Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
Oleh: Hari Suroto
Kehadiran manusia pertama kali di Papua sekitar 5.0000 tahun yang lalu, tetapi hewan mamalia yang diintroduksi baru tiba belakangan. Kontroversi masih tetap ada perihal waktu kedatangan babi pertama, suatu unsur integral dalam banyak budaya lokal.
Babi yang ada di Papua saat ini dikenal sebagai jenis Sus Scrofa Papuensis. Babi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya di daerah dataran tinggi Papua. Meskipun demikian, sampai hari ini masih saja terjadi persilangan pendapat antar para ahli mengenai kapan pertama kali babi masuk di Papua.
Waktu yang diajukan sebagai saat pertama kali masuknya babi ke Papua adalah sekitar 10.000 tahun yang lalu, tetapi bukti lain mengajukan 6.000 tahun yang lalu, tapi belum dapat dipastikan secara definitif. Dengan demikian jenis babi yang kini sudah indigenous atau asli kemungkinan adalah persilangan antara babi hutan biasa, Sus scrofa dan yang kemudian datang atau diintroduksi dari Sulawesi yakni babi hutan Sulawesi, Sus celebensis, yang dahulunya merupakan jenis endemik Sulawesi.
Babi-babi ini dipelihara dan hingga kini masih merupakan simbol status dan sumber kemewahan atau kekayaan untuk semua daerah di pedalaman pada dataran tinggi.
Meski telah ditemukan tulang babi dari zaman pra-Austronesia di beberapa situs arkeologi di Papua Nugini, penemuan tersebut belum mendapat pengakuan internasional tentang keabsahannya. Walau hasil temuan itu belum sepenuhnya diakui, berbagai pihak setidaknya sepakat bahwa apabila memang telah ada babi di Papua diperkirakan terbagi atas dua fase.
Fase pertama terjadi sekitar 6.000 tahun yang lalu-yang berarti, sebelum orang Austronesia. Fase kedua adalah masa masuknya babi dan penyebarannya secara besar-besaran sebagai hewan hasil domestikasi (hewan yang sudah dijinakkan).
Kemungkinan besar hal ini terjadi ketika ada babi-babi liar yang berhasil melintasi lautan dan sampai di Papua. Atau, mungkin saja babi-babi ini dibawa oleh imigran tak dikenal yang tiba di Pulau Papua sesudah kedatangan orang Papua, tapi sebelum kedatangan orang Austronesia. Atau ada kemungkinan juga bahwa babi-babi itu dibawa masuk oleh orang Papua sendiri dalam kurun waktu yang relatif belum terlalu lama.
Dikemukakan bahwa barangkali ada orang Papua yang mengadakan migrasi kembali ke tiga wilayah di Indonesia: Halmahera, Alor dan Timor, serta saat kembali ke Papua, mereka membawa babi-babi dari ketiga tempat ini bersama mereka.
Dengan berbagai kemungkinan jawaban seperti dipaparkan di atas, tetap saja belum ada satu jawaban pun yang benar-benar diterima dan dianggap sebagai jawaban yang ‘memuaskan’ terhadap pertanyaan ‘kapan babi pertama kali masuk di Papua’.
Terlepas dari semua itu, semua data penelitian ilmiah tentang ‘masuknya babi di Papua’ selalu mengindikasikan waktu di atas 4.000 tahun yang lalu. Dengan kata lain, tak ada data ilmiah tentang keberadaan babi di Papua sebelum 4.000 tahun yang lalu.
Walaupun belum ada waktu pasti tentang kapan pertama kali babi masuk ke dataran tinggi Papua, tetap bisa dipastikan bahwa babi (bersama-sama dengan anjing dan ayam) dibawa masuk ke Papua oleh penutur Austronesia pada 1500 hingga 1000 SM.
Babi di berbagai tempat di Papua tidak hanya sekadar sebagai sumber pendapatan belaka. Babi juga menjadi “simbol” status kekayaan. Babi dipergunakan dalam acara ‘tukar daging babi’ dan dagingnya selalu menjadi menu utama dalam setiap acara pesta jamuan yang mereka adakan.
Babi adalah sumber protein hewani dan bagian dari ritual. Babi peliharaan telah dan tetap menjadi simbol prinsip nyata akan kemakmuran material di wilayah pegunungan Papua. Pembantaian sejumlah besar babi masih merupakan bagian penting dalam ritual setempat, sebagai tolak ukur kemakmuran sosial dan ekonomi. Tradisi menyantap babi telah menjadi ikatan sosial dan religi bagi penduduk Papua secara luas.
Pembagian daging babi yang sudah dimasak menentukan besarnya nilai pentingnya tradisi mereka dalam melaksanakan ikatan antara klan. Sepanjang perayaan masyarakat Papua di dataran tinggi akan mengkonsumsi daging dalam jumlah besar.
Di dataran tinggi, mengebiri babi jantan dengan pisau bambu saat baru berusia beberapa minggu adalah hal umum. Babi jantan yang dikebiri biasanya mudah diatur, jauh lebih mudah bagi wanita untuk mengurusnya. Hanya sejumlah kecil babi jantan yang tidak dikebiri demi kepentingan pembiakan. Babi hutan liar jarang ditemukan dekat kawasan pemukiman untuk dijadikan pejantan bagi ternak betina.
Dalam tradisi masyarakat pegunungan Papua, babi menjadi simbol kekayaan, bahkan lambang kekuasaan. Babi merupakan prasyarat utama dalam setiap pesta kawin maupun pesta jamuan. Untuk pesta kawin, babi termasuk mas kawin yang sangat penting nilainya. Dalam jamuan, daging babi dibagi-bagikan sebagai simbol persaudaraan dan persekutuan. Memasak babi serta memerciki para tamu dengan darah babi sebagai tanda persahabatan.
Suku Dani tidak makan daging babi setiap hari. Orang Dani jarang memotong babi hanya dengan tujuan hanya ingin makan dagingnya. Memotong dan memakan babi selalu terikat pada peristiwa sosial yang penting, seperti upacara pembakaran mayat, perkawinan, dan upacara inisiasi. Kecuali kalau babinya mengidap penyakit atau merupakan hasil curian; dalam hal tersebut dagingnya harus dikonsumsi secepat mungkin. Kesempatan memakan babi yang paling sering berulang adalah pada upacara pembakaran mayat.
Kesempatan unik lain dimana setiap orang baik laki maupun perempuan ataupun anak memakan babi selama beberapa minggu berturut-turut adalah pada pesta babi besar yang diadakan secara berkala.
Di wilayah dataran tinggi, jumlah babi yang dibunuh secara langsung menjadi tolok ukur tentang seberapa penting orang yang meninggal. Semakin banyak babi yang dipelihara, semakin tinggi pula gengsi serta nilai kekayaan pemiliknya. Sebagian dari kekayaan ini biasanya digunakan untuk memperbanyak jumlah istri yang menandakan meningkatnya poligami termasuk peningkatan status dan pengaruh politik.
Dalam upacara adat suku Dani, seperti perkawinan, kematian, pelantikan kepala suku, penyambutan tamu, pesta panen, dan festival budaya, babi (wam) dan ubi jalar dimasak dengan cara ”bakar batu” (wam ebe ekho). Suku Dani membunuh babi dengan cara menembaknya dari jarak sekitar 10 cm dengan sebuah anak panah yang diarahkan tepat pada jantungnya.
Persiapan bakar batu itu diawali dengan pemanasan batu-batu dalam perapian dan pemotongan babi-babi dalam bagian-bagian kecil. Batu-batu yang sudah sungguh panas itu kemudian diambil dengan sebuah ‘tang alami” (berupa dua potong kayu) dan diletakkan ke dalam lubang di tanah sebagai lapisan pertama.
Di atasnya kemudian diletakkan daun-daun pisang dan kemudian diatasnya lagi lapisan pertama dengan ubi jalar. Sayuran dan bagian-bagian daging babi yang kemudian ditutupi kembali dengan dedaunan.
Kemudian ditaruh lapisan kedua batu-batu panas, kemudian dedaunan, lapisan kedua bahan makanan kemudian ditutupi kembali dengan batu-batu panas. Demikianlah seterusnya dan di bagian paling atas batu-batu panas kembali. Bukit batu panas ini kemudian dibiarkan memasak selama dua jam dan kemudian dibuka. (*)
Penulis adalah peneliti di Balai Arkeologi Papua