Kebun sayuran pematah mitos

Kebun sayuran di lahan Musa Waneyi – Jubi/Titus Ruban
Kebun sayuran di lahan Musa Waneyi – Jubi/Titus Ruban

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Musa Waneyi mengembangkan budi daya sayuran untuk mematahkan mitos. Orang Asli Papua (OAP) ternyata juga rajin dan mahir bertani.

Read More

SEBEDENG kangkung siap panen milik Raimon Raiki ludes dicuri. Pelaku beserta barang bukti pun sekejab terlacak setelah dia mengeceknya di pasar terdekat.

Bukti itu tidak bisa terbantahkan lantaran tak banyak kangkung berkualitas bagus yang dipasok di pasar tersebut. Jika pun ada, itu pasti kangkung yang dicuri dari lahan Raiki.

“Kalau ketemu, pelakunya jangan dimarah karena bagaimana pun dia warga kita. Dekati saja baik-baik dan beri pemahaman agar dia mau berusaha (bekerja),” pesan Musa Waneyi kepada Raiki, kala itu.

Raiki merupakan petani sayur dampingan Waneyi di Kampung Waharia, Distrik Teluk Kimi, Nabire. Nasihat Waneyi pun dilaksanakan Raiki. Warga yang mencuri tersebut bahkan akhirnya turut mengikuti jejak mereka sebagai petani sayur.

Raiki sendiri menjadi petani lantaran diajak Waneyi. Mereka bersama sejumlah pemuda setempat menggarap lahan seluas 23 x 30 meter milik Waneyi.

“Saya awalnya ragu, apakah Orang Asli Papua bisa (bertani sayur), dan ternyata kami bisa. Hasilnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan mendukung kegiatan gereja,” kata Raiki kepada Koran Jubi, Rabu (31/7/2019).

Komoditas pertama yang mereka budidayakan ialah kol. Ada sekitar 200 bibit yang ditanam setelah lahan dibersihkan secara bergotong royong.

“Mereka menyambut ajakan saya untuk beramai-ramai membersihkan lahan. Setelah kol, lahan tersebut ditanami kangkung, terung, dan bayam,” tutur Waneyi.

Mematahkan mitos

Waneyi telah lama hobi berkebun sayur, bahkan sejak semasa sekolah. Hobi itu ditunjung dengan latar belakang pendidikannya. Waneyi merupakan alumnus Jurusan Agronomi di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Nabire. Setelah tamat, dia melanjutkan ke Fakultas Pertanian Universitas Satya Wiyata Mandala di Nabire pada 2001, dan lulus pada 2005.

Hobi bertanam terus berlanjut hingga Waneyi menjadi pegawai di Dinas Kelautan dan Perikanan Nabire. Dia memanfaatkan waktu luang sepulang dari bekerja.

Lelaki lajang tersebut lantas merangkul rekan sekampungnya untuk bercocok tanam sejak setahun lalu. Mereka memanfaatkan lahan yang selama ini bersemak-belukar di belakang kediaman Waneyi.

Waneyi mengajak para pemuda memanfaatkan lahan produktif itu lantaran kebutuhan sayuran selama ini sangat bergantung kepada pedagang keliling dari Kota Nabire. Selain motif ekonomi dan untuk mengisi waktu luang, dia ingin menghapus mitos atau stigma terhadap Orang Asli Papua (OAP).

“Saya ingin menghilangkan anggapan bahwa OAP itu malas bertanam (bertani) sehingga hanya menunggu (mengandalkan) Non-OAP yang berjualan. Saya senang, kami saat ini tidak lagi bergantung kepada pedagang sayur keliling,” katanya.

Budi daya sayuran yang dimotori oleh Waneyi menangguk keuntungan lumayan. Mereka bisa meraup sekitar Rp3,5 juta setiap kali memanen kol, dan masing-masing Rp1 juta-Rp1,5 juta setiap panen kangkung, terung, dan bayam.

“Saya sering membeli sayuran mereka. Kondisinya masih segar dan ikatannya juga lebih besar (jumlahnya lebih banyak) daripada (sayuran) pedagang keliling,” kata Tya, warga setempat.

Perluas kiprah

Waneyi dan kawan-kawan telah menikmati sebanyak 10 kali panen dari lahan garapan mereka. Lelaki yang memiliki dua anak angkat tersebut mengaku gajinya sebagai aparatur sipil negara (ASN) selalu utuh setiap bulan. Semua kebutuhan keluarga telah tercukupi dari hasil berkebun.

“Gaji bulanan semuanya ditabung buat masa depan kedua anak saya.”

Waneyi juga mengembangkan kiprah berkebunnya dengan merangkul Persekutuan Anak Muda Gereja Kristen Indonesia (GKI) Talikatum Waharia. Mereka memanfaatkan pekarangan gereja untuk ditanami berbagai jenis sayuran sebagai sumber pendapatan organisasi.

Para anggota juga mengembangkan usaha serupa di lahan masing-masing, dan ada yang telah lebih dari lima kali panen. Sebagian hasilnya pun disumbangkan kepada organisasi pemuda gereja tersebut.

“Kalau ada 20 bedeng, dua bedeng (hasilnya) wajib disumbangkan ke kas PAM (Persekutuan Anak Muda GKI Talikatum Waharia). Itu untuk mendukung kegiatan pemuda gereja,” kata Waneyi.

Dia berharap PAM GKI Talikatum Waharia tidak lagi kebingungan saat hendak berkegiatan. Karena sudah ada sumber pemasukan dari panen sayuran, para anggota tidak lagi harus merogoh dompet untuk menyumbang.

“Selama ini, kami selalu keluar isi dompet padahal masih ada upaya lain agar tidak mengganggu pengeluaran pribadi. Jadi, kami punya lahan dan tenaga, apa salahnya sama-sama mencoba belajar (berkebun sayuran),” jelas pemuda berdarah Serui dan Wate tersebut.

Waneyi mengaku usaha yang dipeloporinya itu mendapat respon positif dari pihak Gereja. Akan tetapi, dia sebetulnya berharap pihak Gereja menjadikan usaha mereka sebagai gerakan bersama untuk memberdayakan OAP. (*)

Editor: Aries Munandar

Related posts

Leave a Reply