Kewenangan pemerintah nasional dan provinsi di Kepulauan Solomon diuji

Ilustrasi Pasifik. - Chris Pecoraro/Getty
Laporan media mengenai upaya Tiongkok untuk menyewa satu pulau di Pasifik, telah mengungkapkan perpecahan antara pemerintah provinsi dan pusat. – Chris Pecoraro/Getty

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Joseph D. Foukona & Graeme Smith

Read More

Kepulauan Solomon telah menjadi berita utama di sejumlah media internasional pekan lalu, termasuk di New York Times, mengenai perjanjian sewa pulau di Kepulauan Solomon.

Menelaah kesepakatan empat-halaman, perjanjian kerja sama strategis atas Pulau Tulagi, yang dipersiapkan dengan buru-buru penuh kecerobohan, antara pemerintah Provinsi Tengah di Kepulauan Solomon dan perusahaan Tiongkok, Sam Enterprise Group Ltd, terlihat jelas bahwa apa yang disetujui termasuk hak pembangunan eksklusif kepada konglomerat Tiongkok itu sebenarnya jauh di luar wewenang pemerintah provinsi.

Sumber daya mineral, perikanan, hutan, tanah – ini semua adalah ranah pemilik tanah adat, sementara pemerintah pusat hanya berperan sebagai tuan tanah secara teoretis atas lahan yang terdaftar serta pemilik bersama sumber daya mineral, yang bertugas memberikan izin usaha pertambangan.

Pemimpin provinsi itu juga kemudian dengan lekas membantah perjanjian itu setelah liputan New York Times, mengakui dalam wawancara dengan Radio New Zealand bahwa mereka tidak mungkin menyewa Tulagi, dan bahwa tidak ada apa pun dari perjanjian itu akan terjadi.

Namun, meski Xi Jinping tidak akan mungkin memerintahkan pembangunan tempat rahasia di Pulau Tulagi, proyek tersebut mungkin akan diteruskan namun dalam bentuk lainnya, terutama jika Sam Group berhasil mengamankan pendanaan di Tiongkok. Jika berhasil, kurangnya pengalaman perusahaan itu di Pasifik, dapat menyebabkan situasi yang mirip dengan Pacific Marine Industrial Zone di sebelah utara Papua Nugini, upaya pertama oleh perusahaan Tiongkok untuk mendirikan kawasan ekonomi khusus di Pasifik.

Di kawasan itu, politisi-politisi dan kontraktor setempat sedang bersengketa dengan perusahaan Tiongkok tersebut. Manajemennya bersembunyi di sebuah kantor di Madang karena pendanaan mereka dari Bank Exim Tiongkok perlahan-lahan dibuang untuk hal-hal trivial seperti gerbang yang bernilai Kina 4 juta ($ 1,7 juta).

Juga luput dari perhatian media-media besar adalah kasus lainnya, yang membuktikan bahwa kesenjangan antara pemerintah nasional dan provinsi seperti ini ada positif dan negatifnya bagi Tiongkok. Pada 17 Oktober kemarin, Pemerintah Provinsi Malaita, juga di Kepulauan Solomon, menerbitkan Komunike Auki, menegaskan adanya proses bagi mereka perihal hak untuk menentukan nasib sendiri.

Alasan yang memicu keinginan kelompok-kelompok di Malaita, untuk membentuk pemerintahan sendiri adalah karena keputusan pemerintah pusat, untuk mengalihkan pengakuan diplomatik dari Taiwan ke Tiongkok, yang dianggap sebagai proses yang tergesa-gesa tanpa konsultasi yang memadai dengan masyarakat. Di bawah anak judul ‘core beliefs and freedoms’ komunike itu tertulis kebebasan beragama, dan ‘oleh karena itu Malaita menolak Partai Komunis di Tiongkok dan sistemnya yang didasarkan ideologi ateis’.

Keputusan pemerintah nasional Kepulauan Solomon untuk beralih ke Tiongkok, telah menimbulkan desakan oleh pergerakan Malaita for Democracy (M4D) dan beberapa kelompok lain, agar Malaita dapat menentukan nasibnya sendiri, menyatakan keinginan mereka untuk menjauhkan diri dari ikatan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok, seperti yang diputuskan oleh pemerintah pusat, serta komitmennya untuk melindungi tanah dan sumber daya alam mereka dari ‘investor yang amoral’.

Aspirasi untuk kemerdekaan Malaita dan keinginannya untuk menentukan nasib sendiri ini, punya sejarah yang panjang. Pada 1940-an, gerakan Ma’asina Ruru di Malaita berusaha menuntut hak untuk menentukan nasib sendiri. Pada 1970-an, pergerakan Western Breakaway dibentuk, dimana Provinsi Barat memboikot perayaan Hari Kemerdekaan Nasional pada 7 Juli 1978. Gerakan ini lalu bangkit kembali pada 2000 sebagai Western State Movement, yang berakhir dengan apa yang disebut sebagai kudeta yang tidak diketahui oleh siapa pun. Pada 2015, Majelis Provinsi Malaita meresmikan resolusi tentang kedaulatan Malaita.

Provinsi Malaita memiliki jumlah populasi yang besar dibandingkan dengan provinsi lainnya di Kepulauan Solomon, namun ia tetap terbelakang. Hanya 4,71% lahan di provinsi ini yang terasing, ini berarti sebagian besar tanah dan SDA di Malaita berada dalam domain adat, di bawah wewenang langsung pemilik tradisional. Meskipun demikian, pemerintah pusat memiliki kuasa atas alat-alat dan proses transaksi atas lahan tersebut.

Instrumen-instrumen seperti itu sering kali lebih menguntungkan investor, sementara pemilik sumber daya dibiarkan menjadi rent seeker (pemburu rente) dan penerima royalti. Hal ini juga menyebabkan adanya jurang pemisah antara pembuat keputusan di tingkat nasional dan provinsi. Keputusan pemerintah pusat untuk beralih ke Tiongkok, dan segera mengundang investor Tiongkok ke Kepulauan Solomon tanpa masukan dari pemerintah provinsi dan pemilik sumber daya, adalah bukti kesenjangan ini.

Pemerintah Provinsi Malaita meminta MP-nya untuk datang ke Auki dan berpartisipasi dalam pertemuan tinggi pemimpin-pemimpin yang diadakan pada 16 Oktober, untuk membahas persoalan seputar peralihan ke Tiongkok, termasuk di antaranya desakan untuk menentukan nasib sendiri. Majelis Provinsi Malaita dan lima MP dari Malaita turut hadir, dan sebuah komunike dikeluarkan pada hari berikutnya. Sejumlah MP dari Malaita yang pro-Tiongkok tidak menghadiri pertemuan itu.

Desakan Provinsi Malaita untuk hak menentukan nasib sendiri ini bukan hanya datang dari daerah ini. Provinsi-provinsi lain di negara itu telah mengutarakan sentimen yang serupa, semua diakibatkan oleh pemusatan kekuasaan di tingkat pemerintah pusat, tanpa adanya kemajuan yang berarti terjadi di tingkat provinsi. Ada kekhawatiran yang masuk akal dari kedua pihak, menegaskan jurang pemisah yang umumnya terjadi di negara-negara dengan sistem pemerintahan federal.

Ketika kewenangan yang dilimpahkan ke pemerintah tingkat provinsi terbatas, ada ruang bagi oknum-oknum dari luar untuk menargetkan hubungan pemerintah nasional yang lemah, ke provinsi-provinsi yang lalu berujung ke destabilisasi. Hal ini mungkin dilakukan demi keuntungan atau sebagai langkah ekonomi yang diinginkan oleh negara.

Namun, pemerintah provinsi juga dapat menjadi sasaran yang lebih baik, karena ia lebih jarang diawasi oleh media dan diamati oleh masyarakat sipil. Faktor ini mungkin dapat menjelaskan kenapa negara-negara yang kewenangannya terpusat seperti Korea Selatan, yang juga homogen dalam hal etnik dan bahasa, secara umum lebih sulit dipengaruhi Tiongkok.

Peralihan hubungan diplomatik, dari Taiwan terhadap Tiongkok, diharapkan akan membawa pembangunan dalam berbagai sektor di Kepulauan Solomon. Pemerintah pusat harus melakukan analisis yang cermat, sebelum menandatangani perjanjian apa pun terkait pembangunan yang penting seperti ini. Legislasi dan mekanismenya harus diperkuat atau dirombak, untuk memastikan wewenang antara pemerintah pusat dan provinsi dijaga dengan baik, agar bisa melindungi kepentingan masyarakat setempat yang merupakan pemilik SDA di tingkat provinsi. (Lowy Institute/The Interpreter)


Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply