Papua No.1 News Portal | Jubi
Tahiti, Jubi – Beberapa kelompok masyarakat di Tahiti berupaya untuk melestarikan sebuah gunung dengan nilai sejarah dan budaya di Tautira. Mereka mengecam pemerintah di Tahiti karena telah ‘dengan sengaja berusaha untuk menghancurkan warisan sejarah budaya kita’.
Tahua-Reva yang terkenal adalah bongkahan gunung yang dianggap suci oleh masyarakat di ujung tenggara Tahiti-Iti, pulau kecil yang berbatasan dengan pulau utama di Polinesia Prancis yaitu Tahiti.
Secara khusus, kelompok-kelompok masyarakat itu telah meminta dukungan dalam kampanye mereka untuk menyelamatkan lereng gunung tersebut.
“Yang dilihat oleh pemerintah adalah bahwa lereng gunung itu harus dihancurkan untuk agar batu-batuan tidak berjatuhan, dan mereka tidak memiliki alternatif lain selain meledakkan itu karena mereka mengatakan itu solusi yang paling murah,” tulis Vaihei Paepaetaata, salah satu pegiat dari kelompok yang mencoba menyelamatkan daerah itu, dalam sebuah surat Sabtu lalu (15/5/2021) ke Asia Pacific Report.
“Pakar-pakar mereka berkata bahwa ada ancaman bahaya yang disebabkan oleh tiga batu itu, masing-masing beratnya 50 ton, yang dapat runtuh ke kaki gunung Tahua-Reva. Tapi bagi kami ancamannya adalah hilangnya warisan budaya kita, hilangnya sejarah dan identitas kita.”
Pendidik budaya dan ahli bahasa, Paepaetaata, menerangkan bahwa oleh karena itu dia terus berupaya untuk mencari bantuan dalam menyampaikan informasi ini ‘seluas mungkin’ demi masyarakatnya di Tautira.
“Kami sangat tidak bisa menerima bahwa keputusan seperti itu diambil tanpa berkonsultasi dengan masyarakat. Situs budaya ini adalah sangat penting bagi warisan budaya Polinesia dalam sejarahnya terkait erat dengan marae Tapu-Tapu-Tea, yang juga terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.
“Ketiga batu ini mengandung sejarah dan memiliki kekuatan yang intens. Mereka adalah tempat peristirahatan bagi jiwa-jiwa yang meninggal dunia sebelum mereka naik ke surga yang disebut Rauhotu No’ano’a. Tahua-Reva adalah tempat dengan sejarah, tapi sayangnya itu tidak terdaftar, jadi tidak ada hukum yang melindunginya dari kerusakan manusia.
Paepaetaata memohon wartawan-wartawan di Pasifik untuk mengangkat masalah ini. (Asia Pacific Report)
Editor: Kristianto Galuwo