Oleh Dr. Graeme Smith
Hubungan Taiwan dengan Kepulauan Solomon dimulai tanpa disengaja. Dalam beberapa minggu ke depan, negara kepulauan itu akan memutuskan apakah ia akan mengalihkan pengakuan politik dari Taiwan ke Tiongkok, tergantung dari suara beberapa anggota parlemen (MP) yang masih mengambang.
Ashley Wickham, mantan pemimpin Solomon Islands Broadcasting Corporation (SIBC), menjelaskan mengapa awalnya Kepulauan Solomon memilih Taipei, dan bukan Beijing. Kisah ini dimulai dengan kunjungan delegasi Kepulauan Solomon ke Beijing pada 1983:
‘Mereka ada di sana untuk merundingkan kesepakatan yang akan diajukan ke Kabinet dan pulang setelahnya. Tetapi semua orang akhirnya jadi sangat marah tentang uji coba roket Tiongkok ke Pasifik. Mereka diminta untuk kembali, mereka datang, dan itulah akhirnya. Kita memutuskan untuk berpihak dengan Taiwan.’
Politisi-politisi Kepulauan Solomon saat itu secara tidak sengaja mendapatkan mitra yang bersedia memberikan lebih banyak fleksibilitas daripada negara donor bantuan lainnya, Taiwan terkenal dengan bantuan dana pembangunan pedesaan, Rural Constituency Development Funds, yang mencakup 70% dari bantuan Taiwan kepada Kepulauan Solomon.
Dana bantuan ini sekarang terkenal sebagai skema jual-beli suara dalam pemilu. Ruth Liloqula dari organisasi non-pemerintah Transparency International menjelaskan bagaimana para MP menggunakan dana ini untuk membeli suara rakyat:
‘Dalam pemilihan umum terakhir, beberapa anggota parlemen tidak berkampanye sama sekali. Mereka membawa pendukung mereka ke tempat-tempat terpencil dan berkampanye di sana. Tapi mereka masih menang.’
Asumsi sebelumnya adalah bahwa kesediaan Taiwan untuk menyediakan dana kepada skema korup ini diteruskan untuk mengamankan kesetiaan Solomon, tetapi ada dua hal yang menentang asumsi ini. Skema ini sudah sangat populer di kalangan anggota parlemen, sehingga sekarang pemerintah Kepulauan Solomon mendanai 80% darinya, dan pejabat Tiongkok telah mengindikasikan bahwa mereka bersedia untuk memberikan dukungan yang sama nilainya dengan Taiwan selama ‘masa transisi’.
Kelemahan dalam bidang geopolitik jika mereka bertahan dengan Taiwan diperjelas oleh Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasseh Sogavare:
‘Ketika berbicara tentang ekonomi dan politik, Taiwan itu sama sekali sia-sia untuk kita. Saya pernah mengirimkan 40 petugas polisi untuk pergi latihan di Taiwan. Saat itu RAMSI sudah ada di negara ini. Dan kalian tahu apa yang dilakukan Australia? Menteri Luar Negeri Australia langsung pergi ke Taiwan dan menghentikan pelatihan itu. Daerah itu adalah milik kita, katanya. Dan mereka menghentikan latihan itu. Jika itu adalah Tiongkok, mereka tidak akan peduli tentang Alexander Downer. Mereka akan berkata, pergi dari sini. Ini adalah keputusan berdaulat yang dibuat oleh pemerintah Solomon yang berdaulat. Dan kita bisa memulai pengaturan militer; mungkin Tiongkok bisa membantu kita membangun kekuatan militer. Kalian tidak bisa melakukan itu dengan Taiwan.’
Contoh yang digunakan oleh PNG dan Fiji dalam menggunakan keberadaan Tiongkok untuk mendorong mitra diplomatiknya – atau seperti yang dikatakan Sogavare, ‘kalian jangan nakal; saya punya teman lain di sini’ – dapat digunakan untuk mempengaruhi kedua sisi dari perdebatan itu, Tiongkok dan negara lainnya.
Terlepas dari tanggapannya, PM Sogavare masih pro-Taiwan, dan ia menegaskan bahwa kesetiaan Solomon kepada Taiwan sudah lama dibangun atas nilai-nilai bersama tentang demokrasi dan HAM. Dia menyamakan Taiwan dengan West Papua.
‘Kita bisa berdiri di atas podium dan membuat PBB kelihatan bodoh. Kita berpidato tentang semua nilai-nilai dan prinsip ini dan apa pun itu. Tapi kita tidak benar-benar percaya pada mereka. Lihat saja West Papua. Mereka sudah ada selama lebih dari 50 tahun. Hak-hak mereka itu ditekan karena kepentingan ekonomi seseorang harus dilindungi. Mereka (negara-negara PBB) sangat selektif dalam melaksanakan dan mengimplementasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang kita seharusnya kita percayai sebagai bangsa-bangsa yang bersatu. Dan saya pikir ada alasan yang sangat kuat bagi kita untuk tinggal bersama Taiwan.’
Anggota-anggota parlemen pro-Tiongkok di Kepulauan Solomon merujuk pada nilai-nilai demokrasi Taiwan yang perlu ditanyakan. Beberapa MP telah mengamati campur tangan Taiwan dalam politik lokal, khususnya dalam bidang perikanan. Yang lainnya lagi merujuk pada keadaan dari salah satu proyek bantuan utama Taiwan, National Referral Hospital, yang terus memburuk. Satu menteri menyebut rumah sakit itu ‘seperti kamp pengungsi, bukan rumah sakit, ini adalah penghinaan bagi Taiwan.’
Kemunafikan Amerika, yang mengancam akan menghukum negara-negara yang lebih kecil karena mengambil posisi diplomatik yang sama dengannya, membuat jengkel negara-negara lain. Seorang yang saya wawancarai mengingat Perdana Menteri Australia baru-baru ini, secara pribadi, mendesak Solomon untuk beralih. Gedung Putih menelepon Honiara setiap minggu, meminta Honiara agar tidak beralih dan berjanji untuk membuka kembali kedutaannya. Jepang juga mendukung Taiwan.
Jika Taiwan harus mengalahkan tawaran infrastruktur Tiongkok, maka label harga yang harus dikalahkan sangat tinggi. Beberapa sumber membenarkan bahwa manajer regional perusahaan China Civil Engineering Construction Corporation (CCECC), secara langsung mengajukan paket pinjaman dan hibah bernilai AS $ 500 juta kepada PM Sogavare, mengindikasikan dengan jelas apa yang perlu dilakukan oleh Kepulauan Solomon agar perusahaan itu bisa memulai MOU.
Kekhawatiran dari semua pihak adalah kapasitas lembaga-lembaga Kepulauan Solomon untuk mengelola hubungan dengan Tiongkok yang sangat intens. Sebagai Wakil Rektor Universitas Nasional Kepulauan Solomon Solomon Islands National University (SINU), Jack Maebuta, sempat bekerja dengan CCECC dalam proyek infrastruktur besar pertama perusahaan itu di Kepulauan Solomon. Ia menjelaskan:
‘Secara politik, saya tidak merasa kita siap. Saya pikir kita tidak bisa bermain dengan mereka. Bukannya mereka bermain di level yang sama, jika ada peralihan ke Tiongkok, pemerintah Kepulauan Solomon akan dibungkam, dan Tiongkok akan melakukan apa yang ingin mereka lakukan.’ (Lowy Institute/The Interpreter)
Tulisan ini disusun berdasarkan episode Little Red Podcast, ‘Should I Stay or Should I Go Now? Inside the Solomons’ Big Switch.’
Editor: Kristianto Galuwo