Konflik Intan Jaya (2) : Kekerasan yang mengorbankan warga sipil

Papua
Anggota DPR Papua, Thomas Sondegau (kiri) bersama bupati dan muspida Intan Jaya saat melihat korban penembakan di Intan Jaya Oktober 2020 silam - Jubi. Dok

Papua No.1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Suasana Sabtu (19/9/2020) pagi di halaman Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Gereja-gereja Injili di Tanah Papua atau YPPGI Hitadipa mencekam. Tentara mengumpulkan warga sipil Hitadipa di halaman sekolah yang telah diduduki TNI, dan dijadikan Markas Komando Rayon Militer atau Koramil Persiapan Hitadipa.

Read More

Sejumlah tentara Koramil Persiapan Hitadipa menyatakan TNI memberi waktu dua hari bagi para warga untuk mengembalikan senjata api SS1 yang hilang sejak 17 September 2020. SS1 itu dirampas Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dalam serangan yang menewaskan Serka Sahlan.

Ancaman itu jelas menunjukan stigmatisasi separatis yang dilekatkan kepada warga sipil Hitadipa. Ancaman ini membuat takut warga sipil Hitadipa yang mendapatkan beban untuk mengembalikan senjata yang tidak pernah mereka rampas.

Pengumpulan warga pada Sabtu pagi itu tidak dihadiri Pendeta Yeremia Zanambani. Sejak pagi, ia dan istrinya, Miriam Zoani telah pergi ke Bomba, kampung kecil di lereng perbukitan di selatan Kampung Hitadipa, mengolah kebun dan memperbaiki kandang babi mereka.

“[Sejak] Jumat malam, Bapa bilang hari Sabtu ingin bantu mama selesaikan atau bikin kebun dulu, karena hari Senin [Bapa] mau naik ke tempat tugas. Pada Sabtu, 19 September itu, Bapa dan saya sama-sama pergi ke kebun yang satu lokasi dengan kandang babi. Bapa selesaikan pagar di kandang babi itu, sedangkan saya gali ubi. Selagi kami bekerja, sekitar jam 13.00 siang di Hitadipa ada bunyi tembakan. Ketika dengar bunyi tembakan itu, kami masuk ke kandang babi dan tutup pintu, karena TNI sudah bilang ke kami bahwa kalau dengar bunyi tembakan harus masuk rumah dan kunci pintu,” kata Mama Miriam.[1]

Suara tembakan yang didengar Mama Miriam itu adalah kontak senjata saat TPNPB menyerang Markas Koramil Persiapan Hitadipa. Serangan TPNPB itu menewaskan Pratu Dwi Akbar Utomo, prajurit Batalion Infantri 711/Raksatama yang bermarkas di Provinsi Gorontalo, Sulawesi.[2] Ia adalah bagian dari pengiriman pasukan yang diperbantukan menjaga Koramil Persiapan Hitadipa.

Insiden itu mengawali pergerakan pasukan TNI mengejar TPNPB dan menyisir kampung kecil bernama Taundugu. Rangkaian peristiwa itu berujung dengan penembakan yang menewaskan Pendeta Yeremia Zanambani.

Pasca penembakan Pendeta Yeremia Zanambani, Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III, Kol Czi IGN Suriastawa membuat pernyataan sepihak, menyebut Pendeta Yeremia ditembak oleh TPNPB. “Mereka sedang mencari perhatian di Sidang Umum PBB akhir bulan ini,” kata Suriastawa, Minggu (20/9/2020).[3]

Klaim Suriastawa dikutip berbagai media di Jakarta, membentuk opini publik di luar Papua. Akan tetapi, publik di Papua sulit mempercayai klaim TNI yang menyebut Pendeta Yeremia Zanambani dibunuh TPNPB.

Pendeta Yeremia Zanambani  adalah tokoh agama yang dihormati di Papua. Ia mantan Ketua Klasis Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Hitadipa. Sampai saat meninggalnya, Pendeta Yeremia Zanambani juga menjabat sebagai Ketua Sekolah Tinggi Alkitab Theologia di Hitadipa, sekaligus penasihat GKII Wilayah 3 Papua di Hitadipa. Beliau juga seorang ahli bahasa, dan penerjemah kitab suci Alkitab dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Moni, bahasa masyarakat adat di Intan Jaya.

“Dalam pelayanan, keseharian Bapa Pendeta tugas pelayanan di dua jemaat. Yang pertama di Jemaat Gereja Bahtera di Janamba, yang kedua di Bulapa. Bapa juga masuk tim penerjemah Alkitab dari bahasa Indonesia ke Bahasa Moni, jadi Bapa sering berangkat ke Timika atau ke Nabire. Bapa juga menjadi salah satu pengajar di Sekolah Theologia Atas yang ada di Sugapa. Biasanya Bapa bersama keluarga dan anak di Hitadipa itu hari Jumat, Sabtu dan Minggu,” kata Mama Miriam.[4]

Sejumlah aktivis advokasi hak asasi manusia dan gereja berusaha mencari informasi pembanding tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Intan Jaya pada 19 September 2020. Mereka menerima kesaksian dari Hitadipa, bahwa penembakan Pendeta Yeremia Zanambani dilakukan prajurit TNI.

Pembunuhan itu merupakan bagian dari rangkaian kekerasan di Hitadipa sejak 25 Oktober 2019, ketika TPNPB menembak tewas tiga tukang ojek. Pendeta Yeremia Zanambani merupakan korban jiwa ke-14 dari rangkaian konflik bersenjata yang terjadi di Kabupaten Intan Jaya sejak 25 Oktober 2019. Sejak saat itu, hingga 19 September 2020, terdapat sedikitnya sepuluh warga sipil yang tewas di tangan para pihak yang bertikai di Intan Jaya, dan sejumlah delapan warga sipil lainnya terluka. Dalam kurun waktu yang sama, sejumlah empat aparat keamanan tewas di Intan Jaya.

Pasca penembakan Pendeta Yeremia Zanambani, kekerasan di Intan Jaya berlanjut. Katekis dari Stasi Emondi, Gereja Katolik Keuskupan Timika, Agustinus Duwitau ditembak prajurit TNI pada 7 Oktober 2020. Duwitau yang terluka lantas dirawat di Sugapa.

Pada 26 Oktober 2020, prajurit TNI menembak Rufinus Tigau, seorang katekis dari Paroki Bilogai, Gereja Katolik Keuskupan Timika. Penembakan yang menewaskan Rufinus Tigau itu terjadi di Kampung Jalai, Intan Jaya.

Kekerasan yang meluas dan mengorbankan warga sipil menunjukkan TNI tidak sepenuhnya mengendalikan ekses operasi militer mereka di Intan Jaya. Proses hukum terhadap berbagai kasus kekerasan yang dilakukan oleh prajurit TNI juga minim. Dari berbagai kasus kekerasan di Hitadipa, baru kasus pembakaran rumah dinas tenaga kesehatan di Taundugu yang mencapai tahap penyidikan. Pusat Polisi Militer TNI Angkatan Darat (Puspomad) menetapkan delapan prajurit TNI AD sebagai tersangka kasus pembakaran itu.[5]

Hingga awal November 2020, ratusan warga sipil di Distrik Hitadipa dan sejumlah distrik lainnya telah mengungsi. Sejak 19 September 2020, Mama Miriam belum pernah kembali ke Hitadipa, dan belum pernah melihat pusara Pendeta Yeremia Zanambani.

“Kami tidak bisa pulang ke sana. Kami takut karena masih ada TNI di sana. Kami mau mereka keluar supaya kami bisa ke sana. Kami merasa terancam, karena dari awal mereka sudah sampaikan bahasa ancaman kepada gereja dan masyarakat. Kami sekarang berat pulang. Sampai saat ini kami juga tidak tahu Bapa kubur di mana. Kami mondar-mandir dan tidak tahu pulang ke mana. Kami tidak tahu, kami pulang apakah kami aman atau tidak,” kata Mama Miriam.[6] (*)

Baca Konflik Intan Jaya (1)

Baca Konflik Intan Jaya (3)

Baca Konflik Intan Jaya (4)

Baca Konflik Intan Jaya (5)

Baca Konflik Intan Jaya (6)

Baca Konflik Intan Jaya (7)

Baca Konflik Intan Jaya (8)

Baca Konflik Intan Jaya (9)

Catatan kaki

[1] Wawancara, Miriam Zoani, 23 Oktober 2020.

[2] https://news.okezone.com/read/2020/09/20/340/2280867/2-prajurit-tni-gugur-ditembak-kkb-di-intan-jaya-papua

[3] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200920144515-12-548604/tni-sebut-pendeta-tewas-ditembak-kkb-papua

[4] Wawancara, Miriam Zoani, 23 Oktober 2020.

[5] https://arsip.jubi.id/papua-delapan-oknum-tni-ad-tersangka-pembakaran/

[6] Wawancara, Miriam Zoani, 23 Oktober 2020.

Related posts

Leave a Reply