Papua No. 1 News Portal | Jubi
Deiyai, Jubi – Remaja tanggung itu limbung. Mulutnya penuh tembakau. Inisialnya SP. Dia adalah siswa kelas IX SMP Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK)St. Fransiskus Xaverius Waghete, Deiyai.
Sabtu, 22 September 2018 lalu, SP beserta sejumlah rekannya kena hukum guru. Mereka dipaksa mengunyah tembakau. Gara-garanya; kepergok merusak fasilitas sekolah dan merokok berjamaah.
Pihak sekolah mendapati para remaja harapan Papua itu, mencabuti papan aula milik sekolah.
“Mereka bakar-bakar termasuk perabot lain. Kami lihat semua perabot tidak ada. Mereka pasang api sambil merokok lalu kami tangkap semua lalu cek, siapa yang merokok,” ujar Kepala SMP YPPK ST. Fransiskus Xaverius Waghete, Deiyai, Yohakim Tekege, Rabu, (26/8/2018).
Menurutnya, hukuman mengunyah tembakau itu bertujuan agar para siswa itu tobat. Tak lagi ulangi perbuatan buruk itu. “Dan ini cara didik ciri khas sekolah YPPK,” klaimnya.
Adapun SP, sempat dibawa ke RSUD Paniai, didampingi orangtuanya.
Menurutnya, setelah dokter memeriksa ternyata ada luka dalam bagian rusuk dan dada sehingga diberikan obat. Dokter juga menyarankan agar SP tidak boleh terpapar asap. Tidak dijelaskan apa sebab luka dalam itu.
“Jadi uang berobat bagi siswa itu kami pihak sekolah dan PSW YPPK Deiyai sudah kasih uang sebesar Rp 5 juta,” katanya.
Insiden itu lantas memicu reaksi para siswa sekolah yang berada di bawah naungan Keuskupan Timika itu.
Rabu, 26 September 2018, puluhan pelajar di sekolah kantor Dinas Pendidikan Deiyai. Dong protes.
“Mereka tuntut agar Kepala SMP dan Wakasek harus diganti. “ kata Piter Adii, Kepala Dinas Pendidikan setempat. Tapi menurutnya, tuntutan itu salah alamat.
“Terus terang ini bukan kewenangan kami, itu ranahnya PSW YPPK Thillemans Deiyai dan Keuskupan Timika. Jadi saya suruh mereka kembali ke sekolah saja,” ujarnya.
Namun begitu, dirinya berjanji akan membahas bersama soal itu dengan pihak sekolah bersangkutan dan PSW YPPK setempat, setelah mengambil data secara detail.
Banyak pihak menyayangkan insiden itu. Salah satunya Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jayapura .
“ Itu hukuman yang berlebihan,” ujar Direktur LBH APIK Jayapura Nur Aida Duwila, kepada David Sobolim dari Jubi (4/10/2018)
Menurutnya, guru merupakan orangtua kedua para pelajar di sekolah. Karena itu, jika ada anak didik berbuat salah, sebaiknya diajak berdiskusi. Cari jalan keluar bersama.
Katanya, siswa yang bermasalah di sekolah, tak bisa lepas dari apa yang dialaminya di lingkungan sekitarnya, termasuk keluarganya.
Lagi pula hukuman merokok atau mengunyah tembakau, justru berpotensi membahayakan kesehatan bahkan keselamatan anak. Alih-alih membuat mereka jera dan tobat.
Menurutnya, sanksi serupa yang berlaku sejak zaman dahulu kala itu, bukan hanya terjadi di Papua saja. Tapi rata di seluruh Indonesia.
Ada guru yang bahkan menghukum siswanya dengan menghisap rokok 3-4 batang sekaligus. Dalihnya sama. Biar mereka tobat. Padahal belum tentu.
Di satu sisi, dia menilai kualitas guru di Papua juga tak merata. Guru tetap banyak mengabdi di perkotaan. Sedangkan guru honorer berjibaku di pedalaman. Padahal banyak di antara mereka yang belum memahami dengan baik, bagaimana cara mendidik anak-anak.
“Kita juga tidak bisa salahkan oknum guru, karena kondisi Papua banyak pengangguran. Jadi ada lulusan dari jurusan lain, tetapi karena di daerah tidak ada guru, terpaksa harus mengajar tanpa harus mengerti cara mengajar yang baik,” katanya.
Sepanjang catatan pihaknya. Di Papua baru ada satu kasus kekerasan terhadap anak didik di sekolah yang sampai diperkarakan di tingkat pengadilan. Itu terjadi di tingkat SMA.
Pihaknya meminta kepada dinas terkait bekerjasama dengan yayasan, bisa melihat kasus itu dengan jernih. Sekaligus menemukan akar persoalannya. Guru-gurunya juga perlu dikasih pelatihan.
“Khusus kasus begini, tidak semua perlu diproses secara hukum, bisa diselesaikan antara guru, murid dan orang tua,” tutupnya. (*)