Papua No. 1 News Portal | Jubi
Strasbourg, Jubi – Prancis telah dinyatakan bersalah melanggar HAM tahanan di Polinesia Prancis karena memperlakukan mereka dengan cara yang hina.
Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa juga menemukan bahwa Prancis tidak berhasil memperbaiki situasi ini, meskipun sudah ada berulang kali diberikan perintah mendesak oleh hakim-hakim lokal.
Sebanyak 32 narapidana telah mengajukan gugatan hukum terhadap Prancis pada 2016, termasuk di antaranya delapan tahanan di Tahiti, yang mengklaim tahanan di Penjara Nuutania di Tahiti terlalu padat.
Dengan empat tahanan dipaksa untuk berbagi satu sel dengan luas delapan dan 12 meter persegi, mereka mengeluh tentang kondisi tidak higienis, bau busuk, dan investasi kutu.
Pengadilan tersebut mempertimbangkan informasi dari Komite Eropa menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.
Karena Prancis tidak sempat memberikan keterangan mengenai ukuran sel dan jumlah narapidana yang ditempatkan di dalamnya, pengadilan di Strasbourg itu menyimpulkan bahwa pengamatan para tahanan tidak bisa disangkal.
Pengadilan itu lalu memerintahkan Prancis untuk membayar ganti rugi kepada mereka sebesar AS$27.000.
Pada Juli tahun lalu, berdasarkan berita dari Radio New Zealand, Menteri Kehakiman Prancis, Nicole Belloubet, menerangkan bahwa pada akhir 019, keputusan mengenai renovasi atau pembangunan kembali Penjara Nuutania di Polinesia Prancis akan diambil. Saat itu Belloubet mengunjungi Nuutania dan menyebut kondisi penjara itu tidak dapat diterima, ia menegaskan dia ingin memindahkan narapidana perempuan dari Oktober 2019.
Meskipun telah membuka penjara baru di Tahiti, Nuutania masih menampung lebih banyak tahanan daripada kapasitas seharusnya.
Penjara-penjara di Polinesia Prancis dan Kaledonia Baru telah bertahun-tahun ditunjuk sebagai penjara terburuk yang dioperasikan oleh Prancis. Penjara Camp Est di Kaledonia Baru, bersama dengan Nuutania, dikatakan sama buruknya.
Pada 2015, Prancis dituduh memiliki pendekatan neo-kolonial dalam caranya memperlakukan tahanan di wilayah-wilayahnya di luar negeri. Pengacara Thibault Millet, disadur dari Radio New Zealand, berkata kepada media di Tahiti bahwa lebih dari 100 tahanan di Polinesia Prancis telah menerima kompensasi dari Prancis atas kondisi buruk dimana mereka ditahan. Millet menyarankan jika tidak ada penjara yang lebih baik, Prancis harus mempertimbangkan hukuman alternatif, bukan hukuman penjara. (RNZI)
Editor: Kristianto Galuwo