Papua No. 1 News Portal | Jubi
Indonesian American Society of Academics (IASA) sengaja memilih Papua sebagai proyek, bukan karena mudah, tetapi justru menantang.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Bambang Brodjonegoro, meluncurkan dua sekolah terintegrasi berpola asrama dalam kunjungannya di Papua minggu lalu.
Kedua sekolah adalah SMAN 3 Jayapura dan SMA Yayasan Pendidikan Persekolahan Katolik (YPPK) Adhi Luhur Nabire. Program yang berlangsung di dua sekolah sebagai percontohan digagas Indonesian American Society of Academics (IASA).
Di Nabire, Menteri Brodjonegoro mengatakan pemerintah ingin memastikan bagaimana perkembangan kedua sekolah dalam menerapkan metode berintegrasi sehingga kurikulumnya di satu sisi bisa menangkap dinamika global dan perkembangan dunia.
“Namun di sisi lain kita tidak meninggalkan kearifan lokal, terutama di estrakurikulernya,” katanya kepada wartawan usai peresmian di SMA YPPK Nabire, Kamis, 9 Agustus 2019.
Dalam metodenya nanti, katanya, akan didorong agar esktrakulikuler di asrama. Sedangkan di kelas adalah kegiatan yang berkaitan langsung dengan kebutuhan lokal. Misalnya di Nabire unggul dengan perikanan atau pertanian.
Selain mendapatkan hard skills di dalam kelas, siswa sekolah terintegrasi berpola asrama juga akan mendapatkan soft skills seperti kepemimpinan dan kepramukaan untuk meningkatkan daya saing lulusan.
Langkah tersebut, katanya, dipilih sebagai terobosan dan inovasi paradigma pembangunan untuk mendukung implementasi Inpres Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Papua dan Papua Barat.
“Sekolah terintegrasi berpola asrama adalah proyek percontohan, kalau proyek ini berhasil ke depan kita harapkan akan lebih banyak lagi SMA berasrama seperti ini yang terintegrasi kurikulumnya dan menyebar, terutama di kabupaten lain di Papua dan Papua barat,” ujarnya.
Sedangkan kearifan lokal terus didorong melalui kegiatan ekstra kurikuler dalam kurikulum SMA berpola asrama.
Pemerintah, kata Menteri, menggandeng swasta untuk pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan dengan menjadikan SMA YPPK (nonpemerintah) dan SMAN 3 Jayapura (pemerintah) sebagai sekolah percontohan.
Selain itu, katanya, untuk sekolah swasta, dalam hal ini SMA Adhi Luhur Nabire, memiliki keterbatasan dan sangat sulit untuk APBD provinsi maupun kabupaten disalurkan ke SMA swasta.
Apalagi, tambahnya, harus ada biaya operasional karena adanya asrama dan dukungan swasta dalam sekolah terintegrasi berpola asrama membuktikan bahwa setiap instansi atau individu bisa berkontribusi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
“Semangat kami adalah selalu mengajak pihak nonpemerintah dalam mengejar target pembangunan, untuk itu saya mengapresiasi dukungan para guru besar dan dosen yang tergabung dalam IASA serta Tanoto Foundation yang telah menyukseskan program ini,” ujar Menteri.
Wakil Bupati Nabire, Amirullah Hasyim, mengakui jika pendidikan swasta di Tanah Papua sangat memberikan sumbangsih yang signifikan dalam pembangunan sumber daya manusia.
Pemerintah daerah, katanya, selalu memberikan perhatian kepada sekolah swasta, selain sekolah negeri yang merupakan salah satu pelayanan dasar pemerintahan.
“Di Nabire salah satu sekolah yang memiliki kualitas terbaik di wilayah tengah Papua adalah SMA YPPK Adhi Luhur Nabire, kurang-lebih 25 tahun sekolah ini telah menunjukan komitmen yang nyata dalam menciptakan SDM dan ikut meningkatkan angka pastisipasi sekolah,” katanya.
Presiden IASA, Profesor Herry Utomo, mengungkapkan bahwa ada dua program terobosan yang dilakukan lembaganya didukung Kementerian PPN/Bappenas, yaitu pendidikan dan telemedicine.
Tujuan program untuk memacu pertumbuhan pendidikan dengan baik dan bisa digunakan sesuai kebutuhan yang akan dihadapi di era industri.
“Namun untuk Nabire belum bisa menjangkau terobosan telemedicine, tetapi SMA Adhi Luhur Nabire adalah pilot project yang mewakili sekolah di Papua,” katanya.
Dikatakan Prof Herry, salah satu tantangan di Papua adalah masalah pendidikan. Namun ke depan Indonesia akan sangat bergantung kepada kemampuan menciptakan sumber daya manusia yang kompatibel sesuai kebutuhan saat ini.
Semua tren ekonomi, tambahnya, sudah sangat bagus dan telah diprediksi Indonesia akan menjadi negera ekonomi terbesar pada 2050.
“Itu bukan omong kosong belaka, tetapi semua harus kembali kepada kemampuan dalam menggerakan sumber daya manusianya,” ujarnya.
IASA, katanya, sengaja memilih Papua sebagai proyek bukan karena mudah, tetapi justru menantang.
“Kami menyadari itu, tapi kalau berhasil akan mengangkat Papua, minimal bisa menjadi sama dengan daerah lain atau bahkan lebih dalam memberikan kontribusi untuk negara,” katanya.
Menurutnya beberapa statistik menunjukan bahwa kemampuan anak-anak Papua hanya 20 sampai 30 persen di bidang Matematika. Namun pelayanan pendidikan dan akses pendidikan sangat terbatas, termasuk pengaruh kondisi topografi.
“Sehingga kita harus memiliki sesuatu yang menyatuhkan anak didik untuk bersama-sama belajar di satu tempat dan terkonsentrasi sertadituntut untuk mempercepatnya,” katanya.
Tujuan IASA, katanya, dua yakni mengejar ketertinggalan dan mempercepat penguasaan bahan ajar.
“Jadi kita mempercepat sekaligus mengejar proses ajar agar mudah diterima oleh murid dengan harapan meningkatkan kualitas untuk Papua, bahkan di tingkat internasional,” ujarnya. (*)
Editor: Syofiardi