Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Kerjasama antara wilayah Pasifik Selatan sudah lama berlangsung jauh sebelum Papua Barat menjadi bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sewaktu Papua Barat masih bernama Nederlands Nieuw Guinea kerjasama ekonomi dan pendidikan mulai digalakkan sejak 1947, setelah Perang Dunia Kedua.
Dalam Perjanjian Canberra 1948 terutama tanggung jawab negara-negara penjajah terhadap masa depan masyarakat di wilayah Pasifik Selatan untuk menempuh kemerdekaannya nanti.
Perjanjian Canberra 1947 melahirkan gagasan terbentuknya South Pasific Commision (SPC), yang salah satu tugasnya adalah mengambil kebijakan dengan membuat rencana dan mengusulkan untuk pembangunan di bidang ekonomi dan sosial bagi penduduk di Kepulauan Pasifik Selatan.
Dalam konferensi SPC harus melibatkan tokoh-tokoh masyarakat penduduk pribumi sebagai utusan karena pada akhirnya mereka yang terlibat dan bertanggung jawab dalam masa depan wilayah mereka masing-masing.
Tokoh-tokoh Papua Barat atau Nederlands Nieuw Guinea yang pernah mengikuti konferensi ini antara lain Markus Kaisiepo, Th Messet, FKT Poana, Haji Raja Rumbati, dan Nicolas Jouwe.
Konferensi SPC pertama tahun 1950 di Suva, ibukota Fiji, yang saat itu masih dijajah Inggris. Tahun 1953 konferensi SPC kedua di Noumea Kaledonia Baru, yang sampai sekarang masih menjadi wilayah Perancis di seberang lautan. Konferensi keempat, 1956, di Suva Fiji, sedangkan konferensi kelima, 1959, di Rabaul wilayah Pulau Britania Baru, Papua New Guinea sekarang. Konferensi keenam, 1962, dilaksanakan Pago-pago, ibukota Samoa Timur, wilayah jajahan Amerika Serikat sekarang.
Sebenarnya pada 1965, konferensi akan berlangsung di Hollandia, Nederlands Nieuw Guinea, tetapi wilayah Papua Barat masuk ke NKRI pada 1 Mei 1963, sehingga rencana konferensi South Pasicic (SPC) ketujuh di Hollandia batal.
Sejak itu hubungan antara negara-negara Pasifik Selatan dengan Provinsi Irian Jaya atau Papua Barat terputus, sampai akhirnya dijalin kembali setelah negara negara Melanesia menerima ULMWP sebagai pengamat dalam persaudaraan Melanesia.
Pendidikan kedokteran dan telekomunikasi
Dalam laporan kunjungan rombongan dari Provinsi Irian Jaya ke Papua New Guinea, 1973, sebelum kemerdekaan PNG 16 September 1975,Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Irian Jaya, dr Suryadi Gunawan, menulis pada clinical meeting dengan staf Fakultas Kedokteran Universitas Nasional PNG dan Rumah Sakit Port Moresby, sempat bertemu dengan dokter ahli dari Papua Barat. Mereka antara lain dr ahli bedah Hein Danomira, dr Chris Maryen spesialis anesthesia, yang kemudian menjadi Direktur RS Port Moresby, dr spesialis anak Pieter Pangkatana, dr spesialis penyakit dalam Saweri, dr spesialis kesehatan anak Suebu, dr Fiay spesialis obstetri dan ginekologi.
“Mereka telah berangkat ke Port Moresby pada 1961 dengan beasiswa pemerintah Belanda dan setelah 1963 melanjutkan pendidikan dengan beasiswa pemerintah Australia hingga akhirnya menyelesaikan pendidikan kedokteran,” tulis dr Gunawan, dalam papernya yang terbit 1973 usai berkunjung ke PNG.
Selain itu, pemerintah Nederlands Nieuw Guinea juga mengirimkan pemuda Papua untuk studi telekomunikasi di Lae, kota industry di Papua New Guinea. Sayangnya pada pemuda terdidik dari Papua Barat tidak kembali setelah beasiswa dari pemerintah Belanda terputus.
Kerjasama pendidikan antara Papua Barat dan negara-negara Pasifik Selatan sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Hampir 15 tahun Nederland Nieuw Guinea menjadi bagian dari Komisi Pasifik Selatan. Bahkan negara–negara Komisi Pasifik Selatan dan negara negara Eropa membangun perkebunan kakao di Lembah Grime Nimboran, 1950-1956. Hasil panen kakao Nimboran sempat dieskpor ke pabrik cokelat Van Houten di Belanda.
Isu Papua Merdeka
Kini pemerintah Indonesia mencoba kembali menjalin kerjasama dengan negara kecil di Pasifik Selatan di tengah persaingan dengan negara China, Taiwan, dan Amerika Serikat yang menganggap wilayah Pasifik merupakan wilayah kekuasaannya, di samping Perancis dan Australia serta Selandia Baru. Hubungan diplomatik Indonesia lebih terjalin erat dengan PNG maupun Fiji. Sedangkan dalam menghadapi Solomon Island dan Vanuatu hanya sekadar membendung isu Papua Merdeka.
Pasalnya, membangun kerjasama dengan negara-negara kepulauan kecil di Pasifik Selatan butuh biaya dan anggaran pembangunan besar tanpa harus memperhitungkan untung rugi ekonomi. Ibaratnya membangun di Indonesia Timur khususnya di Papua, Papua Barat, Maluku, dan NTT bukan sekadar membangun tetapi butuh keseriusan dan terus menerus. Biaya besar dan anggaran yang banyak tak akan bisa menyelesaikan masalah sosial sekadar tambal sulam, ibarat membendung isu Papua Merdeka di Pasifik Selatan.
ISPF dan 13 negara Pasifik
Pemerintah Indonesia akhirnya melalui Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, membentuk pertemuan pertama Indonesia-South Pacific Forum di Jakarta, 22 Maret 2019. ISPF merupakan forum dialog Indonesia dan negara-negara Pasifik Selatan yang diikuti oleh 13 negara dari Pasifik Selatan.
Retno mengatakan Indonesia dan negara-negara di Pasifik Selatan selama ini tinggal berdampingan selama berabad-abad serta berbagi ciri khas dan budaya fitur-fitur maritim yang serupa.
Indonesia dan kawasan Pasifik Selatan juga menghadapi tantangan yang sama, terutama dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan lingkungan hidup.
Indonesia dan Papua Nugini (PNG) yang sepakat untuk meningkatkan kembali kerja sama, khususnya di daerah perbatasan. Terutama perhatian khusus pada pertumbuhan ekonomi di perbatasan.
Negara-negara yang hadir antara lain Papua Nugini Rimbink Pato, Kiribati, pejabat tinggi dari Australia, Selandia Baru, Federasi Mikronesia, Fiji, Kaledonia Baru, Kepulauan Cook, Kepulauan Marshall, Kepulauan Solomon, Nauru, dan Tonga.
Kesepakatan kerjasama
Indonesia sebelumnya telah menyetujui peluncuran Preferential Trade Agreement dengan Fiji dan PNG. Dalam kesempatan itu, Retno dan Menlu PNG menandatangani Joint Ministerial Statement peluncuran PTA RI-PNG.
Salah satu perusahaan konstruksi Indonesia di Pasifik Selatan, Audie Building Industries, turut menandatangani kerjasama pembiayaan. Audie Building Industries tengah menangani proyek pembangunan resor di Fiji dan stadion sepak bola di Kiribati. (*)
Editor: Dewi Wulandari