Komnas HAM bertemu Mahfud MD soal penyelesaian pelanggaran HAM dan Papua

Makam empat siswa korban penembakan Paniai berdarah yang terjadi 8 Desember 2014 di lapangan Karel Gobay, Enarotali, Kabupaten Paniai. – Jubi/Ist

Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jakarta, Jubi – Sejumlah Komisioner Komnas HAM bertemu Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin, (25/11) untuk membicarakan terkait penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dan Papua.

Pertemuan ini masih bersifat diskusi awal tidak menghasilkan kesimpulan atau rekomendasi, karena membutuhkan keterlibatan pihak-pihak lain.

Read More

Menurut Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, usai bertemu dengan Mahfud MD, mengatakan pertemuan mendiskusikan gagasan penyelesaian kasus HAM baik yudisial maupun non yudisial.

“Bagaimana penyelesaiannya, ada berbagai ide yang muncul yang yudisial yang nonyudisial. Kemudian juga kita bicara juga tentang Papua, ya bagaimana menyelesaikan masalah Papua dan paling akhir tadi bicara tentang apa yang kita sebut sebagai tren intoleransi ekstrimisme dan bagaimana cara mengatasinya,” ujarnya sebagaimana dilansir Antara.

Pembicaraan dengan Menko Polhukam, lanjut Damanik, masih bersifat umum dan tidak berbicara khusus tentang pelanggaran HAM, Papua dan lainnya.

” Pak Menko akan mengundang Pak Jaksa Agung, Menkumham, Mendagri, dan lainnya untuk duduk sama-sama,” tutur Taufan.

Papua: penyelesaian damai dan dialog

Terkait persoalan Papua, kata Damanik, kedua belah pihak sepakat untuk membangun komunikasi yang positif, konstruktif dengan semua pihak.

“Kami tadi lebih fokus, bagaimana meminta supaya Pak Menko menyampaikan apa yang selama ini menjadi pesan Komnas HAM agar bapak Presiden melakukan satu langkah-langkah yang sistematik untuk mengupayakan proses penyelesaian damai di Papua itu,” paparnya.

Menko Polhukam sendiri, kata Taufan, berencana akan ke Papua dan mengundang beberapa tokoh Papua untuk berdialog.

“Solusi penyelesaian Papua dengan mengundang berbagai tokoh untuk dialog, mendatangi mereka, mendiskusikan karena sebetulnya kami akan berkomunikasi dengan banyak pihak sana ya. Kami mendapatkan kesan bahwa masyarakat Papua ingin menyelesaikan persoalan yang ada,” ucapnya.

Wacana KKR

Sebelumnya, Mahfud MD meminta agar Komnas HAM menyiapkan bukti-bukti kasus pelanggaran HAM masa lalu.

“Saya kira Komnas HAM cukup dewasa untuk tahu kalau memang bisa, ayo saya yang bawa ke pengadilan. Tapi kalau memang tidak ada bukti ya nyatakan dong,” ujar Mahfud di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Selasa (19/11), seperti dikutip CNN Indonesia, Rabu, (20/11).

Dia mengatakan persoalan HAM masa lalu memang harus segera dituntaskan agar tidak selalu dijadikan komoditas politik. Dirinya juga mengaku tidak ingin Kejaksaan Agung dan Komnas HAM berlarut-larut dan tarik ulur dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu.

Mahfud juga sempat menyinggung jalur non yudisial sebagai salah satu cara penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. Hal itu bisa diambil kata dia, lantaran pelaku, bukti, hingga korban pelanggaran HAM masa lalu sudah tidak ada.

Menko Polhukam Mahfud MD disebutkan berencana menghidupkan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), untuk mempercepat penuntasan masalah pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Terkait gagasan pembentukan KKR ini, Amnesty Internasional Indonesia menanggapinya dengan beberapa catatan. Dalam sebuah wawancara yang dirilis Deutsche Welle (21/11) seperti dilansir tempo.co, Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia, Puri Kencana Putri, mengatakan wacana itu patut dipertanyakan. Khususnya apakah sudah dikonsultasikan, terutama dengan para penerima manfaat, dalam hal ini adalah korban dan keluarga korban.

Putri juga memertanyakan road map dan alur kerja rencana KKR itu. Baginya daripada disibukkan dengan memikirkan hal-hal teknis terkait pembentukan KKR secara nasional, sebenarnya Mahfud sudah bisa mendorong inisiatif yang sudah ada.

Apalagi, lanjutnya, hakikat KKR sebagai konsep dan bukan sebagai output teknis, adalah satu proses akuntabilitas di mana pengungkapan kebenaran menjadi agenda utama yang harus disediakan.

“Pertama, wajib disediakan oleh negara untuk memastikan peristiwa yang sama tidak terulang lagi. Kedua, untuk memastikan fungsi koreksi tersedia dan dilembagakan oleh negara. Ketiga, untuk memastikan ada pemulihan yang signifikan terhadap korban dan keluarga korban,” kata Putri.

Dia juga menyarankan langkah yang lebih efektif berdasarkan mekanisme dan inisiatif yang sudah ada, misalnya berkoordinasi dengan ketua DPR sebagai lembaga yang mengeluarkan hasil rekomendasi pansus orang hilang di tahun 2009.

Berdasarkan UU No. 26 tahun 2000 yang sudah 20 tahun dibentuk, lanjutnya, ada tiga pengadilan HAM adhoc, dan satu di dalamnya pengadilan HAM biasa, di mana semua pelakunya gagal diadili dalam arti bebas tanpa ada keadilan buat para korban dan keluarga korban. Terkait ada atau tidak adanya alat bukti Komnas HAM bisa memaparkan apa yang dimaksud sebagai alat bukti, yang dibutuhkan untuk menyidik.

“Tapi ini sepertinya saya gak tahu juga apa yang membuat negara seperti putar otak lama sekali untuk mengambil langah-langkah yang sebenarnya publik memiliki common sense-nya untuk menyelesaikan ini,” tandas Putri.

Masih terkait KKR, dilansir merdeka.com (16/11), Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Harris Azhar juga mengingatkan pentingnya memahami esensi KKR, khususnya bagaimana membuat orang berartisipasi. Yaitu orang-orang yang dikorbanlan, keluarga korban, dan membangun kepuasan mereka hingga proses healing (pemulihan) bangsa bisa terjadi.

Untuk itu pertama-tama justru negara harus mengakui bertanggung jawab, kemudian membentuk tim untuk menggambarkan hak korban.

“Namun, masalahnya, sejauh mana Mahfud bisa meyakinkan Presiden Jokowi untuk mengambil tindakan tersebut. Karena banyak nama seperti Prabowo Subianto, kemudian Wiranto dan lainnya,” kata Haris.(*)

Editor: Syam Terrajana

Related posts

Leave a Reply