Kisah Pendeta Victor A Corputy, rela jalan kaki sejauh 25 kilometer

Pendeta Victor A Corputy – Jubi/Frans L Kobun
Pendeta Victor A Corputy – Jubi/Frans L Kobun

Papua No. 1 News Portal | Jubi

“Saya tidak ingin merepotkan masyarakat setempat. Saya lebih memilih berjalan kaki, meskipun ditawarkan untuk diantar menuju ke penyeberangan ketika ada urusan di kota.”

Read More

SELALU membaur bersama jemaat kapan saja dan dimana saja. Bersikap rendah hati dan menunjukkan kepribadian yang sangat sederhana serta tidak banyak omong.

Saat mantan Bupati Merauke periode 2011-2015, Romanus Mbaraka, melakukan kunjungan ke Dusun Yakyu, Kampung Rawa Biru, ia pun membaur bersama masyarakat setempat. Sekaligus beriringan bersama menuju salah satu tempat dialog sekaligus penyerahan bingkisan Natal.

Adalah Pendeta Victor Agustinus Corputy. Sesaat setelah bergabung, masyarakat langsung menyampaikan kepada Romanus Mbaraka bahwa Viktor adalah seorang pendeta yang bertugas di Dusun Yakyu untuk tugas pelayanan bagi jemaat gereja, sejak tahun 2016 silam.

Dari pengakuan sejumlah warga, pendeta ini selalu lebih memilih berjalan kaki ke kota ketika ada urusan penting di klasis. Padahal, jarak tempuh dari dusun tersebut menuju tempat penyeberangan sangat jauh sekitar 25 kilometer.

Jubi pun penasaran dan meminta waktu kepada pendeta berpostur tubuh pendek itu untuk mewawancarainya. Dengan senang hati, ia berbicara tentang kisah dan pengalaman hidupnya selama bertugas sebagai pelayan bagi jemaat di dusun itu.

“Sejak tahun 2016, saya mendapat kepercayaan dari Gereja Protestan Indonesia (GPI) melakukan serta menjalankan tugas pelayanan kepada jemaat di Dusun Yakyu,” ungkap Pendeta Victor membuka percakapan.

Jumlah jemaat di dusun itu sebanyak 107 jiwa atau sekitar 24 kepala keluarga. Mereka sangat baik. Semua masyarakat kampung selalu bergotong royong jika ada pekerjaan dalam kampung.

Lalu setiap hari Minggu, semua menanggalkan aktivitasnya dan menuju ke gereja.

“Saya bangga sekali melihat kesadaran jemaat di sini yang rajin ke gereja,” ujarnya.

Victor mengaku sangat betah tinggal bersama jemaat di Dusun Yakyu karena lokasinya jauh dari kebisingan dan riuhnya suasana kota. Ia mengaku dapat hidup dengan sangat tenang karena tidak harus sibuk mengangkat handphone untuk berkomunikasi dengan orang. Dusun tersebut memang belum dimasuki jaringan telekomunikasi.

“Kalau ada urusan penting di Klasis GPI baru saya turun. Ataupun ingin bertemu dengan isteri Margarensi Kubiari serta dua anak. Itupun dilakukan dua minggu sekali atau sebulan sekali,” ungkapnya.

Victor berceritera ketika akan ke kota, ia lebih memilih berjalan kaki dengan jarak tempuh sekitar 25 kilometer atau memakan waktu 4 jam. Itupun harus berjalan terus, tanpa berhenti untuk sekadar istirahat.

“Kalau istirahat di jalan, sudah pasti waktu tempuh perjalanan sekitar 6-7 jam hingga tiba di tempat penyeberangan,” ujarnya.

Terkadang dirinya jalan sendiri. Tetapi kalau ada warga ingin ke kota, selalu jalan beriringan.

“Memang lebih banyak saya jalan sendiri dan tak pernah istirahat selama perjalanan. Kalau memilih beristirahat, otomatis lama perjalanan sekitar 6-7 jam,” ungkapnya.

Alasan lebih memilih berjalan kaki, karena selain tidak ingin merepotkan masyarakat setempat, juga ia belum bisa mengendarai sepeda motor.

“Ada motor warga di kampung. Tetapi saya tidak ingin merepotkan mereka. Lebih baik saya memilih berjalan kaki. Belum lagi ketika menggunakan motor, tentunya harus menyewa motor dan membeli bensin lagi,” katanya.

Berjalan kaki, baginya bukan persoalan meskipun jarak jauh dan memakan waktu tempuh yang lama. Dalam benaknya, yang terpenting urusan di kota bisa berjalan lancar, apalagi panggilan dari klasis.

“Memang saya belum sempat membawa isteri dan anak-anak datang di sini sejak bertugas tahun 2016 silam. Karena masih menumpang tinggal di rumah salah seorang jemaat,” ujarnya.

Bangunan Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Dusun Yakyu, Kampung Rawa Biru, Distrik Sota, Kabupaten Merauke – Jubi/Frans L Kobun

Sejauh ini belum ada rumah pastori yang dibangun. Rencananya tahun 2020 baru akan mulai dibangun menggunakan dana dari swadaya jemaat. Juga bantuan dana Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Merauke.

“Saya dengar kalau ada bantuan dana dari pemerintah. Hanya saja tidak diketahui berapa nilainya. Kalau sudah diterima, tentunya pembangunan rumah pastori akan dilakukan,” ujarnya.

Victor berjanji setelah rumah pastori diselesaikan, akan membawa isteri dan kedua anaknya tinggal bersamanya di Dusun Yakyu.

“Bagaimanapun juga isteri dan anak-anak harus selalu bersama,” katanya.

Dia mengaku menjadi vicaris di Asmat dan setelah penahbisan tahun 2010 silam di Merauke, dirinya diberi tugas pelayanan di Kaimana, Provinsi Papua Barat. Beberapa tahun kemudian, ia ditarik dari sana dan masuk di Klasis GPI Merauke. Sekaligus bertugas di Dusun Yakyu, Kampung Rawa Biru sejak 2016 sampai sekarang.

Kepala Dusun Yakyu, Robert Maywa, menggambarkan Pendeta Victor A Corputy sebagai sosok yang sangat sederhana. Komunikasinya sangat baik kepada warga yang juga jemaatnya. Jika ada kegiatan di dalam kampung, pasti dia hadir dan terlibat bersama.

“Kami berharap agar pendeta tak ditarik dari Dusun Yakyu. Karena sudah menyatu bersama warga setempat,” pintanya.

Robert juga menegaskan tentang pribadi Pendeta Viktor sebagai sosok yagn tidak ingin merepotkan orang lain.

“Saya berikan contoh saja kalau ia hendak ke kota, lebih memilih berjalan kaki. Padahal telah ditawarkan untuk diantar dengan motor,” ujarnya. (*)

Editor: Yuliana Lantipo

Related posts

Leave a Reply