Kepak reggae di Bumi Cenderawasih (1)

Papua No. 1 News Portal | Jubi

RAMBUT gimbalnya terjuntai menyentuh bahu. Warna vokal seraknya Billy Karubun (34) di panggung, terbawa saat percakapan dengan Jubi di kompleks Aspol Kloofkam, Kota Jayapura. Ia adalah vokalis band reggae Tropico Rasta dari Kota Jayapura, Papua.

"Tapi saya lahir di Boven Digoel, kemudian tumbuh besar di Waena, Kota Jayapura," kata pria berdarah Kei, Maluku Tenggara itu, Selasa (25/9/2018).

Kenang Billy, Tropico Rasta terbentuk tahun 2004. Kala itu, personelnya terdiri dari Richard Gedi sebagai vokalis, Jhonny Lekahena pemegang rhytm gitar, Avillo Renwarin pembetot bass, Hein Titaley dan Gunter Rumbairusi sebagai keyboardist, Arjuna Kendeh penabuh drum, Erick Mandosir pemukul perkusi, dan Billy sendiri di lead gitar.

Tak hanya membawakan lagu-lagu dari musisi reggae legendaris seperti Bob Marley, Tropico Rasta sempat melahirkan tiga lagu di antaranya Kursi Panjang Dok II, Musik Pantai, dan Sergap. Proses rekaman dikerjakan di studio milik kawan baik mereka bernama Buce, di Abepura, Kota Jayapura.

"Tapi setelah Richard Gedi berpulang seingat saya sekitar 2006-2007, kami vakum hampir dua tahun. Setelah itu, boleh dibilang kami bubar. Masing-masing sibuk dengan pekerjaan dan ada yang sudah berkeluarga," kenangnya.

Namun, meski tidak utuh lagi, beberapa personel Tropico Rasta tetap bermusik di kala senggang, bersama band-band reggae lainnya di Jayapura. Ada juga yang bergabung dengan band lain atau membentuk band sendiri.

"Tapi bagi kami, Tropico Rasta bukan hanya sekadar nama band. Tapi big family," kata pria yang menyukai reggae sejak berseragam putih abu-abu.

Waktu bergulir, namun kecintaan Billy pada Tropico Rasta tak terempas. Berawal dari angan-angan untuk bisa melahirkan album, ia merakit kembali Tropico Rasta agar bisa mengudara, dengan merekrut beberapa kawan baiknya.

Kakak beradik David Warimon (bassist) dan Chris Warimon (drummer), bersama Ekky Rizky (lead guitar) diajaknya. Kebetulan ketiganya tinggal pula di Jayapura.

"Setelah itu saya berangkat ke Yogyakarta untuk proses bikin album. Sampai jual motor dan gitar," kenangnya, sambil tersenyum.

Selama proses pembuatan album perdana, Billy didampingi Chris yang saat itu bertepatan berada di Yogyakarta. Pada penghujung tahun 2017, album Mace Kribo yang berisi lima lagu itu selesai.

Billy mengaku dua lagu dalam album tersebut ialah lagu lama, ketika Tropico Rasta masih dalam formasi awal. "Dua lagu lamanya Kursi Panjang Dok II dan Musik Pantai. Yang baru itu ada tiga lagu, My Papua, Be Free, dan sesuai nama album lagu berjudul Mace Kribo."

Kelima lagu tersebut, kata dia, memiliki latar belakang penciptaan yang berbeda-beda, dari soal kekasih atau percintaan, identiknya reggae dengan pantai, alam Papua, kebebasan dalam artian lebih luas, dan kekaguman atas perempuan Papua.

"Baru My Papua yang kami buat video klipnya. Sudah ada di Youtube dari Agustus 2018 kemarin. Lagu itu berkisah tentang keindahan alam Papua."

Album Mace Kribo diproduksi 200 buah tanpa kepingan CD, tapi mengandalkan teknologi free download lewat barcode dan akses ke tautan link yang tertera di dalam album.

“Sementara ini Tropico Rasta biasanya promo album ketika ngamen di kafe-kafe atau ketika mengisi acara. Harganya lima puluh ribu. Bahkan sesekali album itu hanya dibagikan cuma-cuma.”

April tahun lalu, kata dia, ada 18 band reggae se-Tanah Papua juga yang meluncurkan album Kompilasi Reggae Papua (KRP) Volume II di Raja Ampat, Papua Barat. Single Mace Kribo masuk ke album KRP.

“Tujuannya agar setiap band tergerak untuk menghasilkan karya cipta.”

Usaha Billy membangkitkan kembali Tropico Rasta tak sia-sia. Band ini akhirnya terbang ke Bali, untuk menghadiri undangan pada ajang bergengsi Bali Reggae Star Festival 2017, yang setiap tahun digelar di kawasan Pantai Sanur. Bahkan tahun ini, Tropico Rasta kembali diundang bersama band reggae Yamune asal Boven Digoel. Mereka berangkat ke Bali, Kamis 27 September 2018 lalu.

"Bisa diundang di event-event di luar, awalnya karena bertemu Tony Q Rastafara saat konser di Jayapura tahun lalu. Kami kasih tahu, kapan-kapan ajak band-band reggae Papua jika ada event. Akhirnya di tahun yang sama, kami diundang ke Bali."

Menurut David, ongkos keberangkatan ke Bali tahun lalu dan tahun ini, dari hasil ngamen atau urunan dari setiap personel. Berbagai cara mereka tempuh untuk meminta bantuan pemerintah, namun semuanya sia-sia.

“Setiap kasih masuk proposal di dinas-dinas terkait, alasannya pimpinan tidak ada. Padahal yang mewakili Papua hanya Tropico Rasta dan Yamune. Kami ingin ada perhatian pemerintah untuk para musisi. Itu saja.” (Bersambung)

Related posts

Leave a Reply