Papua No. 1 News Portal | Jubi
DERETAN spanduk membentang di halaman Kantor DPRD Merauke. Berbagai kecaman dan ungkapan keperihatinan menyeruak melalui tulisan di spanduk.
Spanduk dipasang Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Merauke beserta warga Marind. Mereka menuntut penyelenggara maupun pengawas pemilu mendiskualifikasi keikutsertaan calon anggota legislatif (caleg) yang ditengarai bermain uang saat pemilu.
Aksi protes itu diikuti pendudukan terhadap Kantor DPRD Merauke selama dua hari dan dua malam. Sejumlah tenda didirikan sebagai tempat menginap selama aksi.
“Ini sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat. Mereka menuntut keadilan,” kata Tokoh Marind Hendrikus Hengky Ndiken, Sabtu (4/5/2019).
Warga menganggap politik uang membuat Suku Marind tidak lagi memiliki perwakilan di DPRD Merauke pada periode mendatang. Kondisi ini, menurut mereka sangat menyakitkan karena Suku Marind merupakan pemilik ulayat di Merauke.
“Caleg Nonpapua melancarkan politik uang sehingga mendapat suara signifikan. Sedangkan, Caleg OAP (Orang Asli Papua), terutama dari Marind tergerus suaranya,” ungkap Ndiken.
Ndiken mengancam menyegel fasilitas perkantoran pemerintah bersama para pemilik tanah ulayat. Itu apabila tuntutan keterwakilan Suku Marind tidak diakomodasi pada DPRD Merauke hasil Pemilu 2019.
“Salah satunya (yang disegel) ialah Kantor DPRD Merauke. Sampai hari ini (ganti rugi lahan) tidak kunjung dibayarkan, padahal pemilik ulayat telah menyerahkan bukti silsilah kepemilikan tanah beserta tuntutan ganti rugi,” kata anggota DPRD Merauke yang mencalonkan kembali pada Pemilu 2019, tersebut.
Ndiken, yang juga politisi Partai Amanat Nasional (PAN), mengungkapkan praktik politik uang saat pemilu berkisar Rp200 ribu-Rp300 ribu setiap suara. Akan tetapi, dia tidak ingin menyalahkan masyarakat. Warga menerima pemberian itu lantaran himpitan ekonomi.
“Kami tidak mempersoalkan kalah atau menang dalam pemilu, tetapi pengabaian terhadap masyarakat lokal. Ada kesan daerah ini hendak dikuasai oleh Nonpapua,” tudingnya.
Utusan adat
Ketua LMA Merauke, Frederikus Mahuze, meyakinkan aksi yang mereka gelar murni dari keinginan masyarakat. Mereka kecewa lantaran perolehan suara para caleg Marind tertinggal jauh dari kontestan lain.
“Aksi ini murni dari masyarakat. Tuntutan mereka agar sebanyak 20 dari 30 kursi di DPRD Merauke diberikan kepada orang Marind,” kata Mahuze.
Kegagalan para politisi Marind dalam kontestasi pemilu juga disesalkan Bupati Merauke, Frederikus Gebze. Kondisi tersebut, menurutnya, jauh dari harapan sehingga harus segera dievaluasi secara internal.
“Setiap pemilu terjadi penurunan jumlah anggota legislatif dari orang Marind di DPRD Merauke. Periode sekarang (hasil Pemilu 2019) bisa jadi hanya lima orang bahkan kurang dari itu,” kata Gebze.
Dia pun mengusulkan jatah khusus bagi orang Marind di DPRD Merauke. Mereka ditunjuk sebagai representasi OAP oleh LMA Merauke.
“Kita mencoba menjadi kabupaten pertama yang menggagas ini agar tak ada kecemburuan di kemudian hari.”
Bupati Gebze melanjutkan mekanisme tersebut serupa dengan keterwakilan atau utusan wilayah adat di DPR Papua. Adapun teknis penunjukkannya diatur berdasarkan daerah pemilihan (dapil) pada pemilu.
“Kabupaten Merauke memiliki lima dapil. Setiap dapil ditunjuk sebanyak dua orang. Jadi, ada penambahan sebanyak 10 orang sehingga nanti ada 40 kursi di DPRD Merauke,” jelasnya.
Konsekuensi anggaran dari penambahan anggota legislatif tersebut, menurut Gebze, bisa bebankan kepada dana otonomi khusus (otsus) Papua. Namun, dia masih harus mengonsultasikan gagasan tersebut kepada para pengambil kebijakan di provinsi maupun di pemerintah pusat.
“Mudah-mudahan bisa direalisasikan pada tahun depan. (Kalau disetujui) sudah pasti kami meminta tambahan dana otsus,” kata Gebze. (*)
Editor: Aries Munandar