Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Menggambarkan situasi Persipura Jayapura saat ini seperti mengulang kembali cerita masa lalu. Persipura kritis dibibir jurang degradasi usai takluk dari Persib Bandung dalam laga lanjutan BRI Liga 1 2021, semalam. Kondisi ini mirip seperti yang pernah mereka alami pada kompetisi Liga Indonesia (Ligina) V musim 1998/1999.
Mengharapkan tim Mutiara Hitam selamat dari degradasi musim ini bukan sesuatu yang mudah. Ferinando Pahabol dan kolega hanya memiliki 9 pertandingan sisa sebelum menutup kompetisi. Dan semua laga tersebut berisikan lawan-lawan yang kuat, ada Madura United, Bali United, Borneo FC, PSM Makassar, Bhayangkara FC, PSS Sleman, PSIS Semarang, Persikabo 1973 dan Persita Tangerang.
Tapi, Persipura punya sedikit keuntungan, karena Barito Putera yang menjadi pesaing berat Persipura hanya menyisakan 8 pertandingan dan lawan yang akan dihadapi juga terbilang berat. Barito masih harus melawan Persija Jakarta, Persiraja Banda Aceh, Arema FC, Madura United, Persebaya Surabaya, Persik Kediri, Persita Tangerang dan Persib Bandung.
Hal yang sama dialami Persela Lamongan yang juga hanya menyisakan 8 pertandingan. Lawan yang akan dihadapi Persela juga tak mudah. Ada Persib Bandung, Bali United, Borneo FC, Persikabo 1973, PSM Makassar, Bhayangkara FC, PSS Sleman dan PSIS Semarang.
Untuk memastikan selamat dari degradasi di musim ini, tim Mutiara Hitam setidaknya butuh tiga kemenangan atau minimal tak kehilangan poin.
“Kita harus tetap percaya karena masih ada sisa 9 pertandingan dan apa saja bisa terjadi, dan waktu saya pertama datang Persipura sebelumnya juga ada di posisi ini tapi kita bisa keluar. Dan mungkin di 9 pertandingan nanti kita bisa banyak dapat poin yang kita perlu untuk ke luar dari posisi ini,” kata pelatih Persipura, Angel Alfredo Vera.
Arsitek berkebangsaan Argentina itu meminta skuad Mutiara Hitam tak patah semangat dan harus terus berjuang untuk bisa menyelamatkan diri dari jurang degradasi. Sebab menurutnya, peluang Persipura untuk selamat masih terbuka lebar.
“Kita harus tetap semangat dan semua pemain harus bisa cepat melupakan hasil ini dan bisa bermain fokus di laga berikutnya untuk mendapatkan poin dan jangan larut dalam kekalahan terlalu lama. Walaupun kekalahan dari Persib membuat mental pemain kita menurun, tapi kita harus cepat bangkit,” ujar Alfredo Vera.
Tak hanya banyak poin yang diperlukan Persipura untuk selamat dari degradasi, tim Mutiara Hitam juga butuh keajaiban. Namun berkaca pada kiprah mereka di Liga Indonesia, situasi pelik ini bukan pertama kalinya mereka rasakan.
“Kita masyarakat Papua sekarang lagi berpikir Persipura nantinya akan bagaimana, apakah masih bisa bertahan di Liga 1 atau tidak. Karena di laga tersisa yang akan mereka jalani ini sangat berat. Persipura sekarang ada di jurang maut dan sudah sejengkal untuk turun kasta. Kalau ini terjadi, untuk mau naik lagi akan susah sekali. Saya agak pesimis, cuma kita tetap berdoa agar tim ini tak terdegradasi. Sebagai mantan pemain kita tidak mau Persipura sampai jatuh turun kasta,” ujar eks pemain Persipura, Ortizan Solossa.
Berharap Deja Vu
Persipura pernah selamat dari degradasi karena mendapatkan sebuah keajaiban. Momen ini terjadi pada Liga Indonesia (Ligina) V musim 1998/1999. Kompetisi ini berjalan setahun setelah Indonesia dilanda krisis moneter.
Ketika itu, Persipura nyaris saja terjun ke kasta kedua, mereka hanya mampu menyelesaikan musim di peringkat ke-5. Kompetisi Ligina V musim 1998/1999 ini digelar dengan format yang jauh berbeda dengan musim-musim kompetisi Ligina sebelumnya.
Ligina V diikuti oleh 28 tim dan dibagi menjadi 5 grup dengan format grup barat sebanyak 2 grup (grup 1 berisikan 6 tim, dan grup 2 dengan 5 tim), grup tengah sebanyak 2 grup (grup 3 berisikan 6 tim dan grup 4 dengan 5 tim). Sedangkan satu grup timur atau grup 5 dihuni oleh 6 tim termasuk Persipura Jayapura.
Aturan degradasinya pun berbeda dengan kompetisi sebelumnya. Yang mana klub peringkat terbawah dari grup 1 hingga 4 ditentukan melalui babak play off, sementara juru kunci di grup 5 atau peringkat ke-6 langsung terdegradasi.
Persipura berada satu grup dengan klub raksasa PSM Makassar bersama Persma Manado, Pupuk Kaltim, Putra Samarinda dan Persiba Balikpapan di grup 5 wilayah Timur.
Tim mutiara hitam harus memikul beban berat untuk bisa tetap menjaga eksistensinya di pentas tertinggi sepak bola nasional. Pasalnya, di musim tersebut, Persipura mencatatkan sebuah rekor buruk, nyaris sama dengan kondisi mereka saat ini di Liga 1 2021. Kala itu, mereka hanya mampu mendulang tiga kemenangan saja dari 10 pertandingan yang dijalani di fase grup.
Selebihnya, mereka hanya menghasilkan tiga hasil imbang dan menelan empat kekalahan dengan mengalami kebobolan sebanyak 16 gol.
Persipura selamat dari degradasi karena tertolong hasil di pertandingan terakhir. Ketika itu, Persipura dan Putra Samarinda berada di posisi terbawah dengan 9 poin. Sementara Persiba berada di zona aman dengan 12 poin.
Keajaiban datang saat Persipura menang atas PSM Makassar di laga terakhir dan mengumpulkan 12 poin. Di saat bersamaan, Putra Samarinda juga berhasil mengalahkan Persiba. Hasil tersebut membuat Persipura, Putra Samarinda dan Persiba mengumpulkan poin yang sama dengan jumlah 12 poin. Keadaan pun berubah dalam sekejap, Putra Samarinda dan Persipura akhirnya selamat, sementara Persiba harus terdegradasi karena kalah agresivitas gol.
Mantan kiper ikonik Persipura, Helconi Hermain menggambarkan kondisi timnya ketika itu. Helconi menceritakan, pada saat itu Persipura memang kalah persiapan dari klub lain sejak awal kompetisi. Namun, mereka berhasil selamat dari degradasi karena seluruh pemain berkomitmen untuk berjuang keras mengangkat kembali posisi Persipura.
“Di situ kita mencoba selalu bersama-sama berjuang agar lepas dari tekanan. Dan saya pikir saat itu kita sudah tampil luar biasa karena dengan kondisi yang ada semua pemain saling berjibaku. Suasana dalam tim saat itu sama seperti yang sudah-sudah, tapi memang kita akui bahwa kesiapan tim lain mungkin lebih baik,” kenang Helconi.
Sekarang, Persipura juga masih punya peluang besar untuk lolos dari degradasi. Terlalu dini untuk menghakimi mereka di saat kompetisi masih menyisakan 9 pertandingan. Ligina V bisa menjadi contoh bahwa keajaiban itu ada. Selebihnya, para pemain lah yang bisa merubah nasib mereka sendiri. (*)
Editor: Edho Sinaga