Papua No. 1 News Portal | Jubi
KONDISI Pendidikan masih terus menjadi sorotan dari waktu ke waktu di Papua. Itu karena salah satu kebutuhan mendasar tersebut belum dinikmati secara merata oleh orang asli Papua (OAP).
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) sejatinya menjadi momentum utama untuk merefleksi sekaligus mengevaluasi kondisi pendidikan di Papua. Sayangnya, hari besar nasional yang diperingati setiap 2 Mei tersebut sering kali bermuatan agenda seremoni belaka.
Legislator Merauke, Moses Kaibu, menilai dunia pendidikan saat ini bukan mengalami kemajuan, melainkan malah kemunduran. Banyak warga Papua belum menikmati pendidikan layak lantaran loyalitas dan ketidakprofesionalan tenaga pendidik. Mereka yang bertugas di kampung banyak mangkir bahkan ada yang sangat jarang mengajar.
Kondisi itu, antara lain didapati Kaibu saat berkunjung ke sejumlah perkampungan di Distrik Kimaam dan Distrik Tabonji. Dia menemukan banyak siswa kelas VI belum mahir membaca dan menulis, tetapi dipaksakan mengikuti ujian akhir.
“Penyebab utamanya ialah guru yang jarang mengajar. Bagaimana anak-anak bisa mendapat pendidikan yang baik ketika guru mereka lebih memilih menetap berbulan-bulan di kota,” kata Kaibu kepada Jubi, Kamis (2/5/2019).
Ketua Komisi A, yang membidangi pendidikan tersebut mengaku kerap memberi masukan kepada pemerintah dalam berbagai kesempatan. Dia menyarankan pemerintah mempertimbangan kondisi keluarga saat menentukan penempatan tugas seorang guru.
“Suami-isteri yang menjadi guru seharusnya ditempatkanpada satu sekolah. Kalau dipisah, mereka tidak akan fokus sehingga sering meningalkan tugas dan tanggung jawab mengajar,” jelas Kaibu.
Kondisi pendidikan yang memperihatinkan kebanyakan terjadi di perkampungan OAP di wilayah perdalaman. Kaibu mendesak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Merauke memperhatikan serius persoalan tersebut.
“Kita memang tidak boleh saling menyalahkan. Saran saya, pemerintah sebaiknya membentuk lembaga pemantau. Lembaga khusus tersebut melibatkan sejumlah elemen masyarakat dan sekaligus menginventarisasi permasalahan untuk dicarikan solusinya,” kata Kaibu.
Anggaran besar
Keterbelakangan pendidikan juga ditemui Hendrikus Hengky Ndiken sewaktu mengunjungi Kampung Buti. Siswa kelas VI sekolah dasar takut mengikuti ujian akhir lantaran merasa belum fasih membaca.
“Menyedihkan sekali kondisinya. Itu terjadi di kota, apalagi di kampung-kampung di perdalaman. Pasti lebih parah lagi,” kata Legislator Merauke tersebut.
Ndiken mengatakan DPRD Merauke selalu menyetujui alokasi sebesar 20% untuk belanja pendidikan pada setiap APBD. Namun, dia menilai pendanaan besar tersebut tidak sebanding dengan pencapaian kemajuan pendidikan.
“Saya lupa besaran persis dananya, tetapi anggaran untuk dinas pendidikan dan kebudayaan jauh lebih besar daripada dinas-dinas lain. Sebanyak 20% APBD dialokasikan untuk pendidikan,” jelas Ndiken.
Ndiken mengaku sering menerima keluhan para orangtua mengenai guru yang jarang mengajar di sekolah. Mereka kebanyakan menghabiskan waktu di kota, dengan alasan sedang mengurus persoalan penting. (*)
Editor: Aries Munandar