Konsultasi pascareferendum Bougainville: apa, siapa, bagaimana, dan kapan

Dermaga penyeberangan feri di Buka. - The Interpreter/ madlemurs/Flickr

| Papua No.1 News Portal | Jubi

Oleh Gordon Peake

Read More

Periode kampanye untuk pemilihan calon presiden dan anggota parlemen telah dimulai di Daerah Otonomi Bougainville (ABG). Pemilihan umum selama tiga minggu akan dimulai pada pertengahan Agustus, hasil pemilu diharapkan akan rampung pada pertengahan September.

Siapa pun yang akan menjadi presiden nantinya, atau anggota parlemen Bougainville yang terdiri dari 39 kursi, ada tugas dan tanggung jawab yang besar menanti mereka – memajukan proses konsultasi pascareferendum Desember lalu dimana 97,7% orang Bougainville memilih untuk merdeka dari Papua Nugini.

Sesuai dengan Perjanjian Perdamaian Bougainville dan hukum yang mengimplementasikan perjanjian itu, hasil pemungutan suara dalam referendum itu tidak mengikat. Langkah selanjutnya adalah bagi kedua pemerintah melakukan untuk melakukan konsultasi mengenai hasil plebisit tesebut dan mempresentasikan hasil konsultasi ke parlemen pusat Papua Nugini yang akan mengambil keputusan akhir.

Tidak ada banyak yang hal yang terjadi sejak plebisit itu selesai. Pandemi Covid-19 adalah salah satu penyebabkan, tetapi tentu saja alasannya bukan itu saja.

Pada awal tahun ini, pemerintah Bougainville menghabiskan banyak waktunya dalam pembahasan dan upaya amandemen konstitusi Bougainville untuk memungkinkan presiden John Momis dalam mencalonkan diri sebaagai perisede, untuk periode yang ketiga. Sebuah amendemen konstitusian seperti ini harus didukung oleh setidaknya dua pertiga anggota parlemen ABG. Ambang batas itu tidak dicapai, jadi pemerintah membawa permasalahan ini ke Mahkamah Agung PNG, dengan alasan bahwa konstitusi daerah itu melanggar HAM presiden John Momis. Mahkamah Agung PNG sepakat untuk menolak dengan suara 4-1.

Sejak hasil referendum rampung, pemimpin-pemimpin Bougainville dan PNG hanya satu kali bertemu secara formal, pertemuan itupun tetapi tidak terlalu banyak membahas detail mengenai langkah-langkah selanjutnya. Hasil terpenting dari pertemuan selama satu hari di bulan Maret itu adalah mengubah nama pertemuan-pertemuan ini ke depan, dari Badan Pengawas Bersama atau Joint Supervisory Body menjadi Badan Konsultatif Bersama Joint Consultative Body.

Pertanyaan penting yang perlu dijawab oleh pemimpin-pemimpin terpilih Bougainville ada empat: ‘apa’, ‘siapa’, ‘bagaimana’ dan ‘kapan’.

Pertama, pertanyaan ‘apa’. Perjanjian perdamaian Bougainville-PNG tidak membahas apa definisi konsultasi, dan apa yang harus dibicarakan oleh kedua pihak. Ada banyak titik awal untuk memulai konsultasi. Contohnya, merundingkan kesepakatan mengenai wewenang dan fungsi tambahan pemerintah apa yang akan dapat ditransfer ke Bougainville, jadwal untuk proses transfer dan biayanya; menentukan dukungan apa saja yang perlu diberikan kepada pemerintah Bougainville dalam memungkinkan mereka melaksanakan tanggung jawabnya dengan efektif; dan tata kelola keuangan yang baru antara Bougainville dan PNG. Selain itu, menghidupkan ketentuan-ketentuan dari Perjanjian Perdamaian Bougainville terkait dengan pembagian pendapatan dari sektor perikanan yang selama ini tidak berlalu. Bougainville hampir sepenuhnya bergantung pada hibah dari Port Moresby, namun dalam beberapa tahun terakhir pemerintah ABG hanya menghasilkan beberapa juta dolar per tahun.

Tidak ada pokok pembahasan yang benar atau salah untuk memulai konsultasi ini. Yang paling penting adalah memulai konsultasi ini.

Pertanyaan tentang ‘siapa’ seringkali diabaikan. Sebenarnya siapa yang akan melaksanakan semua pekerjaan yang diperlukan dalam konsultasi seperti itu? Siapa yang akan menyusun position papers, mengerjakan exposure draft, mengawasi persiapan yang rumit dan detail yang sangat diperlukan dalam hal birokrasi, kebijakan, dan hukum.

Ini bukanlah analogi yang sempurna, namun ketika pemimpin-pemimpin Inggris dan Uni Eropa menegosiasikan halangan pertama Brexit, masing-masing pihak membawa ber-batalion birokrat, dan keduanya juga membawa ahli tambahan jika diperlukan. Hanya sedikit birokrat dari manapun di dunia ini yang dapat langsung menangani tantangan seperti menegosiasikan pengaturan pemerintah yang baru, dan itu termasuk pegawai-pegawai publik di Buka dan Port Moresby.

Bisakah komunitas internasional membantu dalam fase konsultasi? Orang-orang Bougainville dan Papua Nugini layak dipuji untuk keberhasilan referendumnya, tetapi Australia, Selandia Baru, Forum Kepulauan Pasifik (PIF), PBB dan lainnya juga mendukungnya dengan menyediakan dana dan keahlian teknis bila diperlukan.

Namun ketika tiba saatnya untuk memajukan proses konsultasi, aktor-aktor internasional pura-pura malu. Komentar resmi yang diberikan juga beragam, namun intinya tetap sama, mereka “tidak ingin terlihat ikut campur dalam masalah dalam negeri”. Namun ini tidak selalu benar. Tetangga-tetangga Australia, Selandia Baru, Pasifik, dan PBB, semuanya memainkan peran penting dalam memungkinkan bab-bab sebelumnya dalam proses perdamaian dan referendum tersebut. Alexander Downer, sebagai mantan Menteri Luar Negeri Australia, diakui karena telah meluruskan kebuntuan dalam pembahasan saat itu dan membuka jalan bagi Perjanjian Perdamaian Bougainville hingga bisa dirampungkan pada 2001.

Berasumsi bahwa kebijakan yang ada tidak menyiratkan sebuah kecenderungan agar konsultasi ini terseret tanpa batas waktu, langkah yang akan berguna pada saat ini mungkin adalah untuk menugaskan pakar-pakar yang relevan agar menyiapkan rancangan dokumen dengan opsi konkret mengenai bagaimana Bougainville dan PNG mungkin akan menangani masalah yang akan muncul. Kedua belah pihak dapat dengan bebas mengadopsi atau mengabaikan draf itu, tergantung keinginan mereka. Tetapi, apa yang akan dilakukan oleh dokumen-dokumen itu adalah memusatkan pokok-pokok pemikiran dan memberikan kerangka untuk konsultasi – dan setidaknya membantu pihak-pihak untuk mengetahui solusi seperti apa ingin dihindari. Atau, bagaimana dengan merekomendasikan beberapa opsi tentang bagaimana Bougainville bisa maju dengan mengimplementasikan berbagai kajian dan rekomendasi yang telah diajukan selama bertahun-tahun ini, termasuk KTT Pajak dan Pendapatan 2017 dan tinjauan komprehensif 2018 tentang tata kelola pemerintah oleh pakar-pakar independen yang, dalam kata-kata Presiden Momis, menemukan bahwa Bougainville “memiliki undang-undang yang bagus, tetapi gagal dalam mengimplementasikannya.” Kajian kedua ini belum dipublikasikan dan kedua pemerintah belum sempat membahas temuannya.

Ini merujuk ke tantangan berikutnya. Model dari penyelenggaraan konsultasi adalah pertanyaan lain – ‘bagaimana’? Tidak ada panduan mengenai bagaimana proses konsultasi ini seharusnya dilakukan. Tahun lalu, PBB telah memfasilitasi Satuan Tugas Perencanaan Pasca-Referendum. Mengumpulkan politisi-politisi dan pegawai-pegawai publik dengan dukungan dari beberapa penasihat teknis pada tahun 2019. Gugus Tugas itu sempat bertemu selama beberapa hari hampir setiap bulan di ruang pertemuan besar di Port Moresby. Saya menghadiri banyak pertemuan itu sebagai penasihat dari pemerintah Bougainville.

Format pertemuan seperti itu cukup sesuai, tetapi jika kita mengumpulkan 50-60 orang di ruangan mana pun, ini tidak akan kondusif untuk mencapai hasil yang nyata. Satu pilihan lain adalah lebih sedikit orang yang terlibat, tetapi selama periode waktu yang lebih singkat. Bagaimana kalau memulai proses ini secara virtual melalui Zoom? Sekali lagi, dengan menyiapkan draf dokumen akan membantu memberikan fokus.

Akhirnya, pertanyaan ‘kapan’. Pemilihan parlemen di PNG akan berlangsung paling lambat pertengahan 2022. Tidak ada banyak waktu yang tersedia untuk memulai proses ini dan mencapai, setidaknya, sedikit kemajuan sebelum perhatian beralih ke pemilu itu.

Satu hal yang pasti. Tingkat keterlibatan sebesar 97,7% akan diperlukan dalam bulan-bulan dan tahun-tahun mendatang. (The Interpreter oleh Lowy Institute)

Gordon Peake adalah penulis buku ‘Beloved Land: Stories, Struggles & Secrets from Timor-Leste’. Ia juga merupakan penasihat pemerintah Bougainville dari tahun 2016 hingga awal tahun ini.

 

Reporter: Elisabeth Giay

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply