Papua No.1 News Portal | Jubi
Muridan: Dialog tidak membunuh siapa pun
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD menyatakan pemerintah telah mengategorikan Kelompok Bersenjata (KB) Papua serta seluruh organisasi dan orang-orang yang tergabung di dalamnya, termasuk yang mendukung gerakan tersebut, sebagai teroris.
“Pemerintah menganggap bahwa organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif dikategorikan sebagai teroris,” kata dia, dalam konferensi pers di kantornya, di Jakarta, Kamis (29/4/2021) sebagaimana dikutip CNN Indonesia.
Pernyataan itu, agaknya tak lepas dari rangkaian konflik bersenjata antara TNI/Polri versus Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Puncaknya, Kepala Badan Intelijen Daerah (Kabinda) Papua, Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha gugur setelah terlibat kontak tembak dengan TPNPB di Kampung Dambet, Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Minggu (25/4/2021).
Pernyataan Menkopolhukam itu membuat Gubernur Papua Lukas Enembe menerbitkan siaran pers pada Kamis (29/4/2021). Enembe meminta TNI/Polri harus membuat pemetaan yang jelas tentang keberadaan TPNPB, sehingga tidak terjadi lagi kasus salah tembak dan salah tangkap yang menyasar penduduk sipil Papua.
Enembe mendorong agar TNI dan Polri terlebih dahulu melakukan pemetaan kekuatan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang melingkupi persebaran wilayah, jumlah orang, dan ciri-ciri khusus yang menggambarkan tubuh organisasi tersebut.
“Ini penting, sebab Gubernur tidak menginginkan adanya peristiwa salah tembak dan salah tangkap yang menyasar pada penduduk sipil Papua,” kata Rifai Darus, juru bicara Gubernur Papua saat membacakan siaran pers itu di Jayapura, di hari yang sama.
Seandainya Muridan dan Pater Neles Tebay masih hidup. Entah apa yang akan dikatakan dua tokoh yang saling bersahabat ini. Mungkin mereka akan menangis. Dialog damai yang mereka gagas sebagai obat yang ditawarkan bertahun lalu, tak kunjung terwujud. Kekerasan di Papua terus melingkar kelindan.
Pada 2009 lalu, Muridan dan kawan-kawannya di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menerbitkan buku “Papua Road Map, negotiating the Past, Improving the present and securing the future,” atau dikenal PRM.
PRM ditulis berdasarkan hasil penelitian di Papua yang dipimpin oleh Muridan pada 2004. Dalam ringkasan laporan yang berjumlah 35 halaman, dirumuskanlah empat hal yang menjadi inti masalah dan solusi untuk Papua; (1) Marjinalisasi dan diskriminasi (2) Kegagalan pembangunan (3) Kekerasan negara dan pelanggaran HAM (4) Sejarah dan status politik Papua.
Solusi yang ditawarkan: (1) Dibutuhkan paradigma baru pembangunan dengan menempatkan manusia Papua segagai sentrum (afirmasi dan recognisi) (2) menghentikan kebijakan yang memarjinalkan dan diskriminatif terhadap orang Asli Papua dalam segala bidang di Papua (3) Menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM masa lalu dengan metode rekonsiliasi. Rekonsiliasi dilihat sebagai jalan yang rasional daripada jalur yang lain mengingat tantangan yang ada di Papua. (4) menemukan titik temu untuk meyelesaikan perbedaan persepsi politik tentang masa lalu (sejarah) dan masa depan Papua (identitas politik) dengan langkah yang dialogis.
Muridan Satrio Widjojo dikenal sebagai ahli politik dan sosial Papua dan Maluku. Ia mulai meneliti masalah antropologi sosial dan politik Papua sejak 1993. Boleh dikata, nyaris seluruh karir intelektualnya dia persembahkan untuk Papua.
Adriana Elisabeth, kolega Muridan yang bersama di Tim Papua LIPI menulis, sekitar pertengahan 2008, sebelum laporan resmi PRM diserahkan kepada pimpinan LIPI, Muridan meminta Carmel Budiarjo menerjemahkan ringkasan itu ke dalam Bahasa Inggris.
Terjemahan itu selesai dalam satu minggu dan disebarkan Muridan melalui internet. Sejak saat itu PRM menjadi perbincangan berbagai pihak di Indonesia maupun luar negeri. Ada yang mengkritik bahkan menolaknya.
Ada pihak yang menilai PRM merupakan inisiatif yang belum pernah ada sebelumnya di Indonesia. Khususnya untuk menyelesaikan Papua secara damai.
“Namun (ada) kritik yang menentang bahkan mencurigai tim LIPI mendukung Papua merdeka, karena dialog merupakan jalan bagi Papua untuk meminta referendum demi mencapai kemerdekaan politik yang sesungguhnya. Di tengah pro dan kontra itu Muridan tak kenal lelah, bahkan secara konsisten terus menyampaikan kepada pihak-pihak di Papua, terutama di Jakarta mengenai perlunya dialog untuk mempertemukan dua kutub ekstrim Jakarta-Papua. Tembok besar dan tebal antara Jakarta-Papua harus dirobohkan karena itulah yang menjadi penghalang antara Jakarta dan Papua selama ini. Caranya melalui dialog,” tulis Adriana Elsabeth, dalam buku “Muridan Kita dan Papua, Sebuah Liber Amicorum”” yang disusun Wilson, JJ Rizal dan Solahudin (Komunitas Bambu, 2014)
Latifah Anum Siregar, Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua atau AlDP yang juga sahabat Muridan, mengenang Muridan sebagai sosok yang tak pernah berhenti memikirkan dan meyakinkan berbagai pihak untuk mendukung gagasan dialog. Muridan mengagas dialog bersama sahabatnya, mendiang Pater Neles Tebay, cendekiawan dan rohaniawan yang dihormati orang Papua.
“Penjelasan Muridan yang mendalam tentang Papua,mampu mendekatkan berbagai pihak dengan lingkaran di Papua. Secara khusus dia mampu menepiskan kakhawatiran komunitas nonPapua atau pendatang bahkan menginspirasi mereka untuk memahami begitu banyak kepentingan bersama antara orang Papua dan nonPapua sebagai bagian dari masyarakat sipil di Papua,” tulis Anum di buku yang sama.
“Jika dialog gagal, kita bisa mulai lagi. Tetapi jika dengan menggunakan kekerasan maka banyak yang mati dan siklus kekerasan tidak akan berhenti sebab terus saling membunuh dan balas dendam,” begitu Anum Siregar mengenang kata-kata sahabatnya itu. (*)
Editor: Angela Flassy