| Papua No.1 News Portal | Jubi
Nuku’alofa, Jubi – Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah menjadi salah satu pelanggaran hukum yang paling umum di Tonga selama lima tahun terakhir.
Pejabat Plt. Komisaris Polisi, Tevita Vailea, mengungkapkan ini dalam acara di balai wartawan setempat, ia menerangkan bahwa dalam jangka waktu dari Januari hingga Juni tahun ini, dilaporkan ada 537 kasus KDRT, dengan 117 perintah perlindungan yang diterbitkan, meskipun hanya 99 kasus yang dituntut. Vailea tidak dapat memperkirakan jumlah kasus-kasus KDRT yang mungkin tidak dilaporkan, tetapi sering dikatakan mayoritas insiden KDRT tidak pernah dilaporkan pada pihak berwenang.
Plt. Komisaris itu berkata perlu ada upaya kooperatif yang melibatkan masyarakat dan polisi untuk memutuskan mata rantai KDRT.
“Kita memiliki tanggung jawab kepada generasi mendatang untuk memutuskan mata rantai KDRT,” tegas Vailea. “Rumah harusnya menjadi tempat yang damai dimana anak-anak ingin pulang, bukan untuk dijauhi karena mereka takut akan kekerasan.”
“KDRT adalah pelanggaran hukum di Tonga, dan Polisi Tonga mendesak masyarakat untuk melaporkan semua kasus agar mereka dapat menuntut pelaku dan membawa mereka ke pengadilan.”
Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan juga tampaknya memburuk, dengan meningkatnya kasus pelanggaran kekerasan seksual dan pemerkosaan.
Sekarang ini ada kasus perkosaan di pengadilan setiap minggu, bahkan selama karantina wilayah Covid-19. Selama 15 hari pertama karantina wilayah di Tonga, rata-rata ada delapan kasus KDRT yang dilaporkan ke pusat krisis perempuan dan anak, Women and Children Crisis Centre (WCCC) setiap hari.
Direktur WCCC itu, ‘Ofa Guttenbeil Likiliki, juga menginformasikan kepada balai wartawan di Nuku’alofa bahwa selama lima tahun terakhir mereka telah menangani 1.718 kasus baru.
“Tapi 85% perempuan yang menderita KDRT adalah korban yang sudah pernah melapor, yang lalu kembali ke lingkungan yang sama dimana mereka menjadi korban KDRT,” katanya. “Inilah sebabnya kita harus menangani lebih dari 5.000 kasus KDRT dari korban yang sudah maju sebelumnya.”
Guttenbeil Likiliki juga setuju ketika ditanya apakah mungkin ada lebih banyak korban kasus KDRT yang tidak meminta bantuan dari pusatnya.
Tetapi mengapa ada peningkatan di kasus KDRT, kekerasan seksual, dan pemerkosaan di Tonga? Guttenbeil-Likiliki ditanya apakah menurutnya budaya Tonga itu penuh kekerasan.
“Menurut saya tidak, tidak lebih dari orang lain dalam budaya lainnya,” jawabnya.
Menurut mereka yang telah bekerja untuk memutus mata rantai KDRT, yang umumnya dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan, perlu ada perubahan pada pola pikir, perubahan sikap dari laki-laki, karena mereka tidak memiliki hak apa pun untuk menyerang anggota keluarga mereka, baik secara fisik maupun secara psikologis.
Komisaris Vailea lalu menambahkan bahwa UU Perlindungan Keluarga telah memberi polisi kekuasaan yang diperlukan untuk melindungi korban KDRT dan memidana pelaku.
Namun, dia kembali menekankan, bahwa polisi mengandalkan “masyarakat untuk melaporkan kejahatan terhadap perempuan dan anak-anak, terutama yang dilakukan di lingkungan rumah.” (RNZI)
Editor: Kristianto Galuwo