Jayapura, Jubi- Masyarakat di pedalaman Papua dan Papua New Guinea sejak lama ramai dengan model perdagangan tradisional dengan sistem dan hukum yang berlaku sejak nenek moyang mereka.
Masyarakat suku Amungme umumnya memperdagangkan tembakau dan buah pandamus kweng, perburuan serta kerajinan tangan. Selain itu mereka juga mengenal perdagangan barter atau tukar menukar dengan memakai alat tukar berbentuk kerang. Orang Amungme menyebut elal (Cypreata moneta), orang Mee menamakan mege, orang Dani sebut eka dan ort atau oot bagi orang Muyu di Kabupaten Boven Digoel.
Pater Michael Kamerer dalam bukunya berjudul, Woudloper God yang diterbitkan 1954 menyebutkan sebagian masyarakat di pegunungan tengah Nieuw Guinea sudah mengenal suatu sistem perdagangan yang luas, terikat dalam suatu peraturan yang pasti. Bahkan mereka sudah menetapkan hukum sendiri.” Kami melihat di segala jurusan penduduk pribumi mengembara melintasi pegunungan dengan memikul barang-barang dagangan untuk menukarnya dengan barang-barang yang mereka perlukan, yang hanya mereka peroleh di daerah daerah lain. Mereka berjalan melintasi lereng-lereng gunung yang mengerikan tidak merintangi jiwa dagang penduduk pribumi. Lalu lintas perjalanan berlangsung bukan karena hubungan kekerabatan dan kekeluargaan tetapi terutama karena tukar menukar barang.”tulis Pater Kamerer.( Arnold Mampioper, Amungme Manusia Utama dari Nemangkawi Pegunungan Cartensz hal:82-83)
Hal ini menyebabkan hubungan dagang sehingga penduduk sering menempuh perjalanan jauh ke daerah Lembah Baliem (pusat wam dan hipere), Yali, Ngalum(Oksibil), Moni, Mee, Yabi, Mapia dan Grimoora, Hamuku (Nabire) di Pantai Utara serta Uta di Pantai Selatan.
Ada empat jalur utama perjalanan mata uang kerang di dataran Papua sampai dengan Papua New Guinea,
- Jalur utara –barat Papua, yaitu oleh suku Grimora di Hamuku, pantai barat Nabire. Pusat suku ini terletak di Gilimancaro Erega, danau Manami dan Jamor. Orang Grimora menjual kerang ini kepada suku Jabi yang adalah orang Mee Barat yang tinggal di hulu Sungai Wanggar, Gunung Menow/Wijland, Gunung Cijo/Charles Louis, Titinama Korouw, Odiburay, Moanemani dan masuk ke penduduk Mee yang bermukim di sekitar danau-danau di Paniai. Selanjutnya kulit kerang ini berpindah tangan sampai ke Suku Moni, Amungme, Nduga dan Dani di Lembah Baliem. Ada cerita rakyat di kalangan orang Jabi tentang perjalanan kerang. Pada suatu hari dua orang bersaudara bepergian, entah untuk berburu atau berdagang, dengan membawa seekor anak babi. Karena lama mengembara, anak babi itu tumbuh menjadi besar dan berat untuk keduanya memikul atau menggendong. Selain itu makanan untuk babi juga sulit diperoleh, akhirnya babi itu dibunuh dan dagingnya dimakan dengan cara memasak dengan cara bakar batu. Ketika lubang bakar batu hendak dibuka untuk mengambil daging babi yang sudah masak ternyata lubang bakaran itu dipenuhi dengan kulit kerang Cypraea moneta yang disebut mege oleh orang Mee. Mege ini keduanya membawa pulang ke Titinima dan menjadi harta orang Jabi serta mulai diperdagangkan ke seluruh wilayah pegunungan tengah. Orang Jabi sebenarnya berkerabat dengan suku Grimeora di Erega, Manami di Danau Jamor sampai ke Hamuku. Jadi mungkin saja babi itu ditukar dengan mege orang Grimora. Agar kerabat mereka di Titinama tidak gusar karena babi hilang, maka keduanya membuat cerita tentang kisah babi berubah menjadi mege. Tetap banyak orang Jabi/Mee lah mempercayai kalau mereka yang pertama kali memperoleh mata uang mege dibandingkan suku-suku lain di Pegunungan Tengah Papua.
- Jalur masuk kerang melalui sebelah Utara Pulau Nieuw Guinea di bagian Timur (Papua New Guinea/PNG) yaitu melewati Wewak dan Madang mengikuti Sungai Sepik ke Ubrub, Kiwirok, Oksibil, Okbibab(wilayah suku Ngalum), Batom, Eipomek, Nalca, Ninia, Anggruk, Apalapsili/Kurima dan akhirnya sampai ke orang Dani di Lembah Baliem.
- Ada juga masuk melalui jalur Lae, Goroka, Mount Hagen wilayah Papua New Guinea ke arah Barat sampai ke Kiwirok wilayah suku Ngalum, Batom- Eipomek, Anggruk, Apalapsili dan Lembah Baliem.
- Jalur Timur Selatan Papua masuk lewat Sungai Fly menuju Inggenbit, Nimatika, Mandobo, dan Ngalum di Oksibil, seterusnya ke Barat dan mengikuti jalan yang sama ke Lembah Baliem.
Melalui jalur-jalur perdagangan tradisional ini masuk pula jenis kerang Plicanularis pullus dalam bahasa Byak disebut manggadews. Di Teluk Cenderawasih wilayah budaya Saireri kulit kerang ini digunakan untuk menghiasi kabila yaitu tas berupa koper yang dibuat dari bagian dalam gabah-gabah atau pelepah helai daun sagu.
Orang Amungme dan Dani sangat senang dengan kerang jenis Plicanularis pullus sebagai penghias di leher mereka. Kulit kerang jenis Melo amphora, Melo athiopica dan Melo melo masuk ke daerah pedalaman melalui jalur Hamuku, Mamberamo, Uta Mimika, Sepik (PNG), Digoel dan Sungai Fly.(Dominggus Mampioper)