongan-potongan kayu disusun di atas mayat, sehingga mayat tidak kelihatan lagi.
Selanjutnya pembakaran mayat dilakukan. Api pembakaran mayat disulut dari bagian atas susunan kayu bakar.
Selesai pembakaran mayat, maka tulang-tulang sisa pembakaran dikumpulkan. Abu dan tulang dimasukkan ke dalam lubang yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Untuk wilayah Distrik Kelila, sebagai penanda diletakkan batu di atas kuburan. Sedangkan di wilayah Distrik Ilugwa, di sekeliling kuburan dibuat pagar. Jika kuburan terletak di dekat honai, maka selalu dibersihkan dan apabila pagar rusak selalu diperbaiki, tetapi apabila kuburan terletak jauh dari honai misalnya di kampung lama atau bekas kebun, biasanya dibiarkan saja.
Ungkapan rasa duka atas kematian seorang kerabat yaitu dengan memotong salah satu dari sambungan ruas jari tangan perempuan dengan menggunakan kapak. Pemotongan jari tangan sebagai penanda kematian dan penghormatan kepada kerabat yang meninggal. Mereka percaya arwah dari yang meninggal akan menghargai rasa sakit yang diderita atau duka cita mereka.
Upacara yang menuntut korban menurut Turner dalam buku Ritual Process: Structure and Anti Structure (1974) merupakan upacara sentral dalam religi masyarakat yang sederhana.
Pada prinsipnya semua religi di dunia ini, memiliki simbol sendiri-sendiri. Suatu simbol tidaklah memiliki nilai dan kedudukan yang universal, tetapi berlaku terbatas dalam sistem religi itu sendiri dan komunitasnya.
Papua terletak di khatulistiwa dengan hutan hujan tropis. Pada masa prasejarah, pembukaan lahan pertanian tidak mudah, hanya dengan mengandalkan alat-alat batu.
Pohon-pohon yang begitu besarnya, dan seringnya hujan membuat pembukaan lahan dengan pembakaran sulit dilakukan. Sehingga pada masa prasejarah, penduduk Papua di dataran rendah mengembangkan sistem pertanian yang efisien.
Tidak perlu keluar banyak tenaga hanya untuk menebang pohon besar dengan alat batu. Mereka lebih mengandalkan penanaman umbi-umbian yang tumbuh merambat dan tidak membutuhkan banyak sinar matahari.
Sedangkan di wilayah dataran tinggi Papua, yang terletak di ketinggian antara 1.300 dan 2.300 meter di atas permukaan air laut, penduduknya juga mengembangkan sistem pertanian yang tidak kalah efisien. Wilayah dataran tinggi jarang dijumpai pohon berukuran besar, dengan cuaca tidak menentu dan intensitas sinar matahari juga terbatas.
Selain itu dataran tingi yang terletak 1.550 meter dari permukaan laut hanya dapat ditumbuhi oleh jenis-jenis tanaman tertentu saja. Tanaman ini adalah keladi, buah merah (pandanus), pisang Australimusa (jenis pisang asli Papua dengan tangkai buah tegak lurus), umbi rambat, dan tebu.
Jack Golson pada tahun 1972 hingga 1977 melakukan ekskavasi di perkebunan teh Kuk, Lembah Waghi, dataran tinggi Papua Nugini. Ia menemukan bukti langsung adanya pertanian awal sekitar 8000 SM di Papua Nugini berupa tradisi untuk membuat drainase di tanah paya-paya untuk pertanian keladi (Colocasia esculenta).
Situs Kuk merupakan pusat domestikasi tumbuhan independen. Di sini, sebagian areal rawanya dikeringkan dan dijadikan lahan untuk menanam keladi. Keladi yang ditanam di sini diperkirakan merupakan jenis keladi liar yang mengandung sedikit zat tepung, tetapi yang pucuk dan daunnya bisa dimakan.
Berdasarkan analisis polen yang dilakukan oleh Haberle (1991) terhadap sisa serbuk sari tanaman buah merah, yang ditemukan di Kalela, Lembah Baliem, diperkirakan pertanian awal di Papua Indonesia berlangsung 7.000 tahun yang lalu.
Hal ini menunjukkan bahwa Papua mengenal pertanian intensif dengan tanaman utama umbi-umbian yaitu keladi sejak 7.000 tahun yang lalu, sedangkan untuk wilayah Indonesia bagian barat bukti pertanian intensif diketahui sejak penutur Austronesia datang sekitar 5000 tahun yang lalu dengan mengenalkan tanaman biji-bijian yaitu padi.
Suku Lani yang bermukim di bagian barat pegunungan Jayawijaya sebelum tahun 1962 hidup dalam budaya prasejarah. Kehidupan mereka berubah sejak misionaris Bert Power, Lion Delinger, dan Garbert Ericson melakukan pelayanan di Distrik Kelila, Kabupaten Mamberamo Tengah.
Ketiga misionaris ini membuat lapangan terbang dengan dibantu suku Lani. Pembuatan lapangan terbang ini hanya menggunakan peralatan sekop. Bagi anggota suku Lani yang turut bekerja dalam membuat lapangan terbang, mereka diberi upah garam dan mata uang kerang.
Lapangan terbang selesai dikerjakan dalam waktu tiga pekan dan diuji coba pendaratan pertama kali oleh pilot Dave Steiger dengan pesawat Cessna 180.
Selain itu para misionaris juga membangun gedung gereja, rumah misionaris, dan asrama sekolah di sekitar lapangan terbang. Konstruksi rumah misionaris menggunakan bahan-bahan lokal, dengan arsitektur seperti rumah dari negara asal mereka yang disesuikan dengan iklim tropis.
Keberadaan asrama sekolah telah membuka peradaban baru, tempat belajar generasi muda suku Lani membaca dan menulis. Suku Lani yang bermukim terpencar, kemudian membangun rumah tradisional honai mereka di sekitar lapangan terbang.
Gereja, rumah misionaris, asrama sekolah, dan lapangan terbang merupakan situs arkeologi yang perlu dilestarikan. Situs-situs ini dapat dikembangkan sebagai obyek wisata rohani. (*)
Penulis adalah peneliti di Balai Arkeologi Papua