Kisah petani sayur di Kampung Wadio, Nabire

nabire papua
Djasmin baru tiba di rumahnya setelah memanen sayur dari kebun (kapleng) – Jubi/Titus Ruban.

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Nabire, Jubi — Djasmin baru saja tiba di rumahnya setelah memanen sayuran di kebun miliknya. Dengan menggunakan sepeda motor, ia mengangkut sayuran yang diikat di jok bagian belakang. Sayuran yang baru dipanen tersebut akan dijualnya kepada pedagang eceran keliling atau pedagang sayuran yang biasa berjualan di pasar di Nabire, Papua.

Usai memarkir sepeda motornya, warga RT 2/RW 3 Kampung Wadio, Distrik Nabire Barat, Kabupaten Nabire, Provnsi Papua tersebut menyambut Jubi yang datang bertamu. Setelah berbasa-basi sejenak, ia melayani Jubi yang memintanya menceritakan pengalamannya bertani sayuran di Nabire dan bagaimana perkembangan usahanya.

Read More

Djasmin menceritakan bahwa aktivitasnya di kebun yang juga di Nabire, Papua tersebut, jika cuaca cerah atau tidak sedang hujan, diawali sejak pukul 6 pagi. Di sana ia akan mengolah kebunnya dengan bercocok tanam aneka sayuran, seperti kacang panjang, kangkung, bayam, dan beberapa komoditas lainnya.

Aktivitasnya akan berhenti pada pukul 11 siang untuk beristirahat. Ia akan menggunakan waktu luang untuk menyantap makan siang, salat, dan beristirahat menghilangkan capek. Djasmin kembali lagi ke kaplengnya untuk beraktivitas di sana sekitar setengah jam mulai pukul 3 sore.

BACA JUGA: Petani sayur di Kota Jayapura resah akibat minimnya ketersediaan lahan

“Rata-rata petani di sini aktivitasnya seperti itu setiap hari, kalau cuaca tidak hujan,” ujar Djasmin kepada Jubi pada Kamis, 4 Maret 2021 siang tersebut.

Aktivitas bercocok tanam adalah pekerjaan utamanya. Lahannya yang berukuran 1 hektare dibuat beberapa bedeng untuk ditanami beberapa jenis sayuran.

Ukuran bedeng 50 cm X 100 meter. Biasanya dua buah bedeng akan digunakan untuk satu komoditas, misalnya kangkung.

Selain itu, sekali menggarap bedeng biasanya untuk tiga kali tanam. Di sinilah tenaganya agak terkuras. Sedangkan pengolahan tanah menggunakan traktor.

“Untuk biaya yang kita siapkan adalah pembeli pupuk, obat hama, dan bensin untuk modal awal,” katanya.

Sekali garap biasanya untuk tiga kali tanam. Selesai panen pertama lalu disemprot untuk tanam kedua, kemudian tanam ketiga juga sama.

Djasmin saat ini fokus menanam kacang panjang, bayam, dan kangkung.  Sebelumnya, dia petani semangka. Tetapi dengan mahalnya pupuk dan susahnya mendapat pupuk bersubsidi, ia membanting haluan untuk menanam sayuran.

“Kangkung untuk sekali panen dari dua bedeng hasil bersihnya Rp300 ribu,” ujarnya.

Sedangkan bayam untuk dua bedeng hasil bersihnya bisa Rp800 ribu dengan masa panen 20 hari.

Sedangkan kacang panjang sekali panen Rp300 ribu setelah 40 hari tanam. Tetapi bedanya kacang panjang dipanen tiap hari hingga dua bulan.

“Untuk kangkung hasilnya agak sedikit, sedangkan bayam agak banyak, tapi kacang panjang sedikit hasilnya, namun hampir setiap hari bisa panen selama dua bulan, hanya butuh perawanan kalau kacang panjang,” ujarnya.

Menurut Djasmin petani di sekitar lahannya, termasuk dia, sangat senang jika musim hujan. Sebab tanaman tidak membutuhkan bantuan pemiliknya untuk diberikan air, karena alam telah menyiramnya.

Ia dan beberapa petani lainnya juga senang lantaran lahan mereka tidak tergenang air. Sebab sudah dikelilingi dengan parit sehingga aman dari banjir.

Hanya saja, kendala akan dialami pada saat musim kemarau. Bila itu terjadi, jalan keluar untuk memberikan air kepada tanamannya adalah dengan menyedot air di selokan dengan menggunakan mesin.

“Jelas kami lebih senang kalau musin hujan, tidak repot-repot menyiram tamanan lagi, kalalu panas, kami akan pakai alkon bantu siram tamanan,” kata ayah dua anak tersebut.

Djasmin bercerita, sayuran-sayuran hasil panennya setelah diikat akan dipasarkan ke pedagang pasar atau pedagang keliling.

Petani tidak akan repot menjajakan dagangannya untuk diecerkan ke pasar. Mereka hanya menunggu langganannya mampir ke rumah untuk memborong.

Untuk kacang panjang akan dijual seharga Rp300 per ikat. Harga yang sama juga berlaku untuk kangkung. Sedangkan bayam dijualnya per ikat Rp500.

Menurut Djasmin, pedagang pengecer akan membeli atau memborong sayurnya. Selanjutnya mereka menjual secara eceran kepada pembeli.

”Saya dengar kalau sayuran dua ikat akan mereka jadikan tiga ikat, mereka akan jual lagi per ikat dengan harga Rp500, ya itu urusan dia (pedagang-red),” katanya.

Petani sayuran lainnya di kampung itu adalah Sarmin. Ia mengaku kendala utama dalam bercocok tanam baginya adalah pupuk. Sebab saat ini pupuk bersubsidi masih sulit didapatkannya. Jika ia terlambat membeli maka tidak kebagian.

“Hanya pupuk saja kendala kami, sayuran kalau tidak dipupuk tidak bisa, sebab tanah ini kita garap berulang-ulang,” ujarnya.

Baik Djasmin maupun Sarmin mengatakan berencana mengolah pupuk organik untuk mengatasi kendala pupuk yang mereka hadapi. (*)

Editor: Syofiardi

Related posts

Leave a Reply