Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jakarta, Jubi — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan kekerasan seksual pada anak didominasi di pesantren. Hal itu dibuktikan dengan data selama 2018-2019 yang menunjukkan sebanyak 37 kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan Pondok Pesantren yang sebagian besar merupakan kekerasan seksual.
“Dari hasil pendataan, 37 kasus kekerasan terhadap anak di pondok pesantren sempat menjadi perhatian nasional. Dari 37 kasus, 67 persen didominasi kekerasan seksual,” kata deputi Perlindungan Khusus Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) Nahar, Sabtu (11/12/2021).
Nahar juga mengatakan kasus serupa juga terjadi di lingkungan sekolah. Merujuk pada data Sistem informasi Online (SIMPONI) PPA, kasus kekerasan di sekolah pada 2020 hingga 2021 lebih dari 500 kasus setiap tahunnya.
“Untuk kejadian di tempat diklat tahun 2020 sebanyak 36 kasus dan tahun 2021 sebanyak 62 kasus,” kata Nahar menambahkan.
Lihat Juga : Pimpinan Ponpes di Bandung cabuli belasan santri korban melahirkan sembilan bayi
Anak panti asuhan disiksa diduga korban pelecehan
Hari Santri 2021, pegiat hukum dorong asesmen rutin di Ponpes
Nahar menyebut data tersebut belum merepresentasikan jumlah seluruhnya di lapangan. Ia meyakini masih banyak kasus yang belum terungkap hingga kini. “Kasus terakhir yang sedang viral, ada 13 anak ponpes mengalami kekerasan seksual dan 8 diantaranya hamil dan melahirkan 9 anak,” kata Nahar menjelaskan.
Menurut dia, berbagai aturan sebenarnya telah diterbitkan demi menghindari kasus kekerasan terhadap anak terjadi di satuan pendidikan. Salah satunya adalah Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama No 91 Tahun 2020 tentang Juklak Penyelenggaraan Pendidikan Al Qur’an telah diterbitkan. Dalam aturan itu terdapat bimbingan teknis dan sosialisasi kebijakan perlindungan anak dari kekerasan di satuan Pendidikan.
Kemudian, beberapa hal lain yang turut dilakukan adalah mengatur syarat formil pendirian pendidikan agama dan pendidikan keagamaan termasuk di dalamnya akreditasi dan pengendalian mutu Pendidikan.
“Ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan,” katanya.
Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi ‘oknum nakal’ yang menyalahgunakan lingkungan Pendidikan agama sebagai sarana mempermudah pelaku menemukan korban dan melakukan kekerasan seksual. (*)
CNN Indonesia
Editor : Edi Faisol