Papua No.1 News Portal | Jubi
Auckland, Jubi – Warga di negara-negara Kepulauan Pasifik yakin bahwa korupsi adalah masalah yang genting, baik di sektor pemerintahan mereka maupun di bisnis, menurut sebuah laporan yang baru diterbitkan.
Sekitar sepertiga dari 6.000 orang yang diwawancarai di seluruh wilayah ini percaya bahwa sebagian besar, atau semua anggota parlemen dan staf di kantor kepala pemerintahan terlibat dalam korupsi, tulir laporan Global Corruption Barometer – Pacific 2021 yang disusun oleh organisasi internasional Transparency International.
Partisipan survei dari 10 negara dan wilayah diminta untuk memberikan pendapat mereka tentang korupsi, apakah mereka pernah mengalaminya secara langsung, dan apakah keadaan ini bisa berubah.
Menurut Transparency International, hasil dari survei tersebut merupakan data dari opini publik paling luas tentang korupsi yang pernah dikumpulkan di wilayah Kepulauan Pasifik.
Korupsi dilaporkan paling buruk di Kepulauan Solomon (97%) dan Papua Nugini (96%), diikuti oleh Federasi Mikronesia (80%). Data juga menunjukkan hal yang serupa di Vanuatu (73 %), Fiji (68%) dan Tonga (62%).
Meskipun lebih dari setengah responden melaporkan mereka cukup percaya akan kemampuan pemerintah mereka untuk melakukan pekerjaan dengan baik dan memperlakukan masyarakat dengan adil, 61% percaya korupsi adalah masalah yang signifikan dalam pemerintahan mereka dan 56 % berpendapat persoalan ini akan semakin memburuk.
Impunitas juga tampaknya menjadi masalah, dimana hanya kurang dari seperlima responden (18%) percaya bahwa pejabat pemerintah yang korup akan menghadapi konsekuensi yang pantas atas pelanggaran mereka.
Selain itu, hanya 14% responden yang percaya bahwa pemerintahnya selalu mempertimbangkan aspirasi mereka ketika mengambil keputusan.
Sekitar satu dari tiga responden juga mengakui pernah membayar suap.
“Salah satu hasil yang paling signifikan adalah seberapa sering orang-orang biasa di Pasifik secara langsung menghadapi korupsi dalam kehidupan sehari-hari mereka,” ungkap laporan itu.
“Sebanyak 32% orang yang diwawancarai baru-baru ini mengaku pernah membayar uang suap untuk menerima layanan publik – persentase yang lebih tinggi daripada wilayah lain yang pernah disurvei oleh Transparency International.”
Alasan paling umum yang disebutkan di seluruh wilayah untuk keputusan menyuap pekerja publik adalah untuk menerima layanan publik yang lebih cepat atau lebih baik. Ini tampaknya merupakan masalah di berbagai layanan pemerintah, mulai dari pengajuan dokumen resmi pemerintah hingga berurusan dengan polisi.
Hanya 13% dari mereka yang membayar suap untuk menerima layanan publik lalu melaporkannya. Angka ini meningkat menjadi sekitar 30% di Fiji dan Kiribati.
“Yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa 38% responden mengatakan bahwa mereka, atau seseorang yang mereka kenal secara pribadi, pernah mengalami ‘sextortion’, di mana seorang pejabat meminta pembayaran secara seksual sebagai imbalan menyediakan layanan pemerintah,” tambah laporan itu.
Sekitar seperempat responden juga pernah ditawari suap untuk suara mereka selang pemilu. Ini memiliki konsekuensi yang signifikan bagi integritas pemilu nasional dan lokal. Selain itu, 15% orang juga mengaku diancam jika mereka tidak memilih caleg atau kelompok politik tertentu. (Asia Pacific Report)
Editor: Kristianto Galuwo