Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jenewa, Jubi – Sejarah kekerasan terhadap perempuan, kebebasan pers, dan kebrutalan polisi Fiji telah dipertanyakan dalam tinjauan negara itu di Dewan HAM PBB (UNHRC).
Delegasi dari Fiji mempresentasikan laporan mereka tentang situasi HAM negara itu pada pertemuan Tinjauan Universal Berkala (UPR) UNHRC di Jenewa, dimana negara-negara anggota lainnya diundang memberikan rekomendasi dalam bidang-bidang yang perlu ditingkatkan. Ini merupakan peninjauan UPR ketiga Fiji sejak UNHRC dibentuk pada 2006, tinjauan terakhirnya dilakukan pada 2014.
Wakil Tetap Fiji pada PBB di Jenewa, Nazhat Shameem Khan, menerangkan dalam pertemuan itu, bahwa sejak 2014 Fiji telah meratifikasi sembilan perjanjian dan konvensi HAM yang penting, menghapuskan hukuman mati, dan berupaya mengurangi kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender.
Khan juga mengungkapkan upaya negara untuk menghentikan perundungan melalui media-media sosial, dengan meresmikan undang-undang keamanan daring, Online Safety Act — UU baru yang telah memicu kekhawatiran dari beberapa pengamat HAM yang prihatin UU itu dapat digunakan untuk membatasi kebebasan berbicara.
“Pasal 17 dari Konstitusi kita menyatakan bahwa kebebasan berekspresi adalah hak di Fiji, tetapi ini secara khusus mengatur perlindungan terhadap kebebasan media,” tutur Khan. “Kita telah mengalami, melalui media sosial, peristiwa-peristiwa yang mencemaskan dimana ada orang-orang yang dijadikan sasaran secara khusus, karena gender mereka, karena ras mereka, karena agama mereka, dan sebagai tanggapan atas persoalan itu pemerintah telah mengesahkan UU Online Safety Act.”
Rwanda, Brasil, dan Arab Saudi, yang merupakan rapporteur dalam pertemuan tersebut, telah menyampaikan tanggapan mereka tentang keadaan HAM Fiji – atas nama UNHRC – Jumat pagi, waktu Jenewa. (Radio Australia/ Pacific Beat)
Editor: Kristianto Galuwo