Krisis perikanan di Pasifik Selatan

Nelayan di Laguna Vila di Vanuatu. - Eco-Business/DFAT photo library, CC BY-SA 2.0
Nelayan di Laguna Vila di Vanuatu. – Eco-Business/DFAT photo library, CC BY-SA 2.0

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh James Borton

Read More

Tony Yao biasanya memancing dengan perahunya di perairan pesisir Tahiti di Polinesia Prancis. Tetapi turunnya populasi ikan telah memaksa keluarganya untuk pindah, guna menemukan daerah penangkapan ikan yang belum terlalu dieksploitasi.

Kisah Yao hanya satu contoh dari Pasifik Selatan yang menunjukkan hilangnya surga di sana. Terumbu karang dan kepulauan yang terpencar di hamparan samudra yang luas ini menghadapi banyak ancaman, tetapi perubahan iklim dan penangkapan ikan yang berlebihan dapat dibilang sebagai ancaman yang paling serius. Dalam satu dekade terakhir, banyak nelayan kecil-kecilan yang melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Yao, atau bahkan meninggalkan mata pencaharian mereka sebagai nelayan.

Data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa hampir sepertiga dari populasi ikan global sudah over eksploitasi. Hal ini telah disebabkan oleh meningkatnya permintaan pasar makanan hasil laut dari seluruh dunia, terutama di Tiongkok. Akibat pasokan ikan mereka yang semakin berkurang di pesisir Tiongkok, mereka pun mengirimkan armada penangkap ikan ke perairan di wilayah terjauh di Pasifik. Di sini mereka menargetkan ikan tuna.

Wilayah penangkapan ikan tuna di Pasifik adalah wilayah yang terbesar di dunia, mencakup lebih dari 60 % tangkapan tuna global. Menurut badan perikanan Forum Kepulauan Pasifik, Forum Fisheries Agency (FFA), hampir semua tuna di wilayah ini ditangkap dengan menggunakan salah satu dari dua metode. Ikan yang akan dijual dalam kaleng umumnya ditangkap menggunakan purse seine atau pukat cincin khusus untuk menangkap ikan tuna cakalang. Sementara kapal longline atau rawai menangkap ikan tuna mata besar dan tuna sirip kuning yang diperuntukkan bagi pasar sashimi.

Ini adalah industri yang menguntungkan, satu tuna bisa mendatangkan AS $ 3 juta. Biaya yang dibebankan kepada kapal-kapal asing juga telah menjadi sumber pendapatan yang signifikan bagi pemerintah nasional. Menurut sebuah studi FAO yang dirampungkan pada 2014, negara-negara di kepulauan Pasifik Selatan mengantongi lebih dari AS $ 340 juta dari pembayaran lisensi penangkapan ikan tahun itu. Pada saat yang bersamaan, ikan tuna tetap merupakan sumber makanan dan pekerjaan bagi masyarakat setempat, banyak yang tidak senang melihat meningkatnya kehadiran kapal penangkap ikan Tiongkok di perairan mereka.

Tahun ini di Polinesia Prancis ada berbagai protes dan petisi daring untuk melarang kapal penangkapan ikan tuna dari Tiongkok. Banyak yang menuduh kapal-kapal Tiongkok itu menangkap ikan secara ilegal. Tidak ada bukti dari klaim ini dan Tiongkok juga menyangkal tuduhan itu. Namun, mereka memang diketahui telah memborong sebagian besar izin penangkapan ikan, meninggalkan sedikit untuk saingannya.

Komisi perikanan pasifik barat dan tengah, Western & Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) bertugas untuk mengawasi mandat satu konvensi internasional, yang bertujuan untuk menetapkan dan menegakkan peraturan bagi semua negara asing yang beroperasi di zona ekonomi eksklusif (ZEE) negara-negara Pasifik, serta di wilayah laut lepas antara garis lintang 20°LU dan 20°LS. Data WCPFC yang terbaru menunjukkan bahwa 3.239.704 ton tuna telah ditangkap di Pasifik pada 2017. Dari jumlah itu, 78 %-nya (hampir 2.539.950 ton) berasal dari kawasan yang dikelola WCPFC.

Namun penangkapan ikan tuna lebih sering terjadi di laut lepas, perairan yang umumnya tidak diatur. Terlepas dari upaya WCPFC, pengelolaan stok spesies ikan yang sering bermigrasi jauh, seperti tuna, seringkali gagal. Banyaknya wilayah perairan internasional yang luas di antara ZEE setiap negara juga mempersulit upaya pengelolaan perikanan di kawasan itu. Di sinilah Tiongkok mendominasi, dengan lebih dari 600 kapal dari total 1.300 kapal yang dioperasikan negara asing. Armada perkapalan mereka dimungkinkan oleh subsidi pemerintah, melalui bahan bakar dan pembuatan kapal, yang membantu membuka perusahaan-perusahaan baru dan memungkinkan yang lama tetap beroperasi.

James Movick, Direktur Jenderal FFA, mengungkapkan bahwa pengelolaan laut lepas adalah satu-satunya ancaman terbesar bagi keberlanjutan perikanan tuna di Pasifik. “Saat mereka memancing di ZEE kami, mereka tunduk pada peraturan dan rezim pengelolaan perikanan yang kuat. Di luar itu, cukup terbuka bagi semua orang, dan ikan tuna tidak mengenal batas ZEE kita,” katanya.

Kurangnya transparansi data dan pelaporan sektor publik tentang perikanan mempersulit persoalan ini. Organisasi Pacific Islands Tuna Industry Association di Fiji memegang daftar semua kapal penangkap ikan yang memiliki izin untuk menangkap ikan di wilayah tersebut. John Maefiti, seorang pejabat eksekutif asosiasi tersebut, mengindikasikan bahwa ada 627 kapal penangkap ikan Tiongkok yang terdaftar, dan mayoritasnya adalah kapal longliners. Namun dia menambahkan: “Ada juga beberapa kapal milik Tiongkok yang berlayar di bawah bendera negara kepulauan Pasifik.”

Cecile Matai, yang bertanggung jawab untuk pendaftaran izin penangkapan ikan lepas pantai, pesisir, dan laguna di Papeete, Polinesia Prancis, menegaskan: “Tidak ada kapal Tiongkok yang memiliki izin penangkapan ikan, tetapi ada kapal-kapal Tiongkok di pelabuhan kita yang singgah untuk mengisi bahan bakar dan belanja pasokan, atau mengalami masalah mekanis dan sedang diperbaiki.”

Krisis yang semakin genting akibat dampak perubahan iklim

Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), perubahan iklim mempersulit masalah keamanan pangan di Kepulauan Pasifik, dimana panen hasil perikanan diperkirakan akan turun hingga 10-30 persen pada 2050. Naiknya suhu air, tingkat oksigen rendah, dan perubahan dari arus lautan sudah mulai membawa dampak besar pada empat spesies tuna secara khusus, serta secara umum pada semua ikan, jaring makanan, populasi ikan, dan turunya keproduktifan reproduksi ikan.

Perubahan iklim juga menyebabkan lebih banyak cuaca ekstrem di Pasifik Selatan. Musim siklon pada 2015-2016 adalah salah satu musim yang paling parah dalam sejarah Pasifik. Siklon Winston, yang menyerang Fiji pada Februari 2016, adalah siklon terkuat yang pernah terjadi di belahan bumi selatan. Ketika suhu permukaan laut menjadi lebih hangat, angin badai, topan, dan siklon juga akan menjadi lebih kuat.

Naiknya permukaan air laut adalah masalah besar lainnya untuk pulau-pulau di kawasan ini. Panel Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) PBB memperkirakan ketinggian air laut, secara global, bisa naik hingga mencapai 83 sentimeter pada akhir abad ini jika emisi gas rumah kaca (GRK) tetap tinggi. Permukaan air laut merambat lebih cepat di Pasifik, dimana setidaknya delapan pulau berdataran rendah sudah tenggelam dalam beberapa tahun terakhir.

Pakar ilmu kelautan juga telah menemukan hubungan korelasi antara ocean acidification atau pengasaman air laut dan berkurangnya populasi tuna.

Dengan sejarah yang kaya di Pasifik Selatan, Tony Yao dan leluhurnya telah lama memelihara hubungan yang dalam dengan lingkungan laut. Lautan selalu menyediakan kehidupan. Menghadapi tantangan luar biasa selama berevolusi, budaya Kepulauan Pasifik sekarang mengalami hal-hal yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya, termasuk tinggi permukaan air laut, badai akibat siklon tropis, pemanasan dan pengasaman air laut, hilangnya terumbu karang, dan persaingan dari kapal penangkap ikan yang terdaftar dan tidak terdaftar. (Eco-Business)


Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply