Kebebasan pers, mutu jurnalisme, media abal-abal, dan bagaimana menghindari “bocor halus”

Peserta seminar dan pelatihan jurnalisme LPDS dan Kedutaan Inggris bersama pemateri ketika foto bersama, 12 Desember 2019 – Jubi/IST
Peserta seminar dan pelatihan jurnalisme LPDS dan Kedutaan Inggris bersama pemateri ketika foto bersama, 12 Desember 2019 – Jubi/IST

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh Timoteus Marten

Read More

TULISAN ini merupakan catatan kecil dan refleksi saya selama mengikuti pelatihan yang digelar Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS) dengan menghadirkan beberapa pemateri dari media-media besar dan Thomson Reuters Foundation, dengan 30-an peserta dari seluruh Indonesia; dari Aceh sampai Papua.

Beberapa poin sekiranya menjadi catatan reflektif adalah mutu jurnalisme, bagaimana menghadapi media abal-abal, menghindari bocor halus, dan pentingnya jurnalisme data.

Pertama-tama tentang mutu jurnalisme. Bahwa tak dapat dipungkiri perkembangan media massa, terutama media online di Indonesia tak bisa dibendung. Kemunculan media massa itu merupakan euforia kebebasan pers sejak pascareformasi.

Duta Besar Besar Kerajaan Inggris, Owen Jenkins, dalam sambutan pada seminar Hari HAM Sedunia, 10 Desember 2019 mengharapkan agar pemerintah Indonesia terus menunjukkan kepada dunia bagaimana komitmen menjaga kebebasan pers.

Dalam laporan Reporters Without Borders, Indonesia berada pada peringkat ke-124 dari 128 dalam indeks kebebasan pers sedunia. Aliansi Jurnalis Independen Indonesia mencatat sekitar 40-50 kasus kekerasan terhadap jurnalis setiap tahunnya. Di beberapa daerah masih sulit diakses oleh jurnalis. Workshop dianggap sebagai bagian dari upaya Inggris untuk mendukung kemajuan kebebasan pers di Indonesia.

“Saya ingin mendorong Indonesia untuk bergabung dengan Inggris dan banyak negara lainnya untuk merancang dan mengembangkan Rencana Aksi Nasional untuk Keselamatan Jurnalis. Rencana Aksi Nasional Indonesia akan memberikan serangkaian rekomendasi yang komprehensif bagi jurnalis, pemerintah dan masyarakat sipil terhadap langkah-langkah yang mendukung sebuah lingkungan yang bebas dan aman bagi jurnalis dan para praktisi media,” katanya.

Yang menjadi ironi adalah kemunculan media abal-abal sebagai konsekuensi dari kebebasan pers. Di Papua misalnya, Jubi dan Tirto menemukan 18 media abal-abal atau media siluman pada 2018. Investigasi ini diterbitkan dalam laporan tertanggal 6 Desember 2018 dengan judul “Media Siluman di Papua, Propaganda, Hoaks hingga Narasumber Fiktif”.

Tentang kemunculan media yang menjamur, terutama media online di Tanah Air, hampir pasti, saling berlomba menyajikan informasi menjadi berita tecepat dengan mengabaikan akurasi, bahkan propaganda seperti ditulis media abal-abal tadi.

Media-media yang bermunculan, ada yang terdata di Dewan Pers dan ada yang tidak terdata. Hingga Mei 2018, seperti dilaporkan merdeka.com, Rabu, 16 Mei 2018, sebanyak 43.300 media yang tidak terdaftar di Dewan Pers dan hanya 168 media yang terdata dari sekitar 47 ribu media, dan paling banyak adalah media online. Tahun 2019 media yang diverifikasi diberikan kode batang (barcode) untuk membedakan media terverifikasi dan media yang tidak diverifikasi.

Direktur Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS), Hendrayana, mengatakan ribuan media digital tersebar di Indonesia. Namun sejauh ini hanya sekitar 950 media yang terverifikasi di Dewan Pers. Oleh sebab itu, pihaknya mengajak masyarakat Indonesia agar melek media untuk dapat membedakan media kredibel dan media abal-abal. Dalam pada itu, media massa dan jurnalis juga dituntut untuk semakin kredibel atau berkompeten.

“Kita sekarang memerangi hoaks, untuk jeli membedakan media yang profesional. Kalau belum memenuhi standar, ikuti segera aturan di Dewan Pers,” ujar Hendra kepada Jubi per sambungan telepon, Kamis, 19 Desember 2019.

Maka dari itu, katanya, LPDS bekerja sama dengan Kedutaan Inggris menggelar pelatihan bagi puluhan jurnalis di Indonesia, 11-12 Desember 2019 di Jakarta, demi meningkatkan mutu jurnalisme dan melek hukum bagi jurnalis dan media. Dia juga mengharapkan agar pelatihan serupa dapat dilakukan di daerah-daerah lain di Indonesia.

“Poin penting dari saya, kita mengundang pemred dan editor bagaimana kita mencermati situasi (jurnalisme) era digital. Bahwa masih ada pasal-pasal yang menjadi ranjau hukum bisa memenjarakan jurnalis dan media seperti revisi KUHP dan UU ITE,” kata mantan Direktur Eksekutif LBH Pers periode 2006-2012 ini.

Dalam sebuah materi, “Strategi Advokasi Litigasi dan Non Litigasi Sengketa Pers”, Hendrayana juga menyebutkan mekanisme proses penyelesaian sengketa pers, yakni kewajiban memenuhi hak jawab sebagaimana pasal 18 ayat (2) dan pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Pers dan rujukan hak jawab yang mengacu pada pasal 10 dan 11 Kode Etik Jurnalistik. Sedangkan masyarakat yang merasa dirugikan dipersilakan mengadu sebagaimana diatur pasal 15 ayat (2) butir (d) Undang-Undang Pers.

“Hak jawab tidak berlaku lagi jika setelah dua bulan sejak berita dipublikasikan pihak yang dirugikan tidak mengadukan hak jawab, kecuali atas kesepakatan para pihak.”

Lestantya R. Baskoro, salah satu pemateri menekankan agar sebisa mungkin menutupi “bocor halus” dalam pemberitaan. Bagi dia “musuh” kebebasan pers bukan preman atau arogansi penguasa, tetapi oknum yang sengaja “mencari gara-gara” dengan memelintir pemberitaan media untuk digugat.

Pengajar di LPDS dan redaktur Tempo ini melanjutkan bahwa jeratan dalam kebebasan pers adalah KUHP pasal 154 ayat (1), 155, 156, pasal 157 KUHP. Selain itu, ada pasal penghinaan terhadap badan/alat kekuasaan negara (Pasal 207, 208, dan 209). Dia mencontohkan pasal 207, 310 dan 316 kasus Bersihar Lubis dalam Koran Tempo (17 Maret 2007), “Kisah Interogator yang Dungu”, yang kemudian divonis 1 bulan penjara, percobaan tiga bulan penjara.

Ada juga pasal penghinaan terhadap agama (pasal 156a, hukuman 5 tahun), seperti kasus Monitor tahun 1991. Selanjutnya pasal pembocoran rahasia negara dan jabatan (Pasal 112, 113, 114, 115, dan 116), dan kejahatan melakukan hasutan (provokasi): tindakan untuk mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar orang lain supaya melakukan tindak pidana (Pasal 160 dan 161).

Oleh sebab itu, Baskoro menyebutkan bahwa Kode Etik Jurnalistik merupakan rambu untuk melindungi jeratan terhadap pers, terutama pasal 1-4.

Dia juga menyarankan agar media memastikan bahwa semua pemberitaan yang bertendensi menyerang ada bukti dan tanggapan pihak yang diserang, pastikan status off the record, on the record, dan background, dokumen yang didapat layak diuji, layak tampil atau hanya disimpan sebagai data, dan memastikan caption foto yang tidak menimbulkan masalah, serta menghilangkan foto pihak yang tidak relevan.

“Pastikan cover both side, berimbang dengan proporsional. Camkan pedoman penulisan perlindungan anak. Dan pastikan tidak ada bocor halus,“ katanya di Jakarta, 11 Desember 2019.

Istilah “bocor halus” yang disebut Baskoro, juga dinilai menjadi jerat jika tidak hati-hati dalam hal penggunaan bahasa dalam penulisan di media massa. Jerat itu sewaktu-waktu menimpa media/jurnalis yang tak memahami konteks bahasa suatu daerah. Maskun Iskandar melalui artikelnya “Pemakaian Bahasa Indonesia untuk Media Massa” dalam ‘Panduan Jurnalistik Praktis Mendalami Penulisan Berita dan Feature, Memahami Etika dan Hukum Pers” (2012: 280-283) menyebut tentang dialek, sosial dialek dan laras. Dialek adalah ucapan-ucapan khas suatu daerah. Sosiodialek atau sosiolinguistik merupakan bahasa yang digunakan di lingkungan sosial tertentu, sedangkan laras/kalangan/register adalah bahasa di kalangan profesional. Misalnya bahasa di kalangan praktisi hukum, dokter, ekonom, militer, dan bahasa jurnalistik.

Meski demikian, media massa atau pers berperan sebagai pemberi informasi, edukasi, kontrol sosial dan hiburan sebagaimana diatur dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Sedangkan Mawa Kresna dari AJI Indonesia dan editor tirto.id melalui materinya “Jurnalisme dan Big Data” menekankan pentingnya data dalam penyajian karya jurnalistik. Big data digunakan sebagai bahan analisis untuk menjawab masalah manusia.

Penyajian data tak hanya digunakan untuk kepentingan ekonomi, bisnis dan pemerintahan, tetapi juga dalam trend jurnalisme data, untuk melawan hoaks dan media abal-abal, dan ancaman lain terhadap kredibilitas pers.

Hipotesis big data bisa jadi alat menajamkan angle liputan, sehingga kerja-kerja jurnalis lebih efisien. Analisis big data menjamin keakurasian.

Dampaknya pada produk jurnalisme yang lebih kredibel. Di sisi lain era big data ini menuntut inovasi dalam jurnalisme dengan menggunakan teknologi.

“Big data bisa mewujudkan produk jurnalisme yang akurat dan presisi (teliti/tepat),” kata Kresna.

Di sisi lain, pengajar senior School of Communication dan Programme Director Financial Journalism Concentration Department of Journalism, Leung Suk Fun Alison bersama Media Trainer and Consultant Di Thomson Reuter Foundation, Sara El-Khalili menekankan pentingnya strategi peliputan di daerah konflik dan bagaimana meliput pemilu.

Alison mencontohkan bagaimana peliputan di negaranya, Hongkong. Menurut dia jurnalis sebisa mungkin tidak terjebak dalam dua arus massa atau kepolisian yang mengamankan aksi massa.

Sedangkan Sarah sedikit banyak menyentil bagaimana meliput sebuah konflik. Dia menyarankan agar jurnalis juga tidak terjebak dalam penulis konflik sektarian (SARA).

Dua pemateri ini juga menekankan akurasi, konfirmasi dan klarifikasi, dan mencontohkan 10 hal mutlak yang harus dilakukan jurnalis sebagaimana dilakukan Reuters, di antaranya, akurasi sebagai hal yang sakral, melakukan koreksi, berupaya untuk berimbang dan tidak bias, mengungkapkan konflik kepentingan, menghormati privasi, melindungi narasumber dari otoritas kekuasaan, tidak pernah membuat berita palsu (pabrikasi) atau plagiarisme, dan tidak menerima suap atas berita yang ditulis, serta mengawal opini publik. (*)

Penulis adalah jurnalis di Koran Jubi

Related posts

Leave a Reply