Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Quaeres Rumbewas
Sebuah gelitikan untuk pengabdi negara, yakni ASN, lembaga sosial, dan para akademisi untuk sadar dan berbicara mengenai penindasan yang terjadi di Tanah Papua.
Terlepas dari pengabdian kita kepada negara ini, saya ingin mengajak kita semua untuk sejenak merenungkan dan melihat persoalan yang selama ini terbungkam dengan kesibukan kita, untuk mendorong “kemajuan” daerah kita, yang sebenarnya hanya karena dorongan dari luar, yakni pemerintah pusat. Hal itu sejalan dengan siasat penjajah untuk memperkuat fondasi agar penindasan terus berlanjut.
Kita sudah tahu siapa itu kolonial
Kita telah mengetahui bahwa penjajahan itu sejak dulu ada. Pengetahuan yang dipelajari sejak SD-SMA setidaknya sebagai pendasaran untuk memahami persoalan mengenai penjajahan. Namun, yang kita tahu (pelajari) selama ini hanya “subjektif keindonesiaan”—mulai dari Portugis yang menjajah selama 25 tahun (1509-1534/5), Spanyol (1534-1602), Belanda (1602-1942), dan Jepang pada 1942-1945 (lulusujian.com, 26 Oktober 2017) sebelum Indonesia merdeka. Di sini tidak berbicara secara khusus perspektif kepapuaan.
Setidaknya, dari situ kita sudah tahu mengenai kolonialisme. Bagaimana mereka (terjajah) pascakontak pertama sudah dipaksa bekerja demi kentungan penjajah. Kemudian mereka menyekolahkannya demi mendorong penghasilan mereka terhadap pemerintahan dan pendapatan mereka sendiri. Itu pun di bawah berbagai tekanan dan diskriminasi fisik dan verbal.
Khusus di Papua selama penguasaan Belanda, kita mendapat bagian terbaik dari kolonialisme, sehingga di satu sisi kita bisa lihat dari pengabdian terhadap negara berjalan mulus. Kita tidak terlalu mengalami proses kolonialisme yang keras di masa Belanda. Kalaupun ada, hanya beberapa tempat yang kontak dengan pemerintah secara langsung.
Mereka dipaksa membuat jalan baru untuk menghubungkan satu wilayah dengan wilayah lain. Dalam hal ini kita tidak mengalami kekerasaan dalam waktu yang panjang. Kita mendapat lebih banyak enaknya dari Belanda. Terutama karena kondisi ekonomi-politik di dunia mengalami kemerosotan yang mengakibatkan goncangan terhadap Belanda, yang membuat mereka tidak serius melakukan penjajahan lebih lanjut. Yang saya sebut sebagai masa “persiapan penjajahan”. Akibatnya, dengan cepat Belanda meninggalkan Papua.
Di samping itu mereka telah meninggalkan banyak kesan. Selain agama (gold, gospel, glory), yang hingga kini kita anut juga kesadaran terhadap kesejarahan kita.
Kemudian, berlanjut saat ini Indonesia melalui pemerintahannya sudah berlangsung 57 tahun. Kita juga telah mengalami pengalaman-pengalaman buruk yakni operasi militer—Januari 1967 yang menewaskan 40-an warga Manokwari, 12 Agustus 1968 yang menewaskan 162 orang, dan April 1969 yang mengakibatkan 14 ribu warga Pegunungan Tengah Papua mengungsi. Kejadian di Nduga sama seperti yang terjadi tahun 1969. Hanya saja objek munculnya konflik yang berbeda (tirto.id, 4 Desember 2018).
Sebenarnya kolonialisme atau kasarnya pencurian “tanah/wilayah” hingga saat ini masih terjadi. Namun opsi yang berhasil diciptakan oleh pemerintah membuat kita tidak peduli lagi dengan penjajahan atas diri kita sendiri.
Hal itu bisa kita lihat secara jelas pasca terjadinya konflik di Nduga. Kita hanya menganggap “itu masalahnya TPN/PB”. Kita masih terlalu cuek dengan segala kekacauan di sana. Cuek terhadap pengungsi dan kehidupan di Nduga. Terutama untuk merespons operasi militer di sana. Bahkan pemerintah pun “takut tegas” kepada pemerintah pusat karena serigala di depan mata mereka.
Kemerosotan
Ini adalah salah satu kemerosotan kita terhadap “rasa kemanusiaan”. Dunia timur dikenal dengan kekerabatan yang tinggi. Namun kekerabatan itu sudah jadi “sampah” yang harus kita hindari. Terutama melihat tekanan-tekanan militer yang ada saat ini. Ya, itu pasti akan terjadi karena opsi yang mereka ciptakan selama ini atas dasar kenyamanan.
Kita yang mengabdi kepada pemerintah (ASN) sudah diberi kenyamanan pekerjaan, uang, dan kenyamanan-kenyamanan lainnya, sehingga kita melupakan mereka yang ditekan oleh pemerintah. Kalau boleh saya sindir, jangan-jangan kita ini sudah benar-benar seperti makanan saja dikunyahkan (pemerintah), sehingga menganggap mereka adalah ayah dan ibu kita? Ya, kalau soal makan setiap keluarga punya tanggung jawab untuk memenuhinya, karena itu merupkan tanggung jawab dan pekerjaan.
Karl Marx mengatakan bahwa manusia hidup tujuannya untuk bekerja (homo faber). Namun dalam konsepnya manusia harus bekerja untuk dirinya sendiri. Tidak dari orang lain dan tidak untuk orang lain. Tetapi, kalo torang pada zaman ini malah bersyukur bisa mendapat pekerjaan daripada menganggur (hal itu tidak terjadi kepada negara berkonsep sosialis).
Hanya dengan itulah kita menganggap sudah memiliki mimpi, bahkan harapan terbaik dalam hidup. Apalagi jika kita menjadi manajer di perusahaan, “luar biasa” bahasa kita. Menjadi camat, bupati, gubernur di dalam sistem pemerintahan. Setidaknya untuk (mereka) yang menjadi pemimpin di dalam kedinasan tertentu sudah bersyukur.
Sebenarnya cara seperti ini pun termasuk dalam kolonialisme. Mengapa? Secara sederhana kita rumuskan kolonialisme adalah penguasaan tanah (kampung). Penguasaan hanya kata yang halus untuk membuat kita nyaman menerima istilahnya. Tetapi, bahasa kasarnya adalah pencurian tanah.
Lebih lanjut, tanah hanya benda. Jika tong (kita) bicara tanah berarti pasti ada isinya, yakni keragaman hayati, baik keindahan alamnya, tumbuh-tumbuhannya, hewan peliharaan, maupun yang liar, termasuk dengan manusianya. Kalau menguasai tanah, tanah tidak bisa bicara. Hanya manusia yang memiliki akal, sehingga kolonial (pencuri) melakukan pendekatan yang paling nyaman. Dengan itu, mereka dengan mudah mengambil apa yang diinginkan. Siapa pun akan berpikir seperti itu. Tetapi kita yang sebagai objek tidak mengetahui apa-apa.
Bentuk kolonialisme “zaman now”
Kolonialisme zaman sekarang lebih dewasa. Menggunakan kekerasaan (penyiksaan) sudah dianggap primitif. Pendekatannya sekarang sulit ditebak. Kekerasaannya pun sulit ditebak, karena dilakukan secara psikis. Kita tidak mungkin menyadarinya, karena mereka melakukan itu dengan cara yang tak terlihat. Misalnya dengan menekan perasaan pembelaan diri, seperti melakukan kondisi tertekan. Membuat teror agar kita takluk kepada mereka. Yang mampu melakukan ini adalah yang telah melakukan latihan khusus yakni militer.
Sebenarnya, kolonialisme primitif masih saja terus terjadi seperti yang dituliskan oleh Made Supriatma di dinding facebooknya. Misalnya yang terjadi di Nduga. Tentu saja di media pemberitaannya miring. Kita tidak bisa salahkan itu karena mereka harus melakukan seperti itu untuk menjaga kondisi kolonialisme.
Di Puncak Jaya akan ada taman Lorentz Nasional. Diisukan bahwa ini akan menjadi salah satu tempat wisata terbesar di Indonesia, sehingga mereka harus mempercepat pembangunannya. Namun TPNPB menghalanginya sehingga harus disingkirkan selama pemilu, supaya setelah itu mereka bisa melaksanakan pekerjaannya lagi.
Saya tidak ingin membenarkan TPNPB, tapi kenyatannya mereka membantah telah membunuh 27 orang di Yigi. Lalu, siapa yang salah? Dalam menghadapi persoalan seperti ini, kita harus menyadari bahwa kita sedang dijajah. Perlu langkah konkret. Sebenarnya sebagian besar orang Papua menyadarinya, tetapi masih ada sekat—yang jelas pasti berhubungan dengan makan-minum dan tujuan hidup kita kan?
Di samping memenuhi kebutuhan kita, masih banyak masalah yang membuat kita tertahan, yakni keinginan untuk memajukan daerah dan manusianya, serta memberantas bagian yang tertinggal. Tetapi, sebenarnya ini adalah keberhasilan kolonial karena kita telah melakukan standarisasi hidup kepada mereka.
Perasaan dan wacana kita terkait “harus sama dengan kota-kota besar dan tempat yang lain maju” adalah buah dari keberhasilan mereka agar kita terus mengabdi kepada mereka. Saya tidak berbicara mengenai kewajiban kita untuk mendapat pendidikan, keseharan, dst., tetapi ‘kecanduan untuk menyamakan diri dengan mereka’.
Kita juga harus bicara
Melihat beberapa hal di atas, kita tidak boleh diam. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kekerabatan, dan menghargai tanah sebagai mama, kita harus bicara. Masa kita mau tinggal diam kalau mama kita dipukuli, tanah kita dicaplok atau dicuri? Banyak jalan untuk kita bicara mengurangi persoalan kita. Ada banyak anak-anak yang terlantar, tidak berpendidikan, orang-orang yang mengalami berbagai penyakit, dan kesenjangan sosial lainnya.
Selama ini kita telah berusaha juga, namun saya melihat tidak begitu efektif karena berbagai persoalan. Persoalan yang lebih internal lumrah, tetapi kita perlu satu langkah yang konsisten untuk menyelesaikan persoalan ini. Anggap saja persoalan ini seperti permainan kain yang setiap ujungnya kita harus jaga supaya air yang berisi gelas tidak tumpah.
Hal yang perlu kita ubah adalah tujuan kita. Jika selama ini kita menganggap dorongan kita untuk mengejar indeks supaya tidak tertinggal dari pulau/kota-kota yang lain, maka sekarang kita harus berpikir bagaimana menyelamatkan banyak orang. Jika kita melakukan ini, maka hasilnya akan baik jika tidak dihalangi oleh kolonial.
Bagaimana kita berbicara?
Saya ingin mengakhiri pembahasan ini dengan beberapa pesan:
Pertama, kita juga tahu persoalan yang kita hadapi ini cukup rumit. Oleh karena itu, mari memperbanyak literasi mengenai konsep kolonialisme dan pasca kolonialisme, walaupun pasca kolonialisme masih merupakan wacana baru yang kepustakaannya masih minim, khususnya di Indonesia;
Kedua, lakukan satu langkah perlawanan sebagai penolakan terhadap kolonialisme. Misalnya dengan cara menyuarakan kekerasaan yang dilakukan oleh militer. Mereka yang menduduki kursi pemerintahan, misalnya, Dinas Kesehatan, melakukan pengambidan (pemeriksaan?) kesehatan kepada satu orang setiap bulan secara gratis. Tidak perlu banyak-banyak. Begitu pun dengan yang bekerja di bidang hukum dan bidang-bidang lainnya;
Ketiga, tidak membiarkan ‘anak-anak kita terlantar’, setidaknya dengan memberikan makan dan nasihat kepada mereka. Lebih baik juga membawa dia ke panti asuhan jika ada panti. Jangan memberikan uang kepada anak yang meminta uang, tetapi lakukanlah satu hal baik yang bisa Anda lakukan. Memberikan satu piring makan, buku, ataupun hal yang ia butuhkan itu sudah menyelamatkan bangsa kita pada generasi kedepan;
Keempat, didiklah anak kita dengan baik. Tidak membiarkan anak-anak kita terlantar. Bagi keluarga-keluarga di luar nikah, walaupun dipisahkan salah satu orang tua, tetap jaga dan berikan perhatian (kepada anak) dengan cara apa pun supaya anak tidak terlantar. Anak kecil hanya butuh perhatian dan kasih sayang. Mengajarkan hal yang benar, membela yang benar itu yang diperlukan bangsa kita.
Selain hal-hal yang disinggung di atas, lakukanlah hanya satu langkah yang mampu Anda lakukan, sehingga Anda dapat menyelamatkan bangsa kita. Yang datang di belakang ini adalah kehancuran, maka mari kita jaga diri kita, bangsa kita, dan melakukan satu langkah perlawanan.
Imperialisme yang enak katanya membawa kehancuran berwajah globalisasi, teknologi yang menyatukan, perusahaan-perusahaan yang menjanjikan buruh, yang di samping itu dengan robot yang akan memberikan harapan palsu menjadi buruh. Kolonialisme berwajahkan pemerataan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, yang tidak pernah kita rasakan selama ini. Walaupun sebagian dari kita sudah kenyang, yang penting kenyang tetapi itu tidak cukup untuk menghentikan kehancuran kita.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan ungkapan penginjil Izak Samuel Kijne: “Tanah dan bangsa Papua akan dikuasai oleh mereka yang memiliki kepentingan politik atas segala kekayaan dari hasil tanah itu, tetapi mereka tidak akan membangun manusia Papua dengan kasih sayang, sebab kebenaran dari keadilan akan diputarbalikkan, sebab banyak hal baru yang akan membuat orang Papua menyesal, tetapi itu bukan maksud Tuhan karena itu keinginan manusia.”
Jika kita sadar dan mampu melawan keinginan manusia (kolonial/penjajah/pencuri), maka kita akan menyelamatkan tanah kita. Maka, lakukanlah apa yang bisa Anda lakukan untuk melawan penjajahan. (*)
Penulis adalah alumnus STIE IEU jurusan Pemasaran Internasional, tinggal di Australia
Editor: Timo Marthen