Kim Jong-un mengakui negaranya krisis pangan akut

Korut Papua
Ilustrasi, pixabay.com

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jakarta, Jubi – Pemimpin tertinggi Korea Utara Kim Jong-un mengakui negaranya mengalami krisis pangan akut yang ditandai dengan melambungnya harga sejumlah barang-barang kebutuhan pokok. Negara komunis itu  dilaporkan terancam kehabisan bahan pangan pokok dalam waktu dua bulan mendatang.

Read More

“Situasi pangan rakyat semakin sulit karena sektor agrikultur gagal memenuhi rencana produksi gandum, dampak kerusakan akibat topan tahun lalu,” ujar Kim dalam rapat dengan komite pusat Partai Buruh, dikutip media pemerintah Korut, KCNA, Selasa (15/6/2021).

Baca juga : Korut terapkan undang-undang larangan merokok, bagaimana dengan Kim Jong-un 

PBB yakinkan Korut agar tak kurangi staf internasional 

Klaim punya alat pencegah perang, Korut bakal fokus pada ekonomi

Kim berjanji akan mengerahkan segala upaya di bidang pertanian tahun ini. Ia juga akan membicarakan berbagai cara untuk menangani dampak pandemi Covid-19 terhadap sektor pangan. Dia memerintahkan jajaran pemerintahannya untuk mempelajari langkah-langkah antisipasi guna meminimalkan dampak bencana, berkaca dari yang sudah terjadi.

News Week menulis kondisi krisis pangan itu diduga salah satunya terjadi karena impor bahan makan dari Cina turun hingga 90 persen.

Sedangkan CNN menulis harga beberapa kebutuhan pokok di Pyongyang meroket. Para ahli mengatakan harga beras dan bahan bakar relatif stabil tetapi bahan pokok impor seperti gula, minyak kedelai dan harga tepung merangkak naik. Bahan pokok yang diproduksi secara lokal juga melonjak dalam beberapa bulan terakhir. Penduduk Korut mengatakan harga kentang naik tiga kali lipat di pasar Tongil.

Organisasi Pangan Dunia di bawah PBB (FAO) baru-baru ini memperkirakan Korea Utara kekurangan sekitar 860 ribu ton makanan, atau setara dengan lebih dari dua bulan pasokan nasional.

Tercatat Korut pernah mengalami krisis pangan parah pada 1990an. Saat itu, lebih dari 3 juta warga tewas akibat kelaparan. Lalu bantuan internasional pun berdatangan, tak terkecuali dari Amerika Serikat, musuh utama Korut.

Pada 1995 hingga 1996 Korut kembali mengalami krisis pangan akibat banjir besar. Imbas bencana itu, 330 ribu hektare lahan pertanian hancur dan 1,9 juta ton beras atau bahan pangan tak bisa dikonsumsi, kerugian pun ditaksir mencapai US $15 atau sekitar Rp216 triliun.

Namun situasi semakin buruk, saat rezim Korut menerapkan kebijakan songun untuk menanggulangi keadaan tersebut. Lembaga yang mengatur pangan masyarakat, hanya mampu memenuhi kebutuhan 6 persen untuk mereka. Sehingga ada 3,5 juta penduduk mengalami kelaparan dan malnutrisi.

Di satu sisi, penerapan sistem kelas songun yang menempatkan militer sebagai prioritas dianggap menjadi penyebab meluasnya kelaparan di kalangan sipil. Padahal berbagai pihak internasional telah membantu negara itu.

Terhitung, dalam setahun bisa lima kali bantuan disalurkan, namun sayangnya banyak warga yang tak menerimanya. Dari 90 persen bantuan yang ada sebanyak 80 persen masuk ke pemerintah dan 10 persen ke kantong militer.

Tapi–mengutip dari kantor berita Korea Selatan, Yonhap, tiga pekan lalu–Kim Jong un disebut mulai meminggirkan songun dalam kebijakannya. Namun, belum terkonfirmasi sepenuhnya apakah memang Kim Jong un akan melepas kebijakan yang diterapkan ayahnya, Kim Jong il tersebut.

Sebelum terjadinya krisis pangan, Korea Utara terlalu percaya diri bahwa negaranya mampu memproduksi bahan pangan untuk masyarakat. Bahkan saat dilanda banjir besar pada 1984, mereka mengirim 7 ribu ton bahan pangan ke Korea Selatan.

Majalah pengetahuan ilmiah global National Geographic pernah menulis kondisi Korut diyakini mundur ke empat puluh tahun lalu, yakni pada 1948 sebagai awal mula kelaparan di Korea Utara.

Kondisi iklim serta lahan pertanian di Korea Utara tidak cocok untuk memproduksi makanan, sehingga negara yang baru terbentuk itu mengandalkan bantuan makanan dan bahan bakar yang murah dari Uni Soviet. Beberapa tahun setelahnya, Uni Soviet runtuh, Korut seperti kalang kabut dan tak punya lagi pegangan. (*)

CNN Indonesia

Editor : Edi Faisol

 

 

Related posts

Leave a Reply