Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Kate Lyons
Beberapa hari terakhir sangat riuh bagi Sione Filipe Totau. Pria Tonga berusia 73 tahun itu, yang umumnya dikenal sebagai Mano, hidup dengan tenang di kota Brisbane di Australia, ketika minggu ini ia menjadi pusat perhatian global, setelah kisah tentang bagaimana ia dan lima temannya bertahan hidup selama lebih dari satu tahun di suatu pulau Pasifik yang ditelantarkan mendadak populer.
Artikel yang dikutip dari karya baru Humankind penulis Rutger Bregman, diterbitkan di Guardian. Tulisan ini menjabarkan bagaimana pada 1965, Totau dan lima temannya, remaja yang bosan dengan kehidupan mereka di sekolah berasrama di Tonga, mencuri kapal penangkap ikan dan memulai petualangan mereka. Badai besar menghancurkan kapal mereka dan setelah delapan hari terombang-ambing di tengah laut, mereka terdampar di pulau terpencil yang tak berpenghuni.
Dalam empat hari sejak diterbitkan, artikel itu telah dibaca lebih dari tujuh juta kali.
“Semuanya berjalan begitu cepat dan saya tidak tahu harus bilang apa kepada orang-orang,” kata Totau, dalam wawancara media pertamanya sejak artikel itu diterbitkan.
Meskipun bagi banyak orang kisah itu terdengar seperti banyak kisah Boys’ Own Adventure yang nyata, bagi Totau, ingatannya mengenai berbulan-bulan yang ia habiskan di pulau itu jauh lebih mengenaskan. Ketika kelompok itu pertama kali melihat Pulau ‘Ata setelah delapan hari di laut, Totau mempertaruhkan nyawanya untuk memeriksa pulau itu.
“Kita tidak sampai di pulau itu sampai malam hari, dalam kegelapan malam, saya harus berenang ke darat,” kata Totau. “Saya harus pergi duluan dan saya berkata kepada mereka ‘Kita harus berdoa dulu sebelum saya melompat ke laut’.”
Terlepas dari kenyataan bahwa pulau itu sebenarnya dekat dari kapal mereka, Totau berkata sangat sulit baginya untuk berenang mencapai pantai karena dia sangat lemah setelah “berbaring di kapal selama delapan hari tanpa makanan, tanpa minuman.”
“Ketika saya sampai di pantai, saya mencoba untuk berdiri tegak, tetapi ketika saya berdiri seluruh dunia seperti terbolak-balik, jadi saya berbaring dan merangkak ke darat dan ketika saya menyentuh rumput kering, saya lalu berbaring.”
Anak-anak lain memanggilnya dari kapal untuk melihat apakah dia berhasil sampai, tetapi dia terlalu lemah sehingga dia tidak bisa berdiri, dia hanya bisa meneriaki mereka bahwa dia masih hidup. Akhirnya yang lain juga berhasil sampai ke pulau itu.
“Kita sangat senang, tetapi hal pertama yang kita lakukan, kita berdoa, berterima kasih kepada Tuhan karena memimpin kita ke sana,” katanya. Kemudian, putus asa untuk mengenyangkan dahaga mereka, mereka berburu burung-burung laut, meminum darah mereka dan memakan telur mereka.
“Setelah itu, kita semua roboh ke tanah dan tidur sampai matahari terbit keesokan paginya membangunkan kita.”
Dalam wawancara Totau oleh Bregman, yang umumnya fokus pada sisi positif dari kisah mereka – kemampuan anak laki-laki itu untuk bekerja sama dan membangun sebuah komunitas yang bisa berfungsi untuk memungkinkan mereka bertahan hidup selama lebih dari setahun – berbeda dengan karakter dalam novel William Golding, Lord of the Flies. Totau mengatakan bahwa mereka berhasil menyelesaikan permasalahan dan menjaganya perdamaian, meskipun mereka kadang-kadang masih berselisih. Toh mereka adalah enam remaja yang terjebak bersama dalam situasi yang menakutkan.
“Kalian bisa memahami apa yang dapat terjadi pada sekelompok orang seperti itu, dan dalam situasi yang mereka hadapi,” katanya. Tetapi dia memperingatkan orang-orang agar tidak berpikir bahwa pengalaman mereka itu menyenangkan.
“Kami tidak bahagia dimana kami berada saat itu,” kata Totau. “Jika kalian berada di suatu tempat, kalian tidak tahu di mana tempat itu, dan juga kalian tidak melihat keluarga kalian sama sekali, saya pikir kalian tidak akan senang berada di sana … kalian tidak akan bahagia sampai kalian melihat keluarga kalian.”
Semua keluarga mereka di rumah di Tonga telah mengadakan pemakaman untuk semua anak-anak lelaki yang hilang, meskipun Totau berkata ketika dia bertemu kembali dengan kerabatnya, ayahnya meyakinkan dia bahwa dia tidak pernah menyerah berharap bahwa Totau masih hidup.
‘Mereka sangat takut’
Anak-anak itu akhirnya diselamatkan oleh Peter Warner, seorang petualang Australia yang berlayar di sekitar Tonga pada 1966.
“Saya tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaan kita, kita semua, kita penuh air mata, bahagia, dan seperti kita berjalan di surga,” kata Totau, mengisahkan saat mereka melihat kapal Warner. Salah satu dari mereka – Stephen – berenang untuk menjemputnya, anak-anak lainnya berdiri di atas bebatuan dan mulai berteriak.
Totau hanya bisa memuji Warner, sejak saat itu ia telah bekerja dengan Warner dan menganggapnya sebagai teman. Tapi dia berkata pada awalnya, Warner dan krunya takut melihat semua anak-anak itu.
“Mereka sangat takut, karena kita semua telanjang, rambut kita gondrong. Kita semua melompat ke air dan berenang ke arah kapalnya… Warner tidak langsung menurunkan tangga karena mereka semua takut, tetapi untungnya kita bisa berbicara dengannya dalam bahasa Inggris dan kita bisa berkomunikasi dengannya, dia bertanya beberapa pertanyaan, dia menunjukkan beberapa foto dari Tonga. Dia menunjukkan foto ratu kita kepada kita, kita menjawab ‘ya itu ratu kita, Ratu Sālote’… Seperti menguji dan mencoba mencari tahu apakah yang kita sampaikan kepadanya itu benar atau tidak.”
Ketika mereka kembali ke Tonga, anak-anak itu dipenjara – kapal yang mereka ambil lebih dari setahun sebelumnya dilaporkan dicuri dan pemilik kapal memutuskan untuk menggugat mereka – dan Warner-lah yang membantu membebaskan mereka. Dia mendengar bahwa mereka telah ditahan ketika, setelah mengantar mereka kembali ke Nuku‘alofa, mereka tidak datang di kapalnya untuk menghadiri pesta yang dia adakan untuk mereka.
Totau berkata Warner berjalan mencari mereka sampai pukul 1 dini hari, dimana dia mendengar tentang anak-anak itu, dan dia akhirnya membantu membebaskan mereka dari penjara dengan menjual hak atas kisah tersebut ke Channel Seven di Australia dan menggunakan dananya untuk membayar kapal pengganti.
Kritik atas penyampaian kisah Totau dan teman-temannya
Sejak artikel mengenai karya Bregman, sudah ada reaksi dari beberapa orang Kepulauan Pasifik. Kritik utama adalah kenyataan bahwa kisah anak-anak itu diceritakan lebih dari sudut pandang orang Australia yang berkulit putih yang menyelamatkan mereka.
Ada juga yang protes dengan penjelasan mengapa Pulau ;Ata tidak ada penghuninya – “Pulau itu dulunya pernah dihuni, sampai suatu hari yang gelap pada 1863, ketika sebuah kapal budak muncul di cakrawala dan berlayar membawa pergi penduduk aslinya,” tulis Bregman – sebagian orang merasa penjelasannya terlalu singkat pada kenyataan perdagangan budak Pasifik yang menyakitkan, yang menyebabkan puluhan ribu orang dari Pasifik Selatan diculik, ditipu, atau dipaksa menjadi budak di seluruh dunia.
Yang lainnya menentang bahwa Warner memiliki dan kemudian menjual hak atas kisah penyelamatan anak-anak itu.
Bagi Totau, dia juga ingin menggalang dana dari cerita itu jika ia bisa, dia menegaskan pada saat ini hanya siap untuk berbagi hal-hal yang menarik dari ceritanya, juga melalui buku.
Tapi dia geram ada yang menyalahkan Warner.
“Saya tahu banyak orang berkata kepada saya ‘Warner mendapatkan banyak uang dari kisah kita’. Jika tidak ada Warner, kita tidak akan pernah selamat, jika tidak ada Warner kita tidak akan ada di sini untuk menceritakan kisah kita. Jika Warner mendapatkan uang dari kisahnya, semoga dia sukses, itu pendapat saya.” (The Guardian)
Editor: Kristianto Galuwo