Wamena, Jubi – Lahan persawahan seluas tiga hektar itu kini dipenuhi ilalang. Pemiliknya, adalah kelompok tani Waluok, kampung Menagaima, Distrik Maima, Kabupaten Jayawijaya.
Hampir enam tahun lamanya – sejak 2013 – terakhir kali mereka panen padi. 70-an anggota kelompok tani Waluok seakan enggan kembali menanam padi yang telah digeluti mereka sejak 2003 lalu.
Entah apa alasan persisnya, sehingga masyarakat tak mau lagi mengelola lahan yang telah mereka buka dari kolam ikan, dan kini dijadikan petakan sawah.
Sekretaris kelompok tani Waluok, Keliopas Mulait mengaku, kelemahan dan kendala yang dialami kelompok tani tersebut hanya masalah dana atau berharap bantuan dari dinas terkait.
”Padahal dinas pertanian sudah membantu kita beberapa kali, seperti bibit padi, mesin babat sebanyak tiga unit, dua unit traktor tangan, hanya saja memang ada kelalaian dari kelompok, dimana kebiasaan masyarakat, ada dana baru kerja,” ungkap Mulait kepada Jubi di halaman Kapela Minimo, Sabtu (13/7/2019).
Awalnya, lahan yang kini terbengkalai itu dijadikan kebun dan peternakan ikan oleh masyarakat secara swadaya. Barulah pada 2003 dijadikan persawahan. Hingga 2013, kelompok tani Waluok telah melakukan panen padi sebanyak empat kali.
Dari beberapa kali panen itu, kata Mulait, seluruh anggota kelompok tani tidak menjual seluruh hasil yang didapat, melainkan menyimpan sebagian hasil panen untuk kembali dijadikan bibit.
“Jadi hasil panen ini kami jual dan pasarkan sendiri selama ini, kami juga sempat simpan sedikit untuk dijadikan bibit lagi, tetapi hanya sampai di 2013 hal itu berjalan,” katanya.
Keliopas Mulait yang juga menjabat sekretaris Kampung Menagaima itu mengaku, sempat ada rencana agar dana desa dari kampungnya, dapat disisihkan sebagian untuk membeli bibit padi. Tujuannya, agar kelompok tani ini berjalan kembali.
Hanya saja, meski bantuan dana kampung pernah membantu untuk memberi semangat agar kelompok tani Waluok menanam padi lagi, tetapi justru alokasi dana kampung malah diprogramkan untuk membangun perumahan rakyat. Tak ada anggaran untuk masing-masing kelompok tani.
Padahal dari setiap panen, ada anggota kelompok yang mencapai hingga ratusan ton, dijual dengan harga 30 ribu rupiah per kilogram. .
Sempat juga ada suatu ajakan dari pemerintah kampung setempat kepada kelompok tani Waluok untuk menanam kembali padi, baik dari kepala kampung maupun tokoh gereja.
Namun, hal itu pun tidak berjalan baik . Ada kekhawatiran, jika hanya dua tiga orang yang menanam padi lalu disekitar sawahnya tumbuh ilalang. Mereka khawatir sawah tak tarpantau dengan baik. Bulir padi dimakan burung.
Ajakan untuk mulai menanam lagi, sudah pernah dilakukan dengan membersihkan ilalang dari petak sawah, dengan menggunakan dana desa. Tapi hanya dibersihkan. Tidak langsung tanam.
Sempat ada beberapa anggota kelompok mau tanam tetapi sempat ragu, karena satu dua orang tanam lalu diganggu burung. “Maunya masyarakat harus serentak semua kembali tanam,” katanya.
Dengan lahan nganggur itu, masyarakat atau anggota kelompok iku menganggur. Tidak ada penghasilan. Namun ada satu dua orang yang mencoba mengalihfungsikan lahan menjadi kolam ikan, setidaknya bisa menambah penghasilan dengan menjual ikan disaat panen.
Tokoh gereja, Emaus Wamo menambahkan, awalnya pertanian masyarakat di kampung Menagaima itu ditangani langsung oleh gereja, tetapi lambat laun pengelolaannya diberikan kepercayaan kelompok tani Waluok .
”Sekarang kita mau intropeksi juga ke mereka takut salah, meski begitu gereja harapkan agar masyarakat kembali menanam padi, tetapi kembali lagi ke masyarakat sendiri,” kata Emaus Wamo.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Jayawijaya, Hendri Tetelepta saat dikonfirmasi, Senin (15/7/2019) mengklaim jika perhatian pemerintah terhadap setiap kelompok tani setempat, selalu ada. Tak terkecuali kepada kelompok tani Waluok.
Dinas telah memberikan bantuan berupa bibit hingga traktor tangan. Bahkan, untuk irigasi telah dibuatkan Dinas Pekerjaan Umum.
“Kami berharap, setelah mereka panen, hasil dari bibit yang dipanen itu ada yang disisihkan buat tanam kembali, tetapi kenyataannya setelah panen habis. Tidak ada (yang disisihkan) untuk bibit, katanya.
Di satu sisi, pihaknya mengaku tidak bisa datangkan bibit dari luar. Sudah beberapa kali dicoba bibit dari Maros (Sulawesi Selatan), ternyata tidak cocok ditanam di Jayawijaya.
“Memang saya dengar ada persoalan di internal kelompok tani itu, kalau memang ada persoalan di internal mereka, kita bisa sama-sama lihat dan bicarakan bersama, “katanya.
Janji politik
Seorang tokoh pemuda di kampung Menagaima, Onoy Lokobal menilai, ada banyak faktor yang bikin warga malas kelola lahan .
“Baik itu dari janji bantuan dari pemerintah daerah , hingga gangguan politik 2018,” ujarnya.
Di 2018 itu sebenarnya masyarakat sudah mau tanam lagi, tetapi sementara aktivitas mau berjalan datang caleg-caleg yang memberikan janji, sehingga kelompok tani yang ada jadi terpecah,”ungkapnya. (*)
Editor: Syam Terrajana