Layanan kesehatan PNG terus memburuk, ibu dan anak jadi korban

PNG alami pandemik TBC. - Australian National University/Development Policy Centre/Philippe Schneider/World Vision
PNG alami pandemik TBC. – Australian National University/Development Policy Centre/Philippe Schneider/World Vision

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh Martha Macintyre

Read More

Merenungkan kembali hasil penelitian atas pelayanan kesehatan dan status kesehatan perempuan dan anak-anak di Papua Nugini sepanjang 25 tahun, sangat mengenaskan melihat kegagalan memilukan ini dan semakin merosotnya layanan kesehatan bagi perempuan dan anak-anak.

Peningkatan layanan kesehatan yang dijanjikan dan diharapkan dari royalti industri pertambangan dan gas alam cair belum terealisasikan, dan persoalan-persoalan seperti korupsi dan inefisiensi dalam penyediaan layanan kesehatan, diperparah oleh kurangnya perhatian pemerintah bagi kesehatan masyarakat. Kombinasi ini telah menyebabkan krisis kesehatan masyarakat di seluruh negara itu. Meskipun alokasi anggaran belanja untuk Kementerian Kesehatan telah dinaikkan, sebagian besar intervensi dalam isu kesehatan masyarakat masih bergantung penuh pada lembaga-lembaga bantuan asing. Penelitian tentang kesehatan warga menemukan bahwa hampir semua intervensi dikelola atau didanai oleh pihak asing.

Meski sudah puluhan tahun menerima bantuan keuangan dan teknis dari pemerintah Australia, donor internasional lainnya, dan berbagai LSM, keadaan kesehatan masyarakat PNG terus memburuk.

Penyakit-penyakit yang sebelumnya telah berhasil dikendalikan penyebaran dan prevalensinya melalui imunisasi, sekarang tampaknya muncul kembali akibat jumlah anak-anak yang menerima imunisasi penuh semakin berkurang, dan semakin sulitnya upaya untuk menyimpan dan membagikan vaksin.

Tuberkulosis atau TBC sekarang telah dikategorikan sebagai wabah pandemik, di mana PNG merupakan salah satu negara yang paling parah dampaknya di seluruh dunia. Pemberian layanan kesehatan ke daerah-daerah terpencil semakin sulit, dengan kurangnya staf yang terlatih, upah yang rendah, bangunan-bangunan yang memburuk, dan keterbatasan obat-obatan yang penting dan pembalutan luka (dressing).

Dari semua Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) yang tidak berhasil dicapai oleh PNG, tujuan-tujuan terkait peningkatan kualitas kesehatan perempuan dan anak-anak, mungkin merupakan kegagalan yang paling mengerikan.

Angka kematian ibu (AKI) di PNG mencapai 215 per 100.000, ini merupakan angka yang paling tinggi di wilayah Pasifik, dan satu di antara beberapa yang paling buruk di dunia. Sementara itu, Angka Kematian Bayi (AKB) telah mengalami penurunan stabil sejak tahun 2000, saat ini angka itu adalah 37 per 1.000 kelahiran, masih tinggi dibandingkan dengan 14 setiap 1.000 kelahiran hidup di Kepulauan Solomon.

Kesehatan perempuan dan anak-anak itu lebih riskan, terutama di daerah terpencil, dan TBC sekarang merupakan penyebab utama kematian perempuan usia 15 dan 44 tahun. Pasien Kusta juga telah melonjak 25% dalam beberapa tahun terakhir, dengan sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak di daerah pedesaan. Organisasi Childfund Australia melaporkan TBC telah menjadi sumber penyakit bagi banyak anak PNG, banyak di antaranya bahkan tidak didiagnosis atau diobati.

Beberapa laporan terkini juga merekam angka yang sangat tinggi atas kasus malnutrisi dan kerdil anak, menyebabkan keprihatinan yang mendalam akan kesehatan mental dan fisik generasi mendatang.

Ke mana semua uang itu pergi?

Seperti yang telah ditemukan oleh banyak peneliti di PNG selama bertahun-tahun, dana kesehatan menghilang. Sebuah kajian independen atas Kementerian Kesehatan Nasional PNG, pada 2013, menemukan bahwa meskipun ada jutaan dolar yang diberikan dalam bentuk bantuan dari donor, dan anggaran kesehatan nasional yang terus meningkat, penyediaan layanan, infrastruktur, dan manajemen kesehatan masih tidak berjalan dengan efektif.

Masalah akuntabilitas dan mekanisme pelaporan yang tidak teratur, mengakibatkan jumlah pengeluaran yang kurang jelas – sehingga sulit untuk melacak dengan akurat ke mana dana itu pergi. Korupsi dan penyelewengan dana jarang diamati dalam konteks pelayanan kesehatan, tetapi desas-desus yang beredar mendukung pandangan umum bahwa dana itu sering kali dialihkan atau singkatnya, ‘hilang’. Ada banyak penghalang dan penundaan dana, dan dana itu sering gagal mencapai tujuan yang ditentukan.

Tetapi persoalannya bukan selalu hanya karena dana yang hilang, staf yang penting juga sering kali tidak ada di tempat. Kasus baru-baru ini merupakan salah satu dari banyak bukti nyata sebuah sistem yang gagal. Obat antiretroviral untuk HIV, paket pengobatan Sifilis, dan oksitosin yang sangat dibutuhkan untuk mengobati ibu-ibu yang baru melahirkan sudah habis, dan bantuan obat-obat dari Selandia Baru ‘duduk’ saja di dermaga menunggu pemrosesan bea cukai, tetapi staf yang bertanggung jawab atas pemrosesan pengiriman itu ‘tidak ada di tempat’ dan tampaknya tidak ada orang lain yang mau atau bisa untuk melakukan tugas itu. Masih banyak kisah lainnya mengenai pengiriman bantuan kesehatan yang tinggal di dermaga selama berbulan-bulan tanpa diproses.

Penyelesaian permasalahan ini memerlukan komitmen dari berbagai kementerian, sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh pemerintah Papua Nugini. ‘Tidak adanya kemauan politik’ yang diamati oleh Susan Crabtree meresap hingga ke semua bidang dalam pemberian layanan kesehatan.

Tata kelola sistem kesehatan PNG

Tata kelola sistem kesehatan di negara itu tetap menjadi masalah.

Semangat para pakar dan praktisi bidang pembangunan, untuk memperbaiki tata kelola yang gagal, termasuk memperkenalkan berbagai metode manajerial korporat sebagai cara untuk mencapai tujuan ini. Berbagai macam Audit, flowcharts, lokakarya, dan strategi pengawasan, pendekatan ini tampaknya juga tidak berhasil.

Kepemimpinan yang buruk, komunikasi yang gagal, kurangnya transparansi, serta sejumlah persoalan sistemik lainnya telah ditemukan, dan solusi-solusi manajerial telah disarankan untuk menyelesaikannya. Namun asumsi tentang penerapan sistem manajerial, bukan hanya mengabaikan kesulitan yang dihadapi staf sektor kesehatan di PNG, tetapi juga buta terhadap fondasi neoliberalisme yang mendasari kerakusan dan ketamakan manusia.

Jurang pemisah antara yang kaya dan miskin terus melebar, dan ketergantungan finansial pada pemasukan dari industri ekstraksi SDA untuk mempersempit kesenjangan itu telah terbukti tidak masuk akal. Tidak ada kemauan secara politik untuk mengatasi berbagai masalah rumit yang bermunculan dalam kesehatan masyarakat yang kian memburuk, kesehatan perempuan dan anak-anak pada khususnya, dan menurunnya layanan-layanan untuk masyarakat pedesaan yang terpencil. (Development Policy Centre, Australian National University)

Martha Macintyre bekerja di University of Melbourne.


Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply