Papua No.1 News Portal | Jubi
Oleh Joshua Mcdonald
Setelah lebih dari empat dekade menetap di Selandia Baru, Ned Cook tahu sata tiba waktunya untuk dia kembali ke negara asalnya, Tonga.
Kampung halamannya itu sedang berada dalam epidemi metamfetamina atau sabu-sabu yang mencerai-beraikan keluarga dan masyarakat, membebani rumah sakit dan penjara di sana. Cook adalah seorang konselor khusus tentang penyalahgunaan narkoba dan alkohol yang berpengalaman, ia juga punya sejarah penyalahgunaan narkoba sebelumnya. Ia telah mempersiapkan diri selama bertahun-tahun lamanya untuk kembali ke Tonga dengan tujuan mulai, melawan penyalahgunaan narkoba di sana.
“Ketika ia menjelaskan keputusannya kepada saya, ia seolah-olah mengalami kebangkitan spiritual yang tidak hanya memungkinkan dia untuk menghentikan kebiasaan itu, tetapi juga memberinya misi untuk membantu orang lain,” ungkap Kalafi Moala, seorang jurnalis veteran Tonga dan teman peribadi Cook. “Dia tahu Tonga memerlukannya.”
Ketika Ned kembali ke Tonga pada 2017, dia adalah satu-satunya konselor narkoba dengan kualifikasi memadai di negara itu, dan ia pun segera mulai bekerja – tetapi dia juga sadar akan risiko dari pekerjaanya.
“Saya tahu ini adalah bidang yang berbahaya dan itu dapat membahayakan hidup saya dan kehidupan keluarga saya,” katanya ketika diwawancara oleh seorang penyiar Selandia Baru dari 1 News pada 2019.
Kurang dari setahun setelah wawancara itu, dia meninggal dunia, dibunuh di luar rumahnya di ibu kota Tonga, Nuku’alofa. Seorang laki-laki berusia 20 tahun kemudian ditemukan bersalah melakukan pembunuhan dan dijatuhi hukuman delapan tahun penjara.
“Kepergiannya itu sudah pasti menyebabkan duka yang mendalam bagi semua orang yang mengenalnya, tetapi itu juga merupakan kehilangan yang besar bagi negara ini,” tegas Moala. “Tidak ada yang bisa menggantikan dia dalam pekerjaannya. Dia adalah satu-satunya konselor dengan pengalaman. Sekarang tidak ada seorangpun di sini yang bisa membantu orang-orang yang dia bantu dulu.”
Moala telah melaporkan perdagangan narkoba di Tonga sejak 1990-an, tetapi ia mengakui bahwa dalam beberapa tahun terakhir keadaan telah menjadi jauh lebih buruk.
“Masalahnya adalah jenis narkoba sudah berubah, dari kokaina menjadi sabu-sabu. Dengan kokaina, orang-orang tidak mampu membelinya, kokaina sampai ke sini dan langsung dikirimkan ke luar. Dalam beberapa tahun terakhir, narkoba yang masuk adakah sabu-sabu dan sekarang, di mana-mana kita bisa melihat langsung efeknya. Dalam beberapa tahun terakhir, ini telah berubah menjadi krisis yang nyata.”
Masalah untuk semua
Menurut data kepolisian Tonga, penangkapan terkait penyalahgunaan narkoba meningkat, dari 101 kasus pada 2018, menjadi 285 penangkapan pada 2020. Awal bulan ini Detektif Halatoa Taufa, wakil komisaris satuan tugas anti narkoba di Tonga, menekankan selang sebuah simposium nasional tentang narkoba, bahwa krisis yang sedang berlangsung saat ini jauh lebih buruk dari sebelumnya, dan tidak ada indikasi krisis ini akan membaik.
Tuntutan terkait narkoba di Mahkamah Agung Tonga juga meningkat sejak 2018, peningkatannya ini mencapai 206% pada 2020. Dari 930 tuntutan pidana yang diajukan sejak 2018, 529 diantaranya terkait narkoba.
Direktur jaksa penuntutan umum, James Lutui, menerangkan bahwa perang melawan narkoba bukan hanya kepentingan polisi atau jaksa. “Ini adalah masalah bagi semua masyarakat.”
Dampaknya sangat terasa di bangsal psikiatri Tonga, menurut psikiater dr. Mapa Puloka.
“Sekitar 20% sampai 70% dari semua pasien bulanan mereka datang karena ganja atau sabu-sabu, atau keduanya,” tegasnya. “Narkoba kini telah menjadi faktor utama penyebab terjadinya gangguan mental dan meningkatkan frekuensi kumatnya gangguan kejiwaan kronis seperti skizofrenia dan bipolar.”
Puloka mengatakan krisis ini telah meningkat dan sangat mengkhawatirkan, sehingga pasien bangsal psikiatri harus tidur di lantai rumah-rumah sakit.
Komisaris Lapas Tonga, Semisi Tapueluelu, awal tahun ini mengatakan kepada pemerintah bahwa mereka memerlukan dua fasilitas lapas yang baru untuk menghadapi tingginya pelanggaran terkait penyalahgunaan narkoba.
Tampaknya peringatan pihak-pihak ini telah diindahkan. Baru-baru ini Raja Tonga mengambil langkah langka ketika ia mengecam parlemen karena kurangnya perhatian mereka terhadap persoalan ini.
Dengan absennya perhatian dari pemerintah, LSM-LSM telah melangkah maju dan mulai bekerja, tetapi mereka juga berada di bawah tekanan yang signifikan.
Mele Prescott, yang sempat dilatih oleh Ned Cook sebelum kematiannya, sekarang adalah manajer program narkoba dan alkohol dengan Salvation Army di Tonga. Ia menekankan kesulitan mereka dalam membuat progres yang signifikan sejak kematian Ned.
“Saya merasa keadaan ini sangat sulit dan menantang. Saya dulu bekerja sangat dekat dengan Ned. Dia yang memimpin, tetapi sekarang saya hanya bsua berupaya mengikuti jejaknya,” tambahnya.
“Tetapi pada saat yang bersamaan, masalah ini menjadi semakin buruk. Awalnya kita mulai dengan mengadakan sesi konseling untuk pecandu narkoba di siang hari, hanya dua hari seminggu, tetapi sekarang dengan begitu banyak orang yang dirujuk dari pengadilan dan bangsal psikiatri, sekarang kami harus mengadakan setiap hari dalam seminggu, enam jam sehari.”
Tanpa dukungan, tampak sulit untuk berhenti
Di pinggiran Nuku’alofa terdapat sebuah rumah dengan tiga kamar tidur, dari luar bangunan itu terlihat tidak berbeda dengan rumah-rumah lainnya di sampingnya – tetapi ini adalah satu-satunya rumah aman bagi perempuan dan anak-anak di Tonga yang melarikan diri dari kekerasan, dimana penyalahgunaan narkoba seringkali terlibat.
‘Ofa Guttenbeil-Likiliki, pendiri dan direktur dari pusat krisis perempuan dan anak, Women and Children Crisis Centre (WCCC), mengatakan bahwa rumah tersebut memiliki kapasitas untuk menampung hanya enam perempuan dan 12 anak, tetapi seringkali menampung lebih dari 20 perempuan dan anak-anak mereka.
“Hal ini memang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, dengan meningkatnya narkoba, kita telah menerima semakin banyak perempuan yang mencoba melarikan diri dari suatu situasi yang sulit. Mereka dipukuli hingga lebam-lebam,” kisahnya.
Meskipun baru-baru ini pemerintah Tonga sudah meningkatkan anggaran untuk kementerian kepolisian, dari TOP 5 Juta (AU$3 juta) menjadi TOP 50 Juta (AU$30 juta) untuk perang melawan narkoba, Guttenbeil-Likiliki mengatakan mereka masih belum diperlengkapi atau dilatih untuk memberikan tanggapan yang tepat.
“Saat karantina wilayah, seorang laki-laki yang berada di bawah pengaruh narkoba mengikat seorang perempuan dan melakukan berbagai macam pelanggaran terhadapnya. Saat pemilik rumah datang untuk mengambil uang sewa, dia mendengar tampaknya ada kekerasan dengan terjadi, ia lalu memberitahu polisi, tetapi ketika polisi tiba, pria itu bilang semua baik-baik dan mereka langsung pergi begitu saja,” katanya.
“Kami juga tidak memiliki perlindungan di rumah aman kami. Berulang kali pengedar narkoba datang ke sini, berteriak-teriak dan mengancam kami. Saya benar-benar tidak merasa polisi dilengkapi atau memiliki sumber daya yang memadai untuk menangani orang-orang yang terlibat dalam narkoba.”
Guttenbeil-Likiliki mengatakan dampaknya pada anak-anak juga sangat parah.
“Kami menangani pasien yang melakukan percobaan bunuh diri, bocah itu baru berusia 16 tahun, dan kami lalu menemukan bahwa awalnya ia menggunakan sabu-sabu untuk membantunya belajar sebelum ujian tetapi kemudian dia menjadi kecanduan dan mulai melakukan hal-hal yang benar-benar mengejutkan keluarganya dan itu hampir merenggut nyawanya,” ceritanya.
Setelah sesi konseling yang diselenggarakan oleh Salvation Army di pusat kota Nuku’alofa, seorang pengguna narkoba mengatakan bahwa anak-anak dipandang sebagai sasaran empuk bagi pengedar narkoba, untuk membuat mereka kecanduan narkoba sejak kecil, tetapi juga untuk menjual narkoba, karena kecil kemungkinannya untuk anak-anak ditangkap oleh polisi dan mereka juga cenderung membagikan narkoba dengan teman-teman mereka, membuat mereka kecanduan juga.
“Yang benar-benar perlu kita lakukan adalah mengatasi masalah ini mulai dari sekolah, kita perlu mendidik anak-anak di usia muda, sehingga ketika mereka dihadapkan dengan narkoba, mereka tahu apa yang dapat terjadi,” katanya.
Pria itu tahu hal ini berdasarkan pengalamannya sendiri, karena dia juga mulai menggunakan narkoba pada usia 14 tahun, saat ia tinggal di San Francisco pada 1970-an. Pada akhirnya penyalahgunaan narkoba itu berakhir dengan proses hukum dan pada 2015, setelah 52 tahun tinggal di AS, dia dideportasi kembali ke Tonga, padahal dia belum tinggal di sana sejak dia masih kecil.
Meskipun dia telah bertobat beberapa tahun sebelum dideportasi, dia mengatakan pengalaman itu menyebabkan dia berada di tempat yang buruk secara mental, dan narkoba adalah caranya untuk melarikan diri. Sekarang ia takut bahwa dengan minimnya dukungan yang tersedia, dia mungkin dapat kembali terpuruk.
“Pada tahun-tahun saya bersih dari narkoba, saya mendapatkan SIM truk saya dan benar-benar mengubah hidup saya. Saya ingin masa-masa itu kembali, tetapi hal itu sangat sulit. Hanya ada sedikit bantuan di sini.”
Prescott mengatakan sebagian besar orang yang menghadiri sesi konselingnya juga merasakan hal yang sama.
“Mereka tidak ingin hal seperti ini terjadi, tetapi mereka juga tidak selalu bisa berhasil tanpa dukungan dari luar. Setiap hari ada lima atau enam orang yang datang kepada kami untuk mencari bantuan,” tambahnya. “Orang-orang ini ingin bantuan, tetapi saat ini mereka tidak punya tempat untuk berpaling.” (The Guardian)
Editor: Kristianto Galuwo