Keadaan Covid-19 Fiji memburuk, tenaga kesehatan rasa takut

Seorang laki-laki duduk di tepi jalan di Suva sementara varian Delta virus Corona semakin meradang dan pasien membanjiri rumah sakit terbesar di Fiji. - Leon Lord/AFP/Getty Images

Papua No.1 News Portal | Jubi

Oleh Geraldine Panapasa di Suva

Hampir terhindar dari wabah Covid-19 pada awal pandemi, negara Pasifik ini sekarang diserang beban kasus Covid-19 yang terus meningkat dan ekonomi yang lesu.

Read More

Selama pandemi sejauh ini, ketika warga Fiji menonton berita terbaru setiap malam dari ahli kesehatan negara itu, mereka disambut dengan pesan yang sama: negara itu melaporkan nol, atau satu atau dua kasus Covid-19 hari itu.

Saat sebagian besar negara di seluruh dunia dibebani dengan lonjakan kasus Covid-19 dan sistem kesehatan yang kewalahan, Fiji – negara dengan populasi sekitar 900.000 orang di Pasifik selatan – secara umum berhasil menghindari wabah itu di negaranya. Seperti banyak negara di Pasifik, dampak utama pandemi Covid-19 pada Fiji adalah dalam hal ekonomi, seperti negara-negara yang bergantung pada sektor pariwisata melesu, tetapi hanya ada sedikit kematian terkait Covid-19 yang dilaporkan.

Sehingga akhir Maret tahun ini, negara itu baru melaporkan dua kematian dan 70 kasus selama seluruh periode pandemi. Tetapi sejak bulan April, ketika orang-orang Fiji menonton pejabat pemerintah di layar kaca, kisahnya  berbeda: jumlah kasus harian mulai meningkat. Karantina wilayah diperintahkan, larangan jam malam diberlakukan, kampanye peluncuran vaksin dipercepat, namun kasusnya terus meningkat.

Fiji telah memecahkan rekor harian jumlah kasus Covid-19 yang dilaporkan  berulang kali. Pada hari Minggu pekan ini (4/7/2021), ada 522 kasus baru dan tiga kematian akibat Covid-19. Pada hari Senin, ada 352 kasus. Pada hari Selasa, Kementerian Kesehatan dan Pelayanan Medis Fiji melaporkan 636 kasus baru dan enam kematian dalam periode 24 jam yang berakhir pada pukul 8 pagi, keduanya merupakan rekor harian. Saat ini ada 5.776 kasus aktif dalam isolasi di Fiji.

‘Saya selalu takut’

Perawat terdaftar, Sharon Zibran, bangun pada pukul 5.30 pagi setiap hari dan bersiap-siap kerja, ia terlibat dalam kampanye vaksinasi nasional.

Dia bekerja di daerah Nakasi di pulau utama di Fiji, Viti Levu, bersama 50 orang lainnya, mencoba memvaksinasi hampir 25.000 orang yang tinggal di sana.

Zibran (31 tahun) sangat menikmati akhir pekan karena itu adalah satu-satunya kesempatan baginya untuk bermain bersama kedua anaknya yang masih kecil. Tetapi meskipun demikian, dia juga berhati-hati di sekitar mereka, mengingat apa yang dia lakukan atau ke mana saja dia telah bepergian. Sharon telah menerima kedua tahapan vaksin AstraZeneca, satu-satunya opsi vaksin untuk warga Fiji saat ini. Hanya 9% dari populasi target yang telah menerima vaksinasi lengkap, dan 54% menerima setidaknya vaksin tahapan pertama.

“Awalnya saya takut, apalagi sebagai tenaga kesehatan garis depan. Ada rasa ketakutan itu, tetapi setelah menerima vaksinasi dan memiliki peralatan perlindungan pribadi yang memadai, saya merasa lebih percaya diri dalam melakukan pekerjaan saya untuk membantu bangsa kita yang indah melawan pandemi ini dan bangkit kembali,” tegas Zibran, yang berasal dari ibu kota Fiji yang lama, Levuka, di Pulau Ovalau.

“Semakin tinggi tingkat vaksinasi, semakin kuat perlindungan bagi seluruh keluarga dan negara kita. Memang ada penolakan terhadap vaksinasi, tetapi setelah kami menjelaskan hal ini dengan lebih baik kepada orang-orang yang mengunjungi kami, penjelasan itu membantu mereka mengatasi ketakutan mereka.”

Jese Smith (bukan nama sebenarnya), seorang perawat terdaftar di Divisi Pusat, lebih takut daripada Zibran.

“Saya selalu takut. Setiap hari saya berjalan meninggalkan rumah dan pergi bekerja, saya tahu risiko dan peluang untuk terkena Covid-19 itu tinggi. Saya takut ketika saya berpikir bahwa jika ada sesuatu yang terjadi pada saya, saya akan meninggalkan anak saya bersama kakek-neneknya,” ungkap Smith yang telah menerima dua dosis vaksin AstraZeneca.

Dia bekerja selama 14 hari tanpa henti dari rumahnya untuk menangani kasus Covid-19, ia kemudian menjalani 14 hari dalam isolasi sebelum dia bisa bersatu dengan keluarganya.

“Sebagai keluarga, kami mulai terbiasa dengan panggilan telepon dan video dan pertanyaan biasa yang selalu diucapkan: ‘Ayah, kapan pulang? Mengapa Ayah tidak bisa tinggal lama, Ayah selalu keluar.’ Pertanyaan-pertanyaan ini selalu membuat saya menangis.

“Tantangannya setiap hari adalah saya mungkin pergi bekerja hari ini dan saya tidak yakin apakah saya bisa pulang pada hari yang sama, karena setiap saat  saya bisa menjadi kontak utama untuk kasus positif Covid-19 dan harus isolasi setidaknya selama 14 hari. Itu sangat sulit.”

Selama masa-masa sulit seperti inilah dia terus-menerus mengingatkan dirinya sendiri tentang profesi yang dia pilih, pekerjaan yang dia sukai.

“Meskipun kami membantu pasien positif Covid-19, itu tidak menghalangi kami memberikan perawatan kesehatan sebagai perawat atau tim untuk memastikan bahwa kami memberikan pelayanan terbaik kepada pasien kami… pada akhirnya, profesi perawat adalah panggilan untuk melayani umat manusia.”

Smith memilih untuk berbagi pengalamannya dengan syarat identitasnya disembunyikan karena ia takut dengan berbicara kepada media ia bisa kehilangan pekerjaannya, dan dia telah melihat dampak kehancuran ekonomi yang disebabkan oleh Covid-19 di tingkat nasional.

Perekonomian Fiji memburuk  

Dampak ekonomi dari Covid-19 di Fiji sangat parah.

Sektor pariwisata Fiji, yang bernilai lebih dari FJ$ 3 Miliar pada 2019, jatuh – hingga 93% dari 279 anggota dari Fiji Hotel and Tourism Association tutup akibat turunnya angka kedatangan turis.

Sektor ini menyumbang 40% dari PDB Fiji dan mempekerjakan 40.000 orang di Fiji secara langsung, dan 100.000 secara tidak langsung, menurut data asosiasi tersebut.

Sereana Naituki, 44 tahun, adalah salah satu dari banyak pekerja perhotelan yang diberhentikan karena penutupan hotel. Dia bekerja di bidang perhotelan di Naviti Resort Fiji, di Coral Coast.

Suaminya juga kehilangan pekerjaannya. Meskipun itu merupakan pukulan besar bagi keuangan keluarga itu, Naituki mengatakan mereka memutuskan untuk kembali hidup dari tanah dan laut.

“Ketika kami bekerja di perhotelan, kami tidak punya waktu untuk dua sumber daya ini – tanah dan laut – karena kami mendapatkan penghasilan dari pekerjaan kami di hotel. Tapi pandemi ini benar-benar mengajarkan kami, dan sekarang kami bertani dan mencari ikan untuk bertahan hidup,” kisahnya.

“Kami punya kebun di rumah untuk menanam tomat, okra, terong, dan kol. Keluarga-keluarga di desa juga berdagang dengan sistem barter – tanaman umbi-umbian dengan imbalan ikan, atau gurita, dan kadang-kadang bahkan ayam.

“Sisa hasil kebun yang surplus kami jual di pasar kaget Selusin kelapa atau setumpuk sayuran seharga FJ$ 5, satu ikat ikan segar harganya  FJ$ 10-25, gurita seharga FJ$ 20, dan yaqona (akar kava) harga FJ$ 60-80/kg.”

Naituki mengatakan orang-orang di  desa telah bersatu sebagai komunitas untuk saling membantu, dan satu dampak positif dari pandemi adalah ia bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama suami dan anak-anaknya.

Fiji harus menyeimbangkan antara risiko kesehatan Covid-19 dengan dampak ekonomi dari karantina wilayah yang meluas.

“Negara-negara berkembang tidak pernah berhasil dalam menerapkan karantina wilayah total,” tegas Perdana Menteri Fiji, Frank Bainimarama, bulan lalu. “Sangat mudah untuk mendesak adanya kebijakkan yang drastis seperti 28 hari karantina langsung untuk seluruh Viti Levu jika kalian masih memiliki pekerjaan bergaji tinggi atau memiliki rekening tabungan yang cukup.

“Sangat mudah untuk meminta karantina total jika kalian tidak bergantung pada upah sehari-hari atau harus bersusah payah  untuk membayar tagihan dari bisnis yang tutup.

“Sangat mudah untuk meminta karantina total jika kalian tidak bekerja di pabrik yang mungkin bisa meninggalkan Fiji untuk selamanya jika mereka harus tutup sepenuhnya selama 28 hari; pabrik garmen dan call centers yang tidak dapat melayani klien luar negeri dan bisa kehilangan kontrak tersebut – dan pekerjaan yang mereka perlukan – selamanya.”

Dia mengatakan Fiji akan melewati cobaan ini dengan menerapkan langkah-langkah cerdas dan tepat sasaran untuk membendung penyebaran Covid-19 sampai cukup banyak populasi yang divaksinasi untuk mencapai kekebalan kelompok. Bahkan di tengah kekhawatiran berkembang tentang pembekuan darah, dia berharap vaksin AstraZeneca akan memberi perlindungan bagi Fiji.

“Kami percaya bahwa jika kita mengikuti beberapa arahan yang masuk akal, yang dirancang agar kita tidak berkumpul dalam kelompok besar, kita dapat melawan virus ini sambil melindungi kesehatan kita, melindungi pekerjaan dan usaha-usaha Fiji, dan menjaga prospek jangka panjang negara kita yang muda,” kata Bainimarama. (The Guardian)

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply