Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Tiga pemuda di Indonesia menginisasi gerakan literasi untuk mengatasi melek baca tulis, lingkungan, dan hidup sehat bagi masyarakat. Mereka adalah Efraim dan Serani Simaremare di Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Kurniawan Patma di Papua.
Mereka berbagi cerita perjuangan dan tantangan dalam acara bincang-bincang “#BerbagiHarapan” dengan topik “Mengabdi dari Pelosok Negeri”. Acara webinar yang dimoderatori Lukas Ispandriarno dan Arta Elisabeth Purba tersebut diadakan Katolikana pada Senin, 6 Desember 2021.
Efraim menceritakan perjuangannya bersama teman-temannya sebagai relawan pendidikan mengajar di SMP Nuabosi, Desa Ndetundora II, Kabupaten Ende, NTT. Mereka mengisi ekstrakurikuler dengan mengajari kesenian, membuat perlombaan, membantu membentuk kepengurusan OSIS, melatih siswa berorganisasi, dan menggalang bantuan untuk membangun perpustakaan di sekolah.
Menurut lulusan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar, Bali tersebut kemajuan masa depan itu ada di desa. Karena itu pada 2019 ia memutuskan kembali ke kampung untuk menjaga dan membangun kampung halaman dengan sebaik-baiknya.
BACA JUGA: Ketidakmampuan baca tulis anak-anak di pedalaman Papua masih tinggi
“NTT itu bukan kekurangan anak-anak muda yang cerdas, tapi semuanya berada di luar daerah. Entah kenapa tidak mau berada di daerah dan pada 2019 saya memutuskan pulang ke kampung untuk berbuat satu dua hal untuk kampung halaman. Jadi itu awal saya mulai berkegiatan riil di kampung,” katanya.
Efraim dan teman-temannya juga sedang mengurus persoalan air minum bersih di desa. Program lain yang sedang dijalankannya adalah membuat Desa Wisata. Idenya sederhana dengan membuat spot-spot foto, karena pemandangannya bagus selain kampungnya itu memiliki nilai sejarah.
“Jadi kalau orang bilang puncaknya Jakarta itu adanya di Bogor, maka puncaknya Ende itu ada di kampung saya. Ketika berada di kampung saya bisa lihat pantai, lihat gunung, dan udaranya lebih sejuk, jadi bisa menjadi tempat untuk berekreasi. Kampung ini dulu juga dijadikan markas Belanda untuk memantu aktivitas masyarakat di Kota Ende,” ujarnya.
Kurniawan Patma menggunakan pendekatan literasi untuk menyelamatkan anak-anak yang berada di pedalaman Papua. Ia bersama komunitasnya Litercay For Everyone (LiFe) berkeliling ke pedalaman Kabupaten Keerom, Papua dengan fokus literasi baca tulis dan numerik, khusus bagi adik-adik Papua yang tidak mendapatkan sentuhan sekolah formal. Tapi selain itu juga mengajarkan literasi finansial untuk mama-mama Papua yang menjadi pedagang usaha mikro dan usaha digital bagi pemuda Papua.
“Fokus gerakan yang kami inisiasi adalah gerakan yang fokus di pendidikan, khususnya bagi anak-anak Papua yang tidak mendapatkan pendidikan formal,” ujarnya.
Patma adalah dosen sekaligus penulis dengan sejumlah karya, di antaranya buku “Literasi untuk Negeri Cenderawasih (Lentera)”, “44 OPSI”, “33 OPSI”, “MERAH” dan “Public Speaking. Ia memilih mengabdi di kampung sebagai panggilan hidup dan bentuk komitmen moral untuk berkarya bagi Papua yang fokus di pendidikan, khususnya bagi anak-anak Papua yang tidak mendapatkan pendidikan formal.
“Ada niat dari dulu bercita-cita menjadi pendidik, karena memang ‘background’ orang tua saya juga guru, keduanya guru. Jadi dari sisi naluri dan spirit pendidik dari mereka, saya terpanggil melayani secara berkelanjutan di Papua,” katanya.
Menurutnya mengabdi di Papua memiliki tantangan yang kompleks, di antaranya akses medan yang menuju kampung yang didampingi itu lumayan jauh, hanya bisa dilewati dengan mobil tertentu.
Selain itu tantangan terbesar waktu ke kampung mendapat penolakan dari masyarakat, misalnya selalu ada rasa curiga terkait dengan motif anak-anak datang ke kampung mereka.
Namun, kata Patma, melihat progres yang kemudian bisa didapatkan sejauh melakukan pengabdian di kampung adalah anak-anak yang dahulunya tidak melek baca tulis, setelah didamping mereka bisa membaca dan menulis.
Adanya perubahan itu membuatnya terpanggil untuk melayani secara berkelanjutan di Papua.
“Ada rasa takut karena kampung pertama kami melakukan giat hal-hal seperti itu yang kami rasakan, tapi kami selalu yakin bahwa selama niat kita baik maka akan ada penyertaan Tuhan,” ujarnya.
Serani Simaremare merupakan perempuan muda asal Medan yang mengabdi di Puskesmas Tanarara, Sumba Timur, NTT. Ia mengikuti program Kementerian Kesehatan, yaitu Nusantara Sehat yang ditugaskan selama dua tahun di Sumba Timur untuk membantu menguatkan pelayanan kesehatan di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, dan kepulauan.
“Selama dua tahun saya pergi ke Sumba Timur dengan tim ada enam orang yang terdiri dari beberapa tenaga kesehatan, ada perawat, bidan, tenaga kesehatan lingkungan, dan ahli gizi,” ujarnya.
Serani merupakan tenaga promisi kesehatan. Melalui program itu, Serani bertugas melakukan pemberdayaan masyarakat mengenai masalah gizi dan lingkungan. Literasi kesehatan terkait pentingnya memiliki WC dan melatih tenaga-tenaga kesehatan di kampung untuk menjadi tenaga promisi kesehatan.
Serani dan timnya juga melatih masyarakat untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk melalui kegiatan Larvitrap. Ini dilakukan karena NTT menjadi salah satu daerah dengan angka malarianya tinggi.(*)
Editor: Syofiardi