Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Kepala BPJS Ketenagakerjaan Jayapura, Adventus Edison Souhuwat menyatakan, jumlah kepesertaan bagi pekerja sektor informal masih minim karena kurang mendapatkan sosialisasi.
“Berbagai cara kami upayakan seperti jemput bola langsung turun ke pasar membuka pendaftaran agar lebih maksimal lagi pelayanan kami,” ujar Souhuwat di Kantor BPJS Ketenagakerjaan Jayapura, Jumat (24/5/19).
Dikatakan Souhuwat, pekerja informal yaitu tukang ojek, pedagang, penjual pinang, nelayan, dan petani, yang dinilai berpotensi kepesertaannya sangat besar.
“Pekerja informal yang sudah terdata ada 16 ribu atau 2,3 persen. Jumlah ini dari 2014. Kami juga minta bantuan kepada pemerintah seperti Disperindagkop untuk menyampaikan kepada pedagang, petani untuk disampaikan. Hanya dengan membayar Rp16.800 iuran per orang sudah ada perlindungan satu bulan ke depan,” ungkap Souhuwat.
Diakui Souhuwat, minimnya pekerja informal atau Bukan Penerima Upah (BPU) yang terdata di BPJS Ketenagakerjaan menjadi pekerjaan rumah untuk bisa mengcover pekerja informal.
“Perlindungan BPJS Ketenagakerjaan kalau terjadi kecelakaan kerja mereka akan mendapatkan pelayanan sampai sembuh, kemudian kami berikan manfaat layanan tambahan dengan melatih mereka untuk bekerja kembali,” jelas Souhuwat.
Sementara, Kepala Bidang Umum dan SDM di BPJS Ketenagakerjaan Jayapura, Agus mengatakan, kebutuhan jaminan sosial bagi tenaga kerja yang bekerja di sektor informal berbeda-beda, tergantung pada status demografi, tingkat risiko bahaya pekerjaan seperti di rumah, jalan, pabrik, lingkungan serta kemampuan membayar iuran dana asuransi secara teratur.
“Dengan demikian perlu ada identitas kebutuhan prioritas terhadap berbagai resiko, dan pengembangan mekanisme yang tepat untuk mengelola resiko tersebut,” ujar Agus.
Menurut Agus, pelaksanaan jaminan sosial bagi tenaga kerja informal menemui berbagai kendala, seperti perangkat peraturan untuk mendukung pelaksanaan jaminan sosial belum memadai, dan kualitas dan kuatitas SDM dan kelembagaan yang menangani belum terwujud secara komprehensif.
“Hal-hal tersebut masih ditambah pula dengan kurangnya kesadaran tenaga kerja informal terhadap konsep jaminan sosial, serta ketidakpercayaan kepada pihak lembaga pemerintah yang mengelola, yang akhirnya memengaruhi sikap dan keinginan meraka untuk membayar iuran,” ungkap Agus. (*)
Editor : Edho Sinaga