Kisah penahanan jurnalis Selandia Baru: Dari penjara hingga parlemen Fiji

Reporter Melanie Reid, Mark Jennings dan juru kamera Hayden Aull pergi ke Suva untuk mencari jawaban, namun mereka ditangkap sebelum kemudian diundang untuk minum teh bersama Perdana Menteri Fiji. - PINA/ Newsroom
Reporter Melanie Reid, Mark Jennings dan juru kamera Hayden Aull pergi ke Suva untuk mencari jawaban, namun mereka ditangkap sebelum kemudian diundang untuk minum teh bersama Perdana Menteri Fiji. – PINA/ Newsroom

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh Melanie Reid dan Mark Jennings

Read More

Dalam investigasi terakhir untuk sebuah seri dengan tiga-bagian mengenai kerusakan lingkungan hidup di Pulau Malolo, Fiji, reporter Melanie Reid dan Mark Jennings pergi ke Suva untuk mencari jawaban, namun mereka akhirnya ditangkap, sebelum kemudian diundang untuk minum teh pagi bersama Perdana Menteri Fiji.

Hal ini dimulai dari penyelidikan kelompok jurnalis ini atas kerusakan lingkungan di Pulau Malolo, Fiji, yang disebabkan oleh proyek pembangunan hotel besar. Peristiwa ini berubah menjadi penangkapan dan penahanan kami di kantor polisi pusat Fiji di Suva, dan berakhir dengan tercapainya keadilan bagi desa itu dan penyewa lahan lainnya di sekitar lokasi pembangunan yang juga dirugikan oleh perusahaan besar Tiongkok itu.

Newsroom datang ke Fiji untuk melihat secara langsung dampak yang disebabkan oleh perusahaan besar Freesoul Real Estate, didukung oleh Tiongkok, di tanah dan lingkungan yang rapuh di Pulau Malolo – permata di gugusan pulau-pulau Mamanuca.

Namun tidak semuanya berjalan mulus. Dari detik kami mulai syuting, kami dirundung, dikejar-kejar, dan diancam oleh staf Freesoul. Kami menyaksikan seorang penyewa yang lahannya bersebelahan dengan proyek itu diserang oleh seorang pekerja Tiongkok di lokasi. Navrin Fox juga diserang ketika ia mencoba mengunjungi tanahnya sendiri, untuk menunjukkan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh Freesoul kepada kami.

Meskipun sudah empat surat perintah dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi, memerintahkan penghentian pekerjaan di lokasi itu, penduduk setempat menginformasikan kepada kami bahwa Freesoul terus melanjutkan pekerjaan mereka, dan menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan.

Kerusakan ini termasuk menimbun sedimen yang digali ke padang lamun, reklamasi pantai dan tepian pantai, menghancurkan habitat iguana, kura-kura, kepiting, udang dan ikan, serta menebang pohon-pohon di lahan di samping proyeknya.

Berbagai upaya untuk mengumpulkan bukti atas kerusakan itu digagalkan oleh Freesoul. Freesoul membangun pagar di pintu masuk ke lokasi yang dijaga sepanjang waktu oleh karyawan perusahaan lokal asal Fiji.

Ketika Newsroom menerbangkan sebuah drone dari kapal kecil di perairan dekat proyek, karyawan Freesoul mencoba menjatuhkannya dengan melemparkan batu. Sebuah kapal membawa tiga orang mengejar kami dan berusaha mendesak kami untuk menyerahkan drone itu pada mereka. Mereka meneriaki kami, mengancam bahwa polisi akan dilibatkan jika kami tidak segera meninggalkan daerah itu.

Kami lalu diberitahu bahwa ada pihak-pihak yang sedang berusaha mencari tahu di mana kami tinggal. Staf di salah satu hotel besar (ada banyak hotel di Malolo dan sekitarnya), di mana awalnya kami berencana untuk tinggal, berkata kepada kami ada ‘orang-orang’ yang bertanya-tanya tentang kami.

Berkantor di sebuah hotel kecil ternyata merupakan keputusan yang baik. Kami juga mengambil tindakan pencegahan dengan menyalin semua rekaman kami dan menyimpannya dengan penduduk desa. Penduduk setempat menerangkan kepada kami bahwa mereka sangat berhati-hati dalam mengkritik pemerintah atau siapa pun yang memiliki uang dan kuasa. Hidup mereka bisa menjadi sangat sulit dalam waktu sangat singkat, ungkap mereka kepada kami.

Alih-alih naik feri ke daratan, kami menyewa perahu kecil, menepi di pantai terpencil sebelum menuju ke Suva.

Masih ada dua tugas yang perlu kami lakukan. Mewawancarai pengacara yang mewakili penduduk desa dan pemilik lahan, yang tanahnya berdekatan dengan lokasi proyek pembangunan dan mendekati Freesoul, untuk meminta tanggapan dari mereka. Upaya-upaya sebelumnya, saat kami masih di Selandia Baru, untuk berbicara dengan satu orang pun di Freesoul, berakhir dengan saluran telepon ditutup.

Kantor Freesoul berlokasi di jalan utama di Suva. Gedung ini merupakan, sampai waktu dekat ini, lokasi restoran terkenal. Kami berharap bisa bertemu dan mewawancarai Dickson Peng, direktur lokal dari Freesoul.

Kedutaan besar Tiongkok nantinya akan menjauhkan diri dari Peng, menyatakan meski Peng mungkin terlihat seperti orang Tionghoa, tetapi dia sebenarnya memegang paspor Fiji.

Tidak yakin atas apa yang akan terjadi di kantor Freesoul, juru kamera kami mulai mereka film begitu kami masuk. Kunjungan itu ternyata lancar dan biasa saja – atau begitulah dugaan kami.

Ketika kami sampai di area resepsionis yang kosong, reporter Melanie Reid menuju ke tempat di mana tiga orang sedang bekerja. Dickson Peng bukanlah salah satu dari mereka.

Reid bertanya kepada mereka apakah mereka bisa memberi tahu kami, mengapa Freesoul menyebabkan begitu banyak kerusakan lingkungan di Malolo? Mereka menjawab bahwa kasus itu masih duduk di pengadilan dan mereka tidak bisa memberikan komentar apa-apa.

Kami lalu pergi menuju ke kantor pengacara Dr Ken Chambers, hanya beberapa blok dari situ.

Beberapa jam kemudian kami ditangkap dan dibawa ke kantor polisi Totogo, di mana kami ditahan sepanjang malam. Dua karyawan Freesoul telah melaporkan kami karena memaksa masuk tanpa izin ke kantor mereka, atau ‘forceful trespass’.

Selama penahanan kami malam itu, terlihat jelas minimnya kemauan mereka untuk mendengarkan cerita itu dari sudut pandang kami. Wawancara dengan co-editor Newsroom, Mark Jennings, dan juru kamera Hayden Aull dimulai tetapi tidak diselesaikan, sementara Melanie Reid tidak diwawancarai sama sekali.

Kurangnya kemauan para detektif tampaknya berasal dari pandangan bahwa semua proses itu tidak akan ada gunanya. Ada berbagai isyarat bahwa seseorang dengan posisi ‘yang lebih tinggi’ telah memerintahkan penangkapan kami.

Kami dibebaskan keesokan paginya atas perintah Perdana Menteri Fiji, Frank Bainimarama. Dalam pidatonya di hadapan Parlemen Fiji, Bainimarama menyalahkan insiden itu pada sekelompok kecil petugas kepolisian. Dia melanjutkan dengan permintaan maaf secara pribadi kepada kami bertiga, yang menurut Menteri Luar Negeri Selandia Baru, Winston Peters, terlihat tulus.

Seperti yang diungkapkan oleh akademisi politik Australia, Dr Dominic O’Sullivan dalam sebuah artikel baru-baru ini di Asia Pacific Report, Bainimarama sedang menghadapi dilema diplomatik. Ekonomi Fiji memerlukan investasi Tiongkok, tetapi tidak kerusakan lingkungan yang disebabkan pengusaha Tiongkok.

Tiongkok sekarang merupakan sumber investasi asing terbesar di Fiji, namun Bainimarama telah menekankan pandangannya mengenai lingkungan hidup. Perubahan iklim adalah bagian penting dalam kebijakan luar negeri Fiji, dan menurut O’Sullivan, enam dari 18 pidato kebijakan luar negerinya pada tahun 2018 membahas isu ini.

Banyak hal telah terjadi sejak kami dibebaskan. Departemen Lingkungan Hidup di Fiji telah mencabut izin-izin terkait analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) Freesoul.

Pengadilan Tinggi di Fiji, dalam perintah penghentian, telah memerintahkan Freesoul untuk restorasi daeran pantai dan terumbu karang di Malolo kembali ke keadaan semula.

Setelah beroperasi tanpa izin dan persetujuan selama beberapa waktu, momen Freesoul telah berakhir. (Newsroom/PACNews)


Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply