Kontroversi berujung tuntutan lengser

Guru dan pelajar menyampaikan tuntutan kepada Pemerintah Kabupaten Merauke, pekan lalu – Jubi/Frans L Kobun
Guru dan pelajar menyampaikan tuntutan kepada Pemerintah Kabupaten Merauke, pekan lalu – Jubi/Frans L Kobun

Papua No. 1 News Portal | Jubi

PERNYATAAN Tiasony Betaubun berbuah polemik. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Merauke itu dianggap memberikan pencitraan buruk terhadap SMP dan SMA Satu Atap (Satap) Terintegrasi Wasur.

Read More

Gelombang protes pun bermunculan, termasuk dari kalangan pelajar. Sekitar 250 siswa sekolah tersebut bergabung bersama guru mereka berdemonstrasi di Kantor Bupati Merauke, pekan lalu.

Pangkal masalahnya ialah ucapan kontroversial dari Tiasony. Dia menyebut SMP dan SMA Satap Wasur tempat menampung pelajar bermasalah dari sekolah lain.

Spanduk dan orasi bernada kecaman terhadap pernyataan itu pun mewarnai unjuk rasa. Aksi ini dipimpin Kepala SMP dan SMA Satap Wasur, Sergius Womsiwor.

“Saya mengajar sejak 2011 untuk mengabdikan diri kepada pendidikan bagi anak-anak asli Papua. Meskipun dengan berbagai kekurangan (fasilitas), proses belajar-mengajar tetap berjalan,” kata guru peserta aksi, Evarisa Ohoilulin.

Aksi para guru beserta pelajar ini diterima Asisten III Pemerintah Kabupaten Merauke, Anakletus Mambol. Dialog di antara mereka pun berlangsung panas.

Ohoilulin menyayangkan sikap Tiasony yang dianggapnya tidak pernah mendukung penuh keberadaan SMP dan SMA Satap Wasur. Sikap ini berkebalikan dengan pejabat-pejabat sebelumnya. Mereka sangat mendukung kemajuan sekolah karena mendidik anak-anak asli Papua.

“Hanya ada tiga guru berstatus aparatur sipil negara di SMA Satap, dengan 500 murid. Kepala kepala sekolah kemudian merekrut guru honorer. Kami semua tidak pernah mengeluh,” ungkap Ohoilulin.

Tuntut pencopotan

Selain menyelenggarakan pendidikan reguler, SMP dan SMA Satap Wasur menggelar program pendidikan kesetaraan, yakni Paket A hingga C. Pesertanya juga kebanyakan anak-anak asli Papua.

Womsiwor menantang Tiasony untuk datang bahkan kalau perlu ikut belajar di sekolah mereka. “Dia (Tiasony) adalah pribadi yang sesungguhnya tidak pantas menjadi kepala dinas. Pendidikan di sini membutuhkan sosok rendah hati.”

Womsimor juga mengingatkan Tiasony agar jangan memicu konflik. Namun, dia sejatinya meragukan komitmen dan integritas Tiasony selaku pengayom pendidikan di Merauke. Lantaran itu, Womsimor mendesak bupati mencopot Tiasony.

“Tiasony Betaubun segera diturunkan dari jabatannya. Hari ini juga dia seharusnya dilengserkan,” tegasnya.

Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Merauke tersebut menganggap Tiasony tidak mampu mengemban amanah dan menjaga nama baik bupati. Tindakan dan gaya bicaranya tidak mencerminkan seorang yang berpendidikan.

“Sebanyak 156 siswa dilabel bermasalah, padahal mereka akan mengikuti ujian nasional. Lalu, mereka itu juga orang asli Papua,” kata Womsiwor.

Womsiwor mengancam menurunkan massa dalam jumlah besar apabila Tiasony tidak diganti. Bagaimana pun caranya, mereka ingin Kepala Disdikbud Merauke itu dilengserkan dari jabatannya.

Mambol mengaku telah mendengar berbagai informasi mengenai Tiasony, termasuk dari para orang tua siswa. Dia berjanji menyampaikan tuntutan unjuk rasa tersebut kepada Bupati Merauke, Frederikus Gebze.

“Saya tak bisa mengambil keputusan. Namun, saya segera laporkan langsung kepada bupati untuk mendapat petunjuk lebih lanjut,” kata Mambol. (*)

Editor: Aries Munandar

Related posts

Leave a Reply