Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Stella Paul
Kurarenga Kaitire tinggal di Kiribati – salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim di seluruh dunia. Bukan hanya rentan terhadap alam, ibu dari lima anak yang berusia 29 tahun ini juga menghadapi beberapa kerentanan lainnya selama satu dekade terakhir, termasuk menghadapi stigma sosial dan KDRT.
Alasannya: dia menderita kusta atau lepra— penyakit yang masih sering ditakuti oleh banyak orang di dunia.
Saat ini berada di Manila untuk menghadiri pertemuan 3-hari regional, Regional Assembly of Organisations of People Affected by Leprosy in Asia, Kaitire menceritakan pengalaman pribadinya, tentang kehilangan dan kemenangan, kepada IPS News.
Sebuah tes medis yang dilakukan pada 2010 menunjukkan Kaitire menderita kusta, informasi yang ia ceritakan kepada suaminya, saat itu mereka baru menikah selama dua tahun. Apa yang terjadi selanjutnya tidak terduga.
“Dia berubah menjadi dingin. Dia berhenti mendekati saya atau anak kami. Mulai keesokan harinya dia tidak pernah pulang tepat waktu. Dia tidak pernah menyentuh saya dan ketika saya bertanya mengapa ia bersikap seperti itu, dia memukuli saya dan memotong rambut saya,” katanya kepada IPS News.
Saat dia tidak sanggup lagi menerima pukulan, Katire mengusir suaminya keluar dari rumah. Suaminya kemudian merusak atap rumahnya sehingga rumah itu tidak lagi layak dihuni.
Sekitar saat itulah dia diperkenalkan kepada Itinnenga Uan – direktur negara organisasi advokasi dan eradikasi kusta Pasifik, Pacific Leprosy Foundation, di Kiribati. Yayasan tersebut menjalankan program kesejahteraan bagi orang-orang yang terjangkit penyakit kusta, dan situasi Kaitire yang tragis berarti ia memenuhi syarat untuk menerima bantuan itu.
“Dia lajang [setelah bercerai], dia cacat secara fisik, dan dia juga seringkali menghadapi diskriminasi. Jadi, kami membantu dia meningkatkan pemasukannya agar ia dapat membangun kembali rumahnya. Dia seorang pekerja keras dan ia telah mencoba berbagai hal untuk mendapatkan penghasilan, tetapi sekarang dia menjual sayur-sayuran dan tanaman lainnya yang dapat dimakan. Sekarang, ia memiliki cara yang lebih baik untuk menghidupi dirinya sendiri dan anak-anaknya,” kisah Uan kepada IPS News.
Jumlah populasi Kiribati hanya sekitar 118.000 jiwa. Tetapi untuk populasi yang begitu kecil, jumlah orang yang terkena kusta cukup besar, setiap tahun lebih dari 200 kasus baru dilaporkan. Bangsa Kepulauan Pasifik dengan dataran yang rendah dan perlahan tenggelam itu memiliki persentase paling tinggi dalam perbandingan orang yang terkena kusta dengan seluruh populasi.
“Dan, meskipun Kiribati merupakan negara yang kecil, tingkat diskriminasi dan stigma yang dialami pasien sama tingginya dengan tempat lain di dunia,” ungkap Uan.
Untuk negara yang dianggap akan segera hilang karena naiknya permukaan air laut, stigma ini merupakan beban tambahan yang sulit dihadapi. Pemerintah Kiribati yang sangat bergantung pada bantuan asing untuk menjalankan program-program kesejahteraan rakyat, baru saja mulai memberikan bantuan keuangan kepada orang-orang yang terkena kusta. Bantuan ini terpisah dari pengobatan gratis yang juga diberikan.
Tetapi untuk dapat mengakses paket dukungan tersebut, seseorang harus dinilai oleh pemerintah terlebih dahulu. Grading adalah sistem klinis khusus untuk mengklasifikasikan tahapan penyakit dan menentukan penerima pengobatan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Grade 0 berarti tidak ada gejala fisik, sementara Grade 2 berarti kelihatan secara fisik. Skor itu lalu dijumlahkan dengan menambahkan indikator di enam bagian tubuh, dengan kisaran nilai akhir dari 0 hingga 12.
Mereka yang memiliki skor paling tinggi dalam analisis itu menerima 50 dolar Australia sebulan.
Namun, pemerintah juga telah membuat kemajuan yang signifikan dalam menciptakan kesadaran masyarakat melalui sosialisasi.
“Masyarakat sangat menyadari akan penyakit kusta, karena ada berbagai program reguler di radio milik pemerintah yang menyediakan banyak informasi. Kurarnega Kaitire juga datang ke dokter untuk pemeriksaan medis baru setelah dia mendengarkan program radio tentang kusta,“ kata Unan.
Tetapi masih banyak yang harus dilakukan.
Salah satunya adalah adanya program-program dan kebijakan yang dapat mengatasi kerentanan orang-orang yang terkena kusta yang, pada saat yang bersamaan, juga rentan terhadap perubahan iklim.
Contoh, banyak orang di Kiribati lumpuh akibat kusta. Banyak lainnya yang hidup dengan keterbatasan fisik, termasuk kehilangan penglihatan mereka. Sampai saat ini, masih belum ada kebijakan perubahan iklim yang dirancang khusus untuk orang-orang dengan kebutuhan spesial ini.
“Karena naiknya permukaan laut, kita tenggelam. Selalu ada hujan deras, angin, dan banjir. Jadi, pemerintah kami baru-baru ini mengumumkan bahwa mungkin kami semua bisa menaikkan rumah, dan menambah beberapa lantai yang lebih tinggi. Jika saya mau, saya bisa membangun 4-5 lantai di rumah saya. Tetapi mereka yang tidak bisa bergerak (karena kusta), bagaimana mereka bisa naik ke rumah dengan banyak lain seperti itu? Apakah alternatifnya bagi mereka?” Uan bertanya-tanya.
Kaitire, yang telah menempuh perjalanan selama hampir 24 jam untuk sampai di Manila, ibu kota Filipina, mengakui ia sudah mengalami rasa kaku di kakinya. Ia juga baru saja menelepon putrinya di Kiribati dan diberitahu bahwa di sana sedang hujan deras. Membayangkan perjalanan balik nanti, 24 jam dalam beberapa penerbangan serta berjalan di tengah banjir, prospek ini menakutkan, menurutnya. “Saya akan datang ke rumah kamu,” katanya kepada Uan, mencoba untuk berkelakar tentang dirinya sendiri. Rumah Uan lebih dekat dengan bandara internasional negara itu dan tidak terkena banjir.
Tidak ada solusi mudah dan instan yang diketahui oleh Uan atau Kaitire. Namun, mereka berada di Manila, minggu ini, dengan keyakinan bersama, mereka dapat menemukan ide-ide dan kontak baru yang untuk membantu diri mereka di masa depan.
Yayasan Sasakawa Memorial Health Foundation/the Nippon Foundation (TNF) yang telah mendukung proyek-proyek kusta di seluruh dunia, belum bekerja di Kiribati. Jika mereka memasuki negara itu dan bekerja sama dengan pemerintah, akan ada dukungan yang lebih memadai bagi orang-orang yang terkena kusta, harap Uan. TNF telah membantu upaya pemberantasan penyakit kusta di seluruh dunia sejak 1960-an, bahkan memasok terapi Multi Drug Therapy (MDT) melalui WHO.
Di sisi lain, Kaitire lebih memusatkan hidupnya untuk membantu anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang baik, dan menjadikan dirinya cukup kuat untuk menghadapi semua tantangan yang mungkin masih akan ia hadapi — baik itu dari sisi sosial, fisik, atau finansial.
Baru-baru ini, mantan suami Kaitire kembali kepadanya, meminta dimaafkan, tetapi ia tidak menerimanya. “Saya perlu pengobatan, keuangan keluarga yang stabil, dan yang paling penting, saya punya harga diri.” (PINA/ IPS News/PACNews)
Editor : Kristianto Galuwo