Papua No. 1 News Portal | Jubi,
Lapak dan tenda jualan sepanjang kurang lebih 200 meter itu tertata rapi dengan bahan dasar kayu dan atap seng. Sejumlah mama mama Papua penjual pun kelihatan bahagia oleh raut muka dan senyum khas. Kondisi yang dialami mama mama penjual aneka komoditas di pasar Mabilabol, Oksibil itu berbeda dibanding satu bulanan sebelumnya.
“Dulu mereka berdagang di tengah terik dengan tempat sekadarnya,”kata Agustinus, seorang pemuda pembangun lapak swadaya Daerah Pegunungan Bintang.
Menurut Agustinus, sebelumnya mama-mama berjibaku menahan panas, hujan dan angin, untuk saat berjualan aneka hasil bumi Papua.
Kondisi infrastruktur pasar distrik yang tak mampu menampung para pedagang sebelumnya memaksa mama mama bersusah payah bertahan di tengah aneka dagangan seperti pinang, ubi-ubian, ikan, sayuran dan hasil kebun lainnya.
“Tak jarang mama-mama menjual di pinggir jalan, di atas trotoar di depan bangunan pasar, tepatnya di depan Bank Papua, Kampung Mabilabol, Oksibil Kota,” kata Agustinus menambahkan .
Namun kondisi itu kini berubah, kini mama mama selain riang saat berdagang. Mereka juga terlindungi oleh tenda dan papan yang dibuat oleh Agustinus bersama kawanya secara swadaya.
Awalnya Agustinus merogoh kocek Rp 11 juta dari uang pribadi, ia mengumpulkan kayu, papan, balok, dan seng bahu-membahu membangun lapak jualan bagi puluhan mama-mama di sepanjang tepi jalan.
“Satu minggu selesai, lapak bisa ditempati lebih nyaman,” kata Agustinus menjelaskan.
Langkah membangun lapak untuk mama mama pedagang di pasar pasar Mabilabol, Oksibil itu tak lepas dari panggilan moral di kampung kelahiran. Terlebih kondisi pasar yang selama ini tak hanya menjadi bahan pembicaraan dari mulut ke mulut, tapi juga ramai di media sosial facebook.
Setiap mahasiswa bikin status di Facebook terkait lapak pedagang yang memprihatinkan. “Saat itu saya berpikir kapan ada uang untuk beli perlengkapan bangun pasar?” kata Agustinus berkisah.
Akhirnya dengan enam truk berisi kayu, berupa papan didrop malam. Paginya lapak sepanjang kurang lebih 200 meter mereka bangun. Menurut Agustinus, tempat itu dapat menampung ratusan pedagang.
Ada sekitar 70 orang menempati dan bisa berjualan. Namun masalah bukan berhenti hanya di situ, namun juga protes dari pedagang dalam pasar yang mengaku jualannya tidak laku.
“Tapi setelah kami menjelaskan soal persaingan pasar dan hal lainnya, mereka ikuti,” ujar lelaki asal Balusu, Oksibil ini, sembari menatap langit Jayapura yang mendung.
Ia mampu membangun lapak dari pemberian lahan adat yang merasakan keprihatinan sama dengan tetua adat dan pemilik ulayat.
Selain membantu mama mama pedang, ia punya tujuan agar pemerintah jeli melihat aktivitas ekonomi di pasar tradisional. “Tapi perlakukan mama-mama seperti manusia. Jangan buat kelas-kelas,” kata jebolan salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung, Jawa Barat itu.
Agustinus punya impian ke depan agar mama mama Papua menjadi tuan di negeri sendiri. Dengan begitu tempat jualan gratis bagian dari upaya ke arah yang ia impikan .
Wakil Ketua I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pegunungan Bintang, Piter Kalakmabin menyampaikan apresiasi Agustinus dan kawan-kawannya. Ia meminta agar semua pihak mendukung gerakan swadaya lewat aksi sosial.
“Jangan dilihat dari sisi politis, apa lagi, menjelang pemilihan gubernur Papua tahun 2018,” kata Piter Kalakmabin.
Piter meminta agar Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang memfasilitasi mama-mama Papua dengan tempat jualan yang layak seperti yang dilakukan Agustinus. (*)