Kisah enam remaja Tonga terdampar di Pulau Ata minim narasi Pasifik

Sione, Stephen, Kolo, David, Luke dan Mano sampai di Pulau Ata pada 1965 setelah kapal mereka karam. - ABC/ Sione Filipe Totau
Sione, Stephen, Kolo, David, Luke dan Mano sampai di Pulau Ata pada 1965 setelah kapal mereka karam. – ABC/ Sione Filipe Totau

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Sydney, Jubi – Kisah yang berusia 50 tahun mengenai sekelompok remaja laki-laki Tonga yang menghabiskan setidaknya 15 bulan di sebuah pulau di Pasifik yang terpencil setelah kapal mereka karam, telah memikat hati jutaan pembaca di seluruh dunia minggu lalu.

Read More

Namun penuturan kisah itu, oleh seorang sejarawan dan penulis Belanda, Rutger Bregman, telah mendatangkan kecaman dari beberapa anggota komunitas kepulauan Pasifik, menegaskan bahwa kisah enam remaja Tonga itu disampaikan dari kacamata ‘kolonial’, dan sudut pandang Pasifiknya kurang.

Debat itu dipicu setelah the Guardian menerbitkan kutipan dari buku baru Bregman, Humankind: A Hopeful History. Kutipan yang sekarang telah dibaca lebih dari 7 juta kali itu berjudul ‘The Real Lord of the Flies: What happened when six boys were shipwrecked for 15 months’, dan perbandingan kisah itu dengan novel bersejarah Lord of the Flies memicu diskusi oleh orang-orang Pasifika, seperti storyteller asal Selat Torres dan Tonga, Meleika Gesa-Fatafehi.

“Cerita ini berdasarkan pengalaman orang-orang Tonga. Saya orang Tonga dan saya tidak berkenaan dengan cerita itu karena diceritakan melalui kacamata kolonial,” katanya kepada program Pacific Beat. “Rasanya sangat aneh mendengarkan kisah yang pernah diceritakan kepada saya, diceritakan dengan pandangan yang berbeda dan disampaikan melalui cara yang bahkan tidak memprioritaskan kisah para remaja.”

Kisah itu telah menarik perhatian dunia dan Bregman berkata, melalui Twitter, bahwa dia menerima posel dari berbagai produser dan sutradara yang menanyakan tentang hak cipta film dari cerita tersebut. Tetapi topik itu telah memicu diskusi yang lebih meluas tentang siapa yang memiliki, dan siapa yang harus menceritakan, cerita-cerita pribumi.

Bregman mengungkapkan dalam tulisannya bahwa pria Australia yang menyelamatkan anak-anak itu telah menjual hak atas kisah tersebut ke Channel 7. Bregman menulis bahwa Warner telah menegosiasikan kisah itu dan menggunakan bayarannya untuk membebaskan anak-anak itu dari penjara. Mereka dijebloskan ke penjara begitu kembali ke Tonga karena mencuri kapal yang kemudian karam.

Salah satu dari remaja itu, Sione Filipe Totau (Mano), berkata dia tidak keberatan Warner menjual hak atas cerita itu. Tapi Gesa-Fatafehi tidak setuju.

“Bagi saya, ini sangat sulit untuk diproses karena ‘whiteness’ percaya mereka bisa memiliki apa saja dan semuanya,” katanya. “Pada dasarnya mereka tidak memiliki hak atas kisah hidup mereka sendiri, dan itu sangat mengecewakan.”

Sutradara peraih Oscar Selandia Baru, Taika Waititi, telah bergabung dalam percakapan itu, melalui Twitter mengungkapkan pendapatnya, “kalian harus memprioritaskan pembuat film Polinesia (Tonga kalau bisa) untuk mencegah perampasan budaya, penggambaran yang keliru, dan untuk menjaga suara Pasifika tetap autentik.”

Gesa-Fatafehi setuju bahwa jika kisah ini diadopsikan dalam bentuk film, dia ingin melihat orang-orang Tonga di belakang, dan di depan, kamera. (ABC News)

 

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply