Ketika kumpulan puisi “Nyanyian Sunyi” karya perempuan Papua diluncurkan

Sastra, Papua
Penulis kumpulan puisi "Nyanyian Sunyi" Ester Haluk - Jubi/IST

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Perempuan asli Papua, Ester Haluk meluncurkan buku perdana kumpulan puisi berjudul “Nyanyian Sunyi”. Haluk mengatakan, meski peluncuran “Nyanyian Sunyi” dilakukan secara daring pada 20 Februari 2022, buku yang terdiri dari 40 puisi dan diterbitkan oleh penerbit Mata Kita Inspirasi dan Apro Publisher Yogyakarta (2021) itu, telah tersebar luas dan dapat diakses orang Papua dan Indonesia.

“Puisi-puisi ini bercerita tentang Papua, dimana, ada banyak masalah kemanusiaan, politik, implementasi kebijakan pemerintah dan pendekatan keamanan yang mengorbankan kami orang Papua,” kata Haluk kepada Jubi di Jayapura, Kamis (10/3/2022).

Read More

Dia melanjutkan bahwa kumpulan puisi yang ditulisnya berisi tentang jeritan hati kami orang Papua. “Ini cara saya untuk mengangkat narasi yang ada di Papua,” katanya.

Baca juga: Menggagas Lembah Baliem sebagai situs Warisan Budaya Dunia

Sebagai perempuan asli Papua, dia berpesan kepada anak-anak Papua untuk peka dan peduli dengan kondisi yang terjadi di Tanah Papua, alam Papua dan sesama orang Papua sendiri. Dia juga mengajak orang Papua untuk meningkatkan kepedulian akan.identitas kepapuaan yang semakin hilang l, karena berbagai hal.

“Mari tajamkan nurani kita agar lebih peka mendengar teriakan mama kita (tanah air kita) dan tidak menjual nurani dan menggadaikan tanah air demi rupiah yang tak seberapa. Mari selamat tanah air dan selamatkan orang Papua dari praktik kolonialistik Indonesia yang sedang merampok rumah kita (Papua),” katanya.

“Tulis saja prahara dan lirik tembang dukamu//di lembaran kertas bisu//Jika suaramu hanya menghantam tembok tuli//menggesek hati yang membatu karena ketamakan//Tikam dan hujamkan belati dan robek nuraninya dengan penamu//Bagi dukamu dengan untaian kata//Karena kata adalah senjata terakhirmu!” Demikian salah satu puisinya berjudul “Nyanyian Sunyi” yang ditulis pada 18 November 2018 di Sentani.

Baca juga: Bupati Jayapura sebut kampung adat penting bagi aktivitas budaya

Antropolog Universitas Papua Manokwari, I Ngurah Suryawan berkata, situasi di Papua hari ini mengalami dilema. Di satu sisi ada semangat atau berpegang teguh pada idealisme dan menyuarakan ketidakadilan, kekerasan, intimidasi dan diskriminasi, tapi pada sisi lain semangat untuk menyuarakan pemekaran juga masif–orang Papua justru menjadi “kaki tangan” kekuasaan.

“Saya kira fenomena ini yang kita lihat hari ini di Papua. Patipa (Papua tipu Papua), keterpecahan. Itu fenomena hari ini yang kita lihat,” ujar Ngurah.

Dia menduga situasi seperti ini akan berlanjut. Namun pada sisi lain, kehadiran sastra seperti puisi yang ditulis Ester Haluk, menjadikan publik Papua menarik diri untuk merefleksikan realitas yang terjadi di Tanah Papua.

Baca juga: Kemendikbud dorong adanya cagar budaya di Jayawijaya

Penulis buku “Papua Versus Papua: Perubahan dan Perpecahan Budaya” (2017) ini mengatakan, bila birokrat dan politisi di Papua jenuh pada realitas yang terjadi, maka puisi adalah jalan sunyi untuk berefleksi. Sebagian besar karya Ester dalam kumpulan puisi “Jalan Sunyi” merupakan jalan sunyi untuk merefleksikan realitas kekerasan, ketidakadilan dan ingatan akan penderitaan (memoria passionis) di Tanah Papua.

Penulis Indonesia, Okky Puspa Madasari saat peluncuran “Nyanyian Sunyi” mengatakan, kita menulis puisi karena mengekspresikan sebuah permasalahan atau kegelisahan dengan cara berbahasa, permainan kata, diksi dan metafora.

“Bahwa orang Papua mau merdeka, orang Papua ditindas, kan bisa langsung sampaikan langsung, tapi Ester tidak menggunakan itu. Dia menggunakan sastra, puisi. Saya percaya Ester percaya pada kekuatan sastra,” kata pemenang Sastra Khatulistiwa 2012 itu.

Baca juga: Tifa, alat musik perkusi tradisional Papua

Dia melanjutkan, dalam puisi kita menemukan apa yang disebut metafora-metafora. Okky mencontohkan metafora anggrek hitam untuk Papua. Anggrek hitam Papua merupakan tumbuhan khas di Tanah Papua.

Dikutip dari laman BBKSDA Papua Barat, anggrek hitam Papua terdiri atas beberapa jenis, yaitu, Coelogyne beccarii Rchb.f., Grammatophyllum stapeliiflorum (Teijsm. & Binn.) J.J.Sm., dan Renanthera caloptera. Personifikasi gadis Papua dengan anggrek hitam juga dapat dijumpai dan diabadikan penyanyi asal Maluku, Loela Drakel dalam lagu berjudul “Anggrek Hitam” dalam album “Anggur Merah” Volume 1.

Okky menyoroti salah satu puisi Ester berjudul “Sejarah Yang Kelam” yang menggunakan analogi kembang atau tumbuhan. Menurutnya, Ester menggunakan analogi tumbuhan sebagai cara masuk untuk memahami sejarah dan realitas tentang Papua yang ditulis penguasa dan bias penguasa.

Baca juga: Hari Bahasa ke-9, warga suku Namblong bangun rumah belajar bahasa Namblong

Okky berpandangan bahwa senjata tak melulu sebagai alat untuk membungkam dan membunuh masyarakat Papua. Namun lebih dari itu, penguasa juga kerap menggunakan cara lain, misalnya, melarang untuk berpikir, hingga menjadi inferiority complex bagi orang Papua. “Ester menggunakan bahasa yang sederhana dengan bahasa Melayu Papua,” ujar Madasari.

Akademisi Universitas Cenderawasih (Uncen), Rona Rumsarwir tersentak,merinding dan marah ketika membaca kumpulan puisi “Nyanyian Sunyi”. Dia bahkan membaca dua sampai tiga kali puisi karya Ester Haluk, karena Ester dianggap punya keberanian untuk menyuarakan realitas yang terjadi.

“Tidak hanya diam tapi menulis karyanya. Ester justru menyanyi sunyi,” ujar Rona Rumsarwir.

Perempuan asal Biak juga bahkan teringat pada lagu “Nyanyian Sunyi” yang sudah dikenal di kalangan orang Papua sebagai salah satu judul lagu band Mambesak. Bahwa kumpulan puisi dan lagu “Nyanyian Sunyi” sama-sama diciptakan untuk menyuarakan ratapan yang sebenarnya tidak sunyi atau didiamkan, tetapi harus disuarakan.

Menurut dia, “Nyanyian Sunyi” merupakan suara perempuan Papua untuk menggugat ketidakadilan dan banyak hal yang terjadi di Tanah Papua hari ini. (*)

Editor: Jean Bisay

Related posts

Leave a Reply